Tampilkan postingan dengan label Consumption. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Consumption. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Oktober 2012


"Membawa manfaat atau naas, massa dan kebudayaan massa itu terus menyertai hidup hidup kita sehari-hari. Kalau Anda ingin lari dari semua ini, dan Anda menuju ke tempat sepi, di sana akan Anda temui massa. Semua menjinjing radio transistor, semua mengunyah cokelat, semua membuang kantong plastik, semua membaca cerita seks, semua menikmati gambar puteri Ayu"

Dikutip dari tulisan Prof. Sudjoko's di Jurnal PRISMA "Budaya Populer" 

Minggu, 20 Juni 2010

Jakarta-New York PP

Ketika Jakarta tak jauh berbeda dengan New York

Mau ke mana hari ini? Ke SoHo? Tribeca? Semua ada di Jakarta.
Awali pagimu dengan Frappuccino Caramel di gerai Starbucks.
Berjalan melewati gedung pencakar langit, menembus kerumunan pekerja berdasi dan berhak tinggi.
Masuk ke gedung World Trade Center melalui pemeriksaan super ketat metal detector.
Mengikuti kelas bahasa inggris beraroma bisnis di Wall Street.
Butuh pelarian saat istirahat makan siang? bergegaslah ke Central Park, ada ruang hijau buatan dikelilingi beton kokoh.
Takut telat masuk dan belum makan sempat makan siang? Jangan pikir dua kali, pesan whooper di Burger King, tak sampai lima menit bisa segera dinikmati.
Daripada bosan menunggu waktu kerja habis, tidak ada salahnya mencari tahu tren terkini di majalah Elle, Harpers Bazaar, atau Marie Claire. Perempuan karir independen tak lupa mengulik tips naik jabatan dari majalah Cosmopolitan. Bagi pria uberseksual, bisa buka halaman mode di Esquire, mengintip perempuan berbikini di FHM, atau tips membentuk tubuh di Menshealth.
Pulang kantor bertemu kolega bisnis di hotel Manhattan.
Berganti kostum untuk menghabiskan malam. Dibalut dengan DKNY jeans, kemeja putih CK, menenteng tas lansiran terbaru Kate Spade.
Buat yang muda bisa nongkrong di 7/11, meredakan dahaga dengan es serut a la Slurpee.
Kemacetan adalah hal biasa, kebisingan bukan apa-apa.
Di sela-sela gemerlap lampu kota, ada mereka yang mengais sampah sisa-sisa kerakusan.
Warganya tidur lewat tengah malam mencoba berdamai dengan keterasingan.
Tapi kotanya tak pernah tidur, terus berdenyut, menunggu mangsa yang akan datang.



Ini era globalisasi kawan, yang trendi di sana bisa langsung diadaptasi di sini. Tinggal tunggu Invasi Ipad atau antrian sesi di psikiater langganan. Untung kita masih awam dengan Prozac dan anonymous club. Tapi sayang di Jakarta nggak ada MoMA (Museum of Modern Art), tim polisi sekeren NYPD atau venue gigs selegendaris CBGB. Alhamdulillah Vogue belum buka cabang di sini, Urban Outfitters dan American Apparels belum ada franchise di Jakarta. Kalau sampai mereka ada juga di Jakarta, ckckck... nggak yakin iman bisa kuat.


*Untuk dia Si Upper East Sider


foto diambil dari sini dan situ

Sabtu, 16 Januari 2010

Ada Apa Dengan Alay?

Alay: Mayoritas yang didiskriminasi


"Superficially it seems we are middle class because we have more of the trappings of middle class life, but the majority of people are just working class with more money, not middle class." Dr Julian Baggini

Sore itu saya terjebak di dalam rapat bersama redaksi, awalnya sih kita masih serius membicarakan rencana tahun 2010, tapi tiba-tiba ada sebuah topik yang terangkat di tengah perbincangan. Niat hati untuk obrolan selingan, kita semua malah heboh dan serius membahas topik ini sampai lupa tujuan rapat. Topik apakah itu? Kita dengan terbuka dan antusias membicarakan fenomena ALAY yang beredar di sekeliling kita. Bukan redaksi kita kalau hanya bisa mencerca dan mengeluh tentang fenomena Alay, dari topik itu lahirlah diskusi seru yang mengundang pro dan kontra, love hate love, serta kritisisme sosial terhadap isu tersebut. Pulang dari kantor, benak saya dihantui oleh Alay, bagi saya fenomena ini bukan persoalan sepele sebatas olokan peer group belaka, ada banyak keraguan dan ketidakadilan di dalamnya. Terkadang kita dengan mudah mengucap istilah tanpa tahu akibatnya, bahkan kita sering menilai kaum alay dengan kacamata kuda. Atas alasan tersebut, saya berniat untuk merangkai penjelasan tersendiri versi saya tentang fenomena ini. Sepertinya kata Alay begitu dahsyat, sampai punya gaya, selera musik, bahasa dan budayanya sendiri. Jangan-jangan sebentar lagi Alay akan menjadi Cult.hehehe... Dan kerisauan saya dimulai dari sini:

Definisi Alay : Jauh Panggang dari Api

Menurut kamu seperti apakah alay itu? Dalam setiap perbincangan yang menyeret-nyeret Alay, ternyata definisi ke'alay'an itu tidak absolut alias relatif, meskipun katanya ada kesepakatan bersama yang diyakini banyak orang untuk mendeskripsikan alay. Kalau dirunut-runutin ke belakang, seingat saya, pada hakikatnya istilah Alay muncul sebagai singkatan dari "Anak LAYangan". Kenapa anak layangan? karena rambut orang tersebut merah (atau brunette mungkin?) hasil dari berjemur matahari saat bermain layangan. Dulu saya sempat terintimidasi dengan definisi awal tersebut, bagaimana tidak? rambut saya memang kecoklat-merahan gitu dan saat kecil saya memang fasih bermain layangan. Kalau berdasarkan definisi tersebut, saya tentu sah disebut sebagai Alay dan mungkin banyak orang yang serupa. Coba deh inget-inget lagi...! Nah, seiring dengan beranjaknya umur, makna Alay di konstruksi pikiran saya mulai bergeser. Saat SMA saya beranggapan bahwa Alay atau tidaknya seseorang itu ditentukan dari cara laki-laki memperlakukan perempuan. Yup! definisi yang berbasis gender ini lahir sebagai dampak dari kekesalan saya pada cowo-cowo yang suka bersiul-siul saat ada cewe lewat di depannya. Kalau seorang cowoq tidak bisa menghormati perempuan dan melecehkan perempuan secara verbal atau langsung, bagi saya cowo itulah kaum Alay. Sejauh ini konstruksi makna itu masih berlaku banget buat saya. Misalnya saat ada segerombolan cowo yang berusaha menggoda saya di kereta, mereka adalah Alay buat saya. Saya tidak memungkiri, saya mengasosiasikan Alay sebagai sesuatu yang negatif karena istilah tersebut saya gunakan untuk memberi label pada laki-laki semacam itu. Inilah 'dosa' saya....huhuhu

Diskusi saat saya rapat redaksi sore itu ternyata memunculkan definisi-definisi lain tentang alay yang beragam dan memang semuanya mengarah ke konotasi yang negatif. Seorang kontributor berpendapat bahwa ke'Alay'an seseorang dilihat dari cara dia berinteraksi lewat tulisan/ketikan, kalau gaya ngetiknya menggunakan huruf gede-kecil, kombinasi angka dan huruf, disingkat, dicampur bahasa inggris dengan modifikasi pronounciation, dan improvisasi lainnya, mereka lah yang disebut Alay. Kontributor lain lalu menimpali, buat dia, Alay adalah orang yang gayanya 'maksa', sok keren tapi jadi nggak keren, sok gaul tapi jadi nggak banget, definisi ini sungguh subtil dan sedikit kejam, tapi nampaknya ada banyak orang yang sependapat dengan definisi ini. Ada juga yang bilang kalau Alay itu adalah orang yang termakan tren tapi nggak sanggup ngikutin aslinya, misalnya mau jadi up to date dengan baju-baju keluaran butik High-street impor, tapi akhirnya membeli barang tembakan atau kw-nya di ITC karena faktor ekonomi. Kontributor lain ada yang nyeletuk, Alay itu ya semacam personilnya kangen band atau penggemarnya , kira-kira deskripsi dia kebangetan konkritnya sampai menunjuk hidung dan contoh orangnya. Yang menarik, ada seorang kontributor lagi yang berpendapat kalau Alay itu hanyalah sekedar fase dalam hidup kita, misalnya saat rambut belah tengah lagi nge-tren atau rambut spike itu cool pada zamannya dan kita mengamalkannya sehari-hari, nah... gaya-gaya old-school itu menjadi Alay saat kita refleksikan ke fase sekarang, bahkan sempat ada tanggapan bahwa semua orang pernah menjadi Alay atau mengalami fase alay tersebut. Everybody was Alay afterall... Sejauh ini definisi terakhir menjadi makna yang paling tidak diskriminatif, ya iyalah... orang semua pernah meng'alay'kan dirinya meskipun dengan sedikit pengelakan (denial) terhadap fase tersebut.

Jika merujuk pada beragam pemaknaan akan alay tersebut, ktia bisa melihat adanya keragaman yang relatif dalam mendeskripsikan alay. Biarpun begitu, entah kenapa konotasinya cenderung negatif dalam level yang berbeda-beda. Dan kalau saya pikir-pikir lagi, pemaknaan alay mengalami perluasan yang pesat dari kali pertama saya mengenalnya. Pemaknaan Alay menjadi amelioratif dan mulai menjauh dari hakikat kependekan "Anak LAYangan" tadi. Sungguh jauh panggang dari Api, jadinya maknanya nggak matang.hehehhe Yah... sejauh ini belum ada deskripsi yang jelas dan baku soal apa itu Alay. Sepanjang kata ini belum masuk di KBBI, kita belum ada rujukan terpercaya untuk mendefinisikannya. Alay is still ongoing mate...!


Eksistensi Alay: The Others are the Second Cool


" No subject will readily volunteer to become the object, the inessential; it is not the Other who, in defining himself as the Other, establishes the One" Simone de Beauvoir

Merujuk pada varian definisi di atas, kata alay seolah menjadi label atau streotype untuk sesuatu yang negatif, uncool, nggak gaul, nggak sopan, nggak menghormati perempuan, nggak fashionable, and so on. Alay menjadi negasi dari makna-makna yang positif atau sesuatu yang lebih tinggi. Jika sosok alay tercipta, hadir di dunia karena konstruksi atau pemaknaan kita, berarti keberadaan alay sebagai sebuah aktor sosial hanyalah berlaku sebagai objek semata. Nah loh, terus siapa subjeknya? Ya jelas yang menunjuk seseorang sebagai alay. Orang-orang yang merasa keren, fashionable, penggemar musik "berkualitas", berpendidikan, well-mannered, itulah yang seringkali menobatkan seseorang menjadi Alay. Proses on becoming alay seakan tidak dilihat dari kacamata dia sendiri melainkan dari kacamata orang lain. Mengapa kita membutuhkan Alay? agar eksistensi ke'keren'an atau ke'kece'an kita tetap terjaga.

Yang lucu lagi, seorang kontributor berkata menimpali perbincangan alay seperti ini "Eh, jangan salah lo! Malah ada banyak orang yang sebenernya kalo diperhatiin Alay banget tapi dia malah ngatain orang lain Alay, Alay teriak alay gitu ya gak?!". Kalimat Alay teriak Alay itu begitu menarik dan saya tanggapi dengan anggukan mantap. Kasus ini sering terjadi di sekitar saya, coba kamu perhatikan baik-baik.hehehhe Saya jadi inget kata om Hegel, begini doi bersabda "We find in consciousness itself a fundamental hostility towards every other conscousness; the subject can be posed only in being opposed". Untuk merasa fashionable kadang kita suka menilai orang-orang yang gayanya dianggap nggak oke. Saya jadi ingat pengalaman waktu SMA, waktu itu anak-anak SMA saya dijejali doktrin anti STM. Sentimen tersendiri terhadap STM menghadirkan sebuah chauvinisme di antara kita, waktu itu kita dengan yakinnya menyatakan anak-anak STM itu Alay sedangkan kita anak SMA selatan (Jakarta selatan maksudnya) yang gaul abis.hehehhe


Dari penunjukkan alay sebagai inferior dari yang superior tersebut, kaum yang dianggap alay terpaksa harus puas di strata kelas dua dalam pergaulan. Nah... ini dia bagian yang paling gawat, ketika alay terletak di bawah piramada tersebut, warga kelas atasnya seringkali sadar atau tidak sadar melakukan diskriminasi terhadap kaum alay. Ibarat anak nerd/loser di sekolahan, dia nggak bisa jadi panitia acara-acara happening atau mendapat popularitas sebaik grup populer. Parahnya lagi, banyak merasa bahwa mengkritik atau mengejek selera alay adalah legal hukumnya. Bahkan, saya pernah mendengar kalimat kejam seperti ini: "Kalo alay ya alay, mau diapain juga nggak bakalan 'dapet' seleranya!" ckckck... kesannya jadi alay udah nggak ada harapannya lagi gitu. Tindakan diskriminatif bisa muncul dalam bentuk komunikasi verbal maupun non-verbal, mulai dari celaan secara ikhlas atau hanya sebatas tatapan mata macam Anna Wintour-nya Vogue.

Alay seperti menjadi The others dalam sebuah bagian masyarakat urban. Alhasil alay bukan kategori manusia cool dan patut menjadi panutan, they are perceived as the 'wannabes' not the trendsetters. Padahal sudut pandang kita terhadap keliyanan Alay belum bisa dipertanggungjawabkan, semacam to see or being seen. Masih ingat film The Others-nya Nicole Kidman? hati-hati dalam memandang sebuah objek, semua punya keyakinannya masing-masing. Banyak dari kita ngeributin soal alay (sampai saya bikin tulisan kaya gini segala), padahal orang yang ditunjuk jadi alay nggak peduli amat dan mungkin aja memandang kita aneh atau setidaknya merasa lagu band Mum itu freak banget. Ingat... bukannya mereka nggak 'nyampe' untuk mencerna apa yang ktia anggap kece, tapi karena semua orang punya sudut pandangnya sendiri.


Budaya Alay: High-Low and unlimited

"Culture is ordinary, in every society and in every man" Raymond Williams


Seperti apakah kebudayaan milik alay? Banyak yang bilang, karya yang norak-norak itu hasil kebudayaan alay yang akan direproduksi oleh alay-alay juga. Ditinjau dari segi kualitas, karya khas alay dianggap berkualitas rendah, konsepnya cetek dan tidak serumit atau sekompleks karya-karya yang 'dianggap' berkualitas. Seolah karya seni maupun buah hasil pikiran yang norak tersebut tidak bisa jadi sebuah 'mahakarya'. Masalahnya kawan-kawan, berbicara soal estetika adalah hal yang sangat rumit. Menurut kritikus budaya yang percaya pada aspek formal, karya yang berkualitas tidak menonjolkan sebuah makna secara terang-terangan atau tersirat dan lebih kompleks. Mungkin kalau dalam urusan lagu,yah... bukan lagu-lagu yang easy listening atau semacam pop melayu yang liriknya tersurat atau terang-terangan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebuah kebudayaan termasuk karya seni itu kan hasil konstruksi dan interpretasi seseorang terhadap 'dunia'nya. Oleh karena itu perdebatan estetis kalau lagu pop melayu itu norak, bisa dengan mudah dibantah oleh relatifnya cita rasa atau pemaknaan kita pada sebuah karya. Satu budaya nggak bisa kita klaim lebih tinggi dari budaya lainnya, karena konteksnya berbeda dan penilaiannya sangat subyektif.

Ada teori yang bilang kenapa hal atau barang yang berkaitan dengan alay itu terlihat jauh dari keren atau norak, penjelasan singkatnya karena barang-barang tersebut pasaran. Manusia memang aneh teman, di satu sisi dia ingin diterima di masyarakat dengan mengikuti arus, tapi di satu sisi tampil beda itu keren. Nah... hal yang diidentikan dengan alay yaitu sesuatu yang pasaran, overrated, ada dimana-mana atau mudah dijangkau, namun manipulatif. Istilah kerennya 'Mass Culture'. Sedihnya lagi, budaya pasaran ini sesungguhnya bukan dibentuk oleh pasar tapi oleh produsen, yang kemudian dikonsumsi oleh pasar lagi, lagi, dan lagi. Kalau industri rekaman kita nggak segitu hobinya mengangkat pop melayu, mungkin band-band macam kangen atau wali itu nggak terdengar norak-norak amat.

Produk yang massal dan cenderung murah ini sering dijadikan penanda ke'alay'an seseorang. Beda halnya kalau kita punya barang yang limited, didesain khusus, dan harganya mahal, wah... bisa dipastikan 89% pas kita pakai terlihat keren.Sayangnya, saya bukan orang yang percaya barang limited nan mahal itu pasti bagus dan sebaliknya, it's not what you wear it, but how you wear it. Terkadang saya berpendapat kalau menyukai sesuatu yang pasaran itu sah-sah saja, soalnya urusan suka nggak suka kadang jauh dari logika. Jadi tentu tidak adil kalau kita bilang penggemar hal-hal seperti itu adalah alay. Untuk apa melabeli orang lain, kalau kita sendiri punya kemungkinan untuk suka juga dengan barang atau karya tersebut??? Persoalan ini juga yang membuat kamu terlihat keren kalau playlist itunes dilengkapi band-band antah berantah semacam Local natives, Be your own pet, dan band aneh-aneh lainnya.



Bagaimana dengan selera alay? Soal selera seringkali menjadi bahan celaan. Misalnya ada seorang teman yang membeli sepatu kemudian kita bilang ke dia begini 'Ih, alay banget sih sepatu lo! Begitu kira-kira gambarannya. Kata alay mendadak menjadi ungkapan untuk selera yang nggak bagus atau keren. Ada ungkapan selera nggak bisa dibeli, yang meneguhkan kalau orang yang punya selera buruk ya nggak bakalan bisa memilih barang bagus atau bergaya yang fashion forward. Entah kenapa, kalau percaya anggapan ini kesannya determinis banget, padahal selera itu tidak sekonyong-konyong muncul begitu aja. Dulu saya juga sempat kepikiran kalau selera saya memang udah keren sejak lahir (hahaha... pd gila!) tapi kalau dipikir-pikir lagi, dari mulai selera musik, gaya berpakaian, atau pilihan film saya dibentuk, entah oleh keluarga atau lingkungan dimana saya berada.

Ngomongin selera sepertinya perlu membawa om Bourdieu sosiolog Perancis, yang yakin banget kalau urusan selera ini UUK (ujung-ujungnya kelas) dimanakah letak kelas sang alay? bisa ditebak bukan? pertanyaan (atau pernyataan?) yang pernah keluar dari seorang teman mungkin bisa menggambarkan, kira-kira seperti ini: "Jangan pake baju kaya gini...! Masa' lo mau sih disamain sama 'mas-mas' ?!" ckckck... sadis betul nampaknya.


Alay: Sebab atau Akibat?


"Men, make their own history, but they do not make it just as they please; they do not make it under circumtances chosen by themselves, but under circumtances directly encountered, given, and, transmitted from the past" Karl Marx

Sentimen anti-alay memang mulai menjamur, bahkan saya sempat lihat ada group-nya di facebook. Banyak orang yang sudah mulai menggunakan frase alay untuk mengidentifikasi seseorang, meskipun seperti yang udah dibahas sebelumnya, alay itu sendiri masih belum jelas. Jika diperhatikan lebih seksama, definisi alay yang berlaku umum (baca: digunakan oleh sekelompok orang yang mempunyai pengaruh, baik dari sisi kelas ekonomi atau kaum dominan) sekarang adalah orang yang gayanya maksa atau cenderung mengoleksi produk KW, berinteraksi lewat gaya tulisan/ketikan yang terlalu variatif, menggemari musik populer seperti pop melayu, gaya rambut atau berpakaian yang berusaha mengikuti trend tapi memiliki kemampuan mix & match di bawah rata-rata, dan masih banyak lagi. Beberapa ciri-ciri tersebut saya ketahui dari beberapa perbincangan di forum baik dunia maya maupun dunia nyata. Bagi sebagian orang keberadaan alay dengan ciri-ciri di atas dianggap mengganggu kenikmatan pandangan atau skema pergaulan. Oleh karena itu celaan dan sindiran seringkali ditujukan pada kaum alay.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat alamat blog dari seorang teman, kata dia pemilik & konten blog ini sering dicap alay. Setelah menelusuri link tersebut, saya benar-benar terkejut dengan berbagai komentar yang ditujukan pada pemilik blog tersebut hingga membuat saya mikir: 'gila, segitu alerginya kah orang terhadap so-called alay?!' Komentar sadis bernada nyinyir dan ejekan yang menurut saya pantas masuk sebagai kasus cyber bullying itu telah membuka mata saya terhadap fenomena anti-alay ini. Ckckck... kalau dulu ada kelompok kutu buku yang didiskriminasi, sekarang ada kaum alay yang dimarjinalkan, terutama dari segi selera dan kebiasaan.


Emangnya apa dosa seorang alay? Lebih dalam lagi, Apakah kita punya hak untuk menyebut orang lain sebagai Alay, emangnya siapa sih kita? Kalau definisi alay sekacau itu, Siapa juga yang mau dilahirkan jadi alay? Itulah poinnya. Subordinasi alay ini nggak hadir secara tiba-tiba dari alam bawah sadar. Jika kelompok yang disebut alay itu tidak memiliki gaya sekeren hipster-hispter di majalah Nylon atau Juice itu bukan karena mereka dikaruniai selera kacrut dari lahir, melainkan situasi kondisi dan sistem yang membentuk selera, membatasi akses, dan mengarahkan cara pandang mereka.

Kalau ada seorang fashion blogger yang bisa bergaya keren dengan koleksi baju dari butik high-street dan kena demam kebangkitan desainer muda Indonesia dengan selera musik sekelas Music Director Hard Rock fm, melakukan photo shoot yang terlihat indie tapi keren-keren gimana gitu, dan berbahasa inggris begitu canggihnya, Ya... karena Ia punya akses untuk membaca majalah luar yang hip, membeli atau terbiasa dibeliin 'good' stuff, familiar dengan bahasa internasional sejak kecil bahkan rutin ikut les, tahu review band terbaru dari NME atau SPin mungkin, dan bergaul serta dibesarkan di lingkungan orang-orang dengan selera yang dianggap 'tinggi'. Singkat kata, bisa dibilang kelompok ini adalah kelompok The Haves dan yang menjadi The Others adalah si The Have-nots.

Sebaliknya dengan kelompok yang dicap alay, 'Modal' mereka dalam pergaulan dan selera memang tidak sebesar kelas menengah dan menengah atas. Sedangkan dominasi kelas yang lebih tinggi itu memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi keren. DI satu sisi usaha kelas bawah untuk menjadi keren menjadi sasaran empuk industri untuk produk-produk massalnya. Industri menciptakan tren atau fads (macam fenomena yogurt atau BB gitu lahh) akan produk yang menjadi penanda ke'keren'an milik kelas tertentu untuk kemudian menciptakan barang massalnya dengan harga lebih murah agar bisa diakses orang sebanyak mungkin yang merasa bahwa mereka bisa lebih eksis kalau membeli/menggunakan produk tersebut. Kaum kelas bawah juga pengen tampil keren dan oke layaknya individu, namun mereka tidak bisa mengakses sumber-sumber atau bahan-bahan yang bisa bikin mereka sejajar dengan kelas atasnya, dan jika ada kesempatan untuk itu (lewat produk massal tersebut) maka mereka akan segera menjangkaunya sejauh bisa dijangkau. Sistem masyarakat kita yang (saya yakini) mendapat pengaruh besar dari keadaan ekonomi, telah melahirkan alay sebagai anak 'haram'nya. Mungkin kalau dalam masyarakat tanpa kelas, alay tak akan lahir, mungkin...


Fenomena alay menjadi bagian dari stratifikasi baru masyarakat Urban. Saya sempat bertanya-tanya ke seorang teman, 'Eh, di 'daerah-daerah' (baca: bukan kota besar) tuh ada kategori Alay gitu nggak ya?' dan dengan entengnya teman saya menjawab: 'Ya nggak lah... orang di sana alay semua'. Saya pun tertawa satir mendengar jawaban tersebut. Sentralisasi di kota besar yang berdampak pada tidak meratanya akses ekonomi, pendidikan, dan teknologi di daerah-daerah membuat masyarakatnya berkemampuan tidak jauh beda satu dengan yang lain, dalam artian jurang sosial-nya tidak selebar di perkotaan. Lagipula, kepalsuan dan dinamika gaya hidup urban membuat orang-orangnya berlomba untuk menjadi ter'keren' dan ter'atas untuk menjadi eksis. Masyarakatnya punya masalah yang kompleks dan memaksa individunya untuk menjadi tumpul dalam menilai seseorang hanya sebatas dari tampak luar.

Dari kacamata saya, Alay adalah akibat dari berbagai bentuk ketidakadilan dan dominasi selera yang merasa lebih keren dari yang lain. Mengonsumsi produk-produk tertentu tidak bisa menjadi tolak ukur keren & alay atau tidaknya seseorang, membuat kategori minor seperti ini hanya akan berakhir diskriminatif bagi pihak yang dianggap lebih rendah. Kalau hal-hal keren menjadi milik kelas menengah dan atas, sedangkan yang 'alay' milik kelas dibawahnya, ibarat middle class & working class di Inggris, berati kelompok keren itu minoritas. Kenapa musti minder dibilang alay, toh proporsi masyarakat kita memang lebih mengggembung di kelas 'alay' kok?!


*thanks a lot for Change Magazine team to spoil my mind again...again...and again.

Minggu, 18 Januari 2009

Gratissss...


"Free space is history"

-mbak Naomi klein-


Apa yang paling nikmat dan lezat di dunia ini? Gue akan menjawab dengan mudah dan akan dibarengi oleh suara temen-temen se-angkatan gue dengan satu kalimat "SEMUA YANG GRATISSS". Nggak pake embel-embel lagi. Yup, everything that's free is the only answer we can offer. Dan kenikmatan menggunakan atau menghabiskan barang gratisan jauh lebih besar daripada barang yang bayar. Sensasinya itu bener-bener beda! Iya nggak? Coba aja lo dikasih sepotong pizza gratis, cuma-cuma, pasti rasanya jauh lebih enak daripada beli. Bayangin download album 'Dark Captain Light Captain' secara gratis dibandingkan beli cd impornya seharga 200rb-an, pasti lebih meresap dan terngiang-ngiang. hahahha...

Kenapa ya bisa begitu? Apa memang manusia itu makhluk gratisan? hehehhe... Setelah merenung sambil dengerin album 'Dark Captain Light Captain' gratisan tadi, gue menyimpulkan bahwa rasa nikmat tiada tara itu muncul karena... ehm... satu kalimat juga.. karena "Nothing's free today!" atau "Hareee gene mana ada yang gratisss?". Sering kan kita mendengar orang-orang ngomong kaya gitu? Apalagi kalau kita masih dianggap polos karena terus berharap bahwa masih banyak barang gratisan tersisa di dunia ini, omongan itu memang pengelakan yang tepat!

Kenyataannya memang begitu... mau minum beli aqua, mau mandi bayar PAM, mau nge-charge HP bayar listrik, mau pacaran beli pulsa, mau eksis beli Blackberry, mau pipis bayar seceng (Rp 1000), mau parkir bayar minimal Rp 1000 juga, mau tidur setor uang kontrakan atau KPR ke bank, masuk penjara tetep kudu bayar, mau lulus kuliah jangan absen fotokopi bahan, mau nongkrong ke taman menteng bayar parkir juga, mau liat pameran di galeri nasional harus rela ditagih ongkos sama kenek kopaja P20, mau terus hidup ya harus terus kerja, mau kerja ya bayar ongkos lagi. Wakakkaka... Pusing kan?

Jangan ngisup (Pusing-red) deh mendingan... Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama di dunia kapitalisme fana ini. hehehe Hari gini sih apa juga bisa diduitin, bahkan jasa lalu lintas di jalanan didagangin sama polisi gopek (udah nggak mau duit cepek-an). Ini semua memang lingkaran setan jahanam. Dimana semua manusia harus membayar segala sesuatunya untuk terus hidup oleh karena itu mereka harus menghasilkan uang untuk menumpuk cadangan uang, jadi jangan heran semua-semuanya nanti didagangin. Bisa aja kalau gebetan lo kepepet butuh duit, cintanya pun diperjualbelikan. hehhee (lebay...)

Sudah pasti hal-hal yang gratis itu enak karena memang banyak dari tetek bengek itu pada kodratnya hadir cuma-cuma. Mulai dari taman tempat nongkrong yang nggak perlu bayar apa-apa, memang seharusnya ruang publik yang menjadi sarana pergaulan kawula muda. Air yang dulu berlimpah dan menjadi hak semua manusia harus rela diprivatisasi perusahaan asing dan tidak digunakan untuk kemaslahatan orang banyak melainkan kemaslahatan orang yang mampu. Inilah ujung dari komodifikasi (sok keren bgt gw) ketika nilai guna atau pakai itu harus diuangkan. Dari Perceraian artis sampai jalan menemukan Tuhan. Semuanya tidak luput dari biaya. Gimana nggak tambah kere nih kita... hehehe...

Ini hanya keluh kesah gue aja kok. Berhubung kondisi keuangan gue lagi menipis, jadinya sok kritis gini. hahahaha.... Soalnya kalau kita lagi susah, baru deh berasa... betapa kejamnya dunia. Mau ngapa-ngapain bayar! hiks, hiks, hiks... Padahal Gue percaya kalau Tuhan itu nggak matre, Dia kan ngasih semua sumber daya secara cuma-cuma. Jadi salah tuh yang bilang bahwa Adam & Hawa jatuh dari surga itu menderita karena Tuhan sudah memberikan mereka berbagai fasilitas (plus wi-fi! hahahha). Keturunannya aja banyak yang mata duitan dan membuat dunia ini semakin kehilangan "Ruang untuk Anugrah" (ruang untuk yang gratis-gratis). Jangan-jangan saking sedikitnya ruang untuk sesuatu yang gratis, konsep bagi-bagi (share) bakalan lenyap. Mudah-mudahaqn jangan ya... (Aminn). Tapi kalau kata John Lennon (tetepp..) "Love is free... Free is Love". Apalagi "Free as a bird" (halah!)....


*Terinspirasi oleh lingkungan sekitar dan buku "Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dolar" oleh Marina Silvia K.

Selasa, 07 Oktober 2008

Ramadhan, Berkah untuk Siapa?

-041008-


Bulan ramadhan bisa jadi saat yang paling dinanti-nanti. Bukan... bukan karena saya berulang tahun untuk kedua kalinya di bulan ini. Bukan juga karena nama saya ada di setiap spanduk bertuliskan " Selamat datang bulan suci ramadhan" dan saya gr ada nama saya di situ (weksss). Tapi karena katanya bulan ini adalah bulan penuh berkah namun entah juga berkah apa dan untuk siapa. Yang jelas, dalam tulisan ini sih saya nggak akan menyinggung soal pahala dan dosa. I think we've got enough about them from our religion teacher, right? Karena hari ini sudah hari ke-3 lebaran dan nggak tahu kenapa saya hanya belum mendapatkan 'greget'nya. Yeah... dari tahun ke tahun saya masih nggak ngerti apa itu sebenarnya hari lebaran, kecuali makanan enak, salam tempel, dan iklan-iklan di tv yang bilang ini adalah hari kemenangan. Coba diperjelas lagi, menang atas apa? emangnya kita lagi perang gitu? hehehe...

Ibaratnya saya anak kecil yang nanya ke ibunya, apa sih lebaran itu? tanpa pernah dapat penjelasan yang 'real' . Seperti yang 'mereka' ajarakan pada saya, pada bulan ramadhan kita berpuasa dan ini berarti kita harus menahan nafsu selama sebulan penuh. Waktu kecil saya merasa 'tahu banget' apa itu puasa karena saya puasa sebulan penuh, ikut pesantren kilat, selalu tarawih di mesjid, rajin tadarus dan tentu saja mengisi agenda ramadhan dari sekolah. Seiring saya tumbuh kayanya saya mulai meragukan pengetahuan saya akan ramadhan itu sendiri. Semboyan 'menahan nafsu' mulai saya renungkan kembali karena semakin saya besar, saya makin melihat ketimpangan teori agama dengan prakteknya. Pertanyaan itu dimulai dengan melihat sajian yang lengkap dan melimpah di meja makan saat buka puasa. Apa bedanya hari biasa dengan hari saat berpuasa kalau kaya gitu caranya. Nafsu makan yang ditahan sendirian langsung dilampiaskan pada malam hari. Saya juga mulai heran liat orang yang jarang shalat tapi pas puasa shalatnya malah lebih rajin dari saya, mereka bilang karena pahala di bulan ramadhan dilipat gandakan. Belum lagi ketika saya berada di jalanan Jakarta sekitar pukul 4-6 sore,wuihhh... kalau ada yang ngadain sensus kendaraan bermotor di Jakarta, inilah saat yang tepat. Semua kendaraan tumplek blek di Jalanan sampai banyak ruas jalanan yang terkunci, rambu lalu lintas dengan mudah di langgar, memberikan jalan untuk kendaraan lain pun ogah. Alasannya sih simpel, mau buka puasa di rumah sama keluarga atau bersama kerabat di manapun. Gimana mau nahan nafsu kalau bersabar aja susah? Saya juga kembali bertanya-tanya tentang makna ramadhan saat berbagai Mall dan toko memberikan penawaran yang paling menarik, koleksi terbaru yang memikat untuk dipakai pada hari lebaran. Sampai-sampai, merk pakaian yang katanya impor bisa-bisanya punya koleksi baju koko, hihihi.... saya jadi merasa lucu sendiri. Yang paling aneh lagi ada Esia paket Ramadhan, HP yg pas buat ramadhan.hahhahaha....

Saya sih percaya aja kalau ada yang bilang bulan puasa tuh bulan yang penuh berkah untuk semua marketer yang jualan barang termasuk pedagang musiman. Bisa jadi bulan ramadhan tuh puncak profit mereka karena semua orang berlomba-lomba untuk membelanjakan uang THRnya (termasuk saya, hehehe). Soalnya mall di penuhi oleh orang-orang yang berbuka puasa di resrtoran atau food court dan beli baju baru di department store. Lain halnya dengan penjual sembako dan daging, mereka pasti hura-hura dengan keuntungannya atas hukum pasar. Semakin banyak permintaan, semakin mahal harganya. Bahkan katanya ayam kampunga aja bisa dijual dengan harga Rp 90rb sekilo!!! Ckckckck.... euphoria makanan bersantan dan berdaging di bulan ini tentu bikin para vegan bersedih. Pada bulan ini juga banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi dermawan lewat cara bersedekah secara legal ( lewat badan zakat) atau memberikan uang pada gepeng (glndangan & pengemis) di jalanan. We might see clearly, Perda Pemda Jakarta yang melarang memberi uang pada gepeng di lampu merah, hanya omong kosong belaka. Dahsyatnya lagi, saya denger jumlah uang yang terkumpul lewat zakat di bulan Ramadhan itu bisa sampai puluhan triliun rupiah!!! Bahkan lebih besar dari anggaran pendidikan negara kita ! Yang harusnya udah bisa banget mengurangi kemisknan tapi dampaknya ternyata belum signifikan. Geli banget nggak tuh? Tapi ini semua hanya berlaku sesaat. Semua orang ingin berlaku bak nabi dan nasabah bank pahala di bulan ini. Yup... hanya di bulan ini?
Gimana dengan lebaran? Yang jelas Temasek dan pemodal asing pemilik saham di perusahaan telekomunkasi bergembira ria menyambut lebaran. Semua orang ngirim sms yang 'send to many' ke semua isi phone booknya, padahal belum tentu semuanya dia kenal dengan baik, ya nggak?

Anyway, i'm not trying to be sceptical today but i just saw things went so weird and irrational. Bulan ini tentunya hadir sebagai bulan pengingat. Bulan ini kita diingatkan akan rasa lapar yang selama ini dialami oleh kaum dhuafa, kita diingatkan untuk melihat sekitar kita dan merefleksikan 11 bulan ke belakang. Apa yang sudah kita lakukan pada lingkungan sekitar, teman kita, dan kita sendiri. Saya jadi inget kata rasul (saaahhh) makanlah saat lapar dan berhentilah saat kenyang, itulah cukup. Ada yang pernah bilang ke saya, mungkin di situlah seharusnya kita berada, pada suatu kondisi yang cukup, tidak kurang tidak lebih. Dia juga bilang, itulah tantangan kita, bertahan di level ini tanpa tergoda untuk melebihkan.


dedicated for Vienna traveller wannabe and those who are struggling to finish their thesis !!!

Rabu, 16 Juli 2008

Mendikte si Pendikte

Coba kita buka majalah lifestyle (baik majalah pria maupun wanita) pada saat edisi-edisi tertentu. Jika di dalam majalah tersebut terdapat rubrik fashion, bisa dipastikan ada artikel yang memberi tahu tren terkini, what's in what's out, dan berbagai macam gaya pada musim tertentu seperti "summer, fall, atau spring collection." Para ahli mode akan memberikan anjuran cara berpakaian sesuai dengan apa yang menjadi tren musim itu. Belum lagi ada berbagai merk yang mempromosikan koleksinya per musim. Ketika artikel dibaca dan kita menutup majalah, kita sudah punya 'bekal' yang mempengaruhi kita dalam menimbang apa yang akan kita pakai. Sekarang katanya lagi musim Tye Dye dan Jam tangan Nooka, skinny jeans diprediksikan meredup digantikan oleh wide leg pants ala hippie atau celana pantalon.

Itu adalah hal-hal yang disebar-luaskan oleh industri mode lewat katalog terbaru, majalah, maupun komentar para pengamat
mode. Biasanya tren dilihat dari rangkaian koleksi di berbagai Fashion Week mulai dari Milan sampai New York. Beralih ke koran, beberapa waktu lalu saya membaca artikel di sebuah koran (kalau tidak salah Media Indonesia) yang membahas tentang "The Sartorialist" sebuah blog milik Scott Schuman. Apa istimewanya blog ini? oke... saya adalah salah satu pengunjung setianya dan melihat postingan satu bulan di blog itu -menurut saya- jauh lebih bermanfaat dan masuk akal untuk referensi saya, dibanding majalah-majalah lifestyle bergengsi. Saya mengetahui blog ini sejak tahun lalu dari style.com yang menjadikannya link tersendiri. Setelah terdampar di blog simpel namun menarik ini, saya -terus terang- semakin percaya diri untuk bergaya sesuai kemauan saya. Blog ini berisi foto-foto berbagai macam orang dari berbagai kota di dunia (milan, new york, new delhi,dll) yang berpose mengenakan pakaian pilihan mereka sendiri dan dijepret oleh si Scott. Terus? Di mana letak menariknya? Yang menarik adalah orang-orang pilihan Scott itu memang orang biasa (common people) dan satu dua orang terkenal yang memiliki 'statement' tersendiri dalam berpakaian. Ada yang menggabungkan setelan t-shirt jeans dengan Doc Marten ukuran besar, ada juga yang hanya mengenakan black dress tertutup dengan turtle neck, polos tanpa hiasan namun terlihat sangat berkarakter, dan masih banyak lagi everyday-ordinary-but-cult style. Blog ini begitu terkenal di kalangan pecinta fashion bahkan banyak perancang terkenal yang menjadikan gaya-gaya orang tersebut sebagai inspirasi dan tampilan mood boardnya. Media-media besar macam Vogue, Elle, atau GQ juga kepincut dengan kumpulan common people dalam sartorialist. Gaya yang beredar di jalanan ini ternyata berhasil mendikte para pendikte di industri fashion. Padahal bisa jadi para model dadakan itu hanya memilih pakaian berdasarkan insting dan sama sekali tidak mendapatkan sentuhan brand-brand terkenal macam Loubotin atau Miu-Miu. Padu-padan karya mereka kemudian mengusik benak perancang yang sudah kehabisan ide dan mereka juga menjadi inspirasi banyak pengamat. Agaknya ini menjadi semacam produksi-reproduksi mode dan bagi anda yang termakan bimbingan industri mode nampaknya harus mulai cerdas dalam memilih.

Coba sekarang anda kunjungi blog tersebut (thesartorialist.com), oprek archive-archive lamanya dari tahun 2006 dan anda akan tahu bahwa kepercayaan diri dalam menentukan gaya anda sendiri itu timeless. Karena saya tidak melihat zipper jacket itu ketinggalan zaman. Jangan gadaikan koleksi lama anda, maksimalkan apa yang ada di lemari, dan jangan terjebak dalam lingkaran mode... Salam Sartorial !


Senin, 24 Maret 2008

For Real Beauty for Real


Semua wanita memang sudah saatnya muak dengan industri kecantikan. Lewat iklan-iklan produknya kita dibuat seolah-olah ada saja dari bagian tubuh kita yang tidak ideal atau sempurna. Bagi iklan pengurus badan, saya lupa merknya, Nadia Hutagalung itu cantik dengan ukuran pinggang yang pas. Lain lagi bagi shampo pantene yang merepresentasikan cantik lewat Siti Nurhaliza dengan rambut lurus, hitam, dan panjangnya. Sedangkan untuk akhir-akhir ini, hanya wanita putih lah yang bisa memiliki kisah cinta yang begitu indah lewat iklan Ponds Flawless white. Lalu bagaimana nasibnya perempuan yang tidak langsing, yang tidak berambut lurus hitam, yang tidak berkulit putih?
Bagi para pembuat iklan atau produsen itu sendiri, riset memang menunjukkan bahwa perempuan Asia cenderung menginginkan kulit yang lebih putih sekalipun perempuan asia timur (yang udah jelas putih banget). Kenapa ya? Setelah ditelusuri lebih lanjut, lewat berbagai literatur saya dapatkan jawaban yang lebih rasional, ada faktor historis di situ. Bagi orang Asia yang menjadi wilayah jajahan bangsa barat, kulit putih berarti bule atau bangsa barat yang pada kala itu (dan ternyata masih sampai sekarang) derajatnya dipandang lebih tinggi. Maka jangan heran perempuan asia berlomba-lomba untuk tampak lebih putih, blame it on colonial complex.
Itu soal wajah, bagaimana dengan tubuh? Pinggang kecil, pantat besar, dan payudara yang besar adalah definisi seksi. Nah sejak Twiggy mulai menjadi icon di tahun 60-an, semua perempuan berlomba menjadi kurus. Untuk masa sekarang, blame it on Nicole Richie, Mischa barton, or Gemma Wand. Media memang tidak bertanggung jawab dalam represntasi kecantikan, media tidak mengenal banyak bahasa dari berbagai budaya. Cantik hanya diolah dalam satu bahasa, misalnya look like supermodel atau Hollywood scarlets. Sedangkan iklan sendiri selalu memanfaatkan Gap yang terletak antara kenyataan dan yang diimpikan. Perempuan asia ingin kulit seterang Cate Blanchette (iklan SK II) sedangkan perempuan Amerika mengidamkan kulit se-tanning Gisele Bundchen.
Nampaknya hampir sebagian besar hari kita dibombardir dengan cantik versi media dan iklan. Perempuan mulai membuat janji dengan dokter kulit untuk suntik vitamin c, kulit putih namun berisiko kanker kulit. Diet juga menjadi tren, seolah-olah manusia memang tidak pernah puas akan apa yang sudah ada. Bersyukurlah, akan saya perlihatkan iklan Tv dan Print Ad dari produk DOVE yang mungkin akan sedikit menggugah sekaligus menenangkan kekhawatiran anda.
Bagaimana tidak dengan iklan yang langganan award dan dibubuhi copy sedahsyat “No wonder our perception of beauty disorted” atau “Talk to Your Daughter before The Beauty Industry Does” DOVE memabawa angin segar dalam memandang kecantikan. Buat kita di Indonesia, masih inget kan kampanya For real beauty nya DOVE dengan mengedepankan pertanyaan bipolar, seperti gambar ibu yang beruban dengan pertanyaan Grey or Gorgeous dan kita dapat berpartisipasi dalam kampanye tersebut lewat websitenya. DOVE percaya bahwa cantik itu apa adanya. Bukan putih berambut panjang dan bertubuh bak barbie. Tim dari agency Ogilvy & Mather yang dipercaya menggarap kampanye ini (termasuk di Indonesia) juga melakukan pendekatan yang mampu meredefinisi cantik. Di US sendiri DOVE sudah mendirikan “Self Esteem Fund” guna menumbuhkan self esteem perempuan, terutama remaja, akan pentingnya menghargai diri sendiri dan percaya diri akan apa yang dimilikinya. Betapa gembiranya perempuan bahwa masih ada yang percaya bahwa cantik itu tidak absolut melainkan relatif.
Kebetulan topik ini menjadi masalah yang saya angkat dalam skripsi saya (doakan saya lulus semester depan). Masalah? Dimana letak masalahnya? DOVE kan merepresentasikan kecantikan as it is (apa adanya) dan tidak dibuat-buat? Tentu menjadi sebuah masalah bagi saya karena ada fakta yang tidak bisa dihindari. DOVE adalah salah satu produk milik produsen consumer goods kenamaan di dunia, “UNILEVER”. Sayangnya Unilever tidak hanya memiliki DOVE dalam kategori personal care, dia juga pemilik dari produk PONDS, Sunsilk, Citra (di Indonesia), Slim-fast, Vaseline, dan masih banyak lagi. Nah, produk selain DOVE itulah yang telah menghadirkan iklan 7 hari menjadi putih, lalu apa kata Unilever? Seperti yang dikutip dalam Advertising Age, pihak unilever hanya bilang bahwa perusahaan ini adalah perusahaan besar yang membawahi banyak Brand yang melayani kebutuhan berbagai jenis konsumen. Wah kok gitu? Ya iyalah… Unilever itu Global Company yang berideologi kapitalis (like every company does) yang menuhankan profit dan sales. They realy don’t give a fuck about beauty perception structurally, the only thing they see it’s just how can we expand market? By adding product for serving every personalities and needs.
Dengan adanya DOVE, unilever berarti sedang melayani para perempuan yang muak tadi. Yang tidak bisa diraih lewat produk Ponds dan slim-fastnnya, yang membutuhkan pembenaran untuk ketidak’cantik’annya. Phiuh…begitulah nasib dari target market, tidak akan lepas dari bidikan produsen yang mencari pasar.
Biar bagaimanapun, kampanye For real Beauty DOVE patut diberikan standing applause tapi What is Beauty for Real?



Jumat, 22 Februari 2008

Live Fast Slowly


















Salah satu merk pakaian ternama di dunia, DIESEL kembali dengan kampanye barunya di awal tahun 2008. Setelah tahun lalu menggebrak dengan tema 'Global Warming Ready' dan 'Human Afterall' kampanye merk berslogan 'Sucessfull Living' ini mengusung tema 'Live fast'. Jika dilihat dari tampilan kampanye di media cetak yang sudah-sudah, DIESEL memang dengan cerdiknya membawa isu yang terkait erat dengan kehidupan manusia modern terutama di perkotaan. Dalam kampanye 'global warming ready'-nya, DIESEL memotret seseorang yang terselamatkan dari keadaan yang mengenaskan akibat pemanasan global. Kedaan itu divisualisasikan dalam kejanggalan yang terjadi di kota-kota seperti london atau paris. Yang pada saat itu, filmnya Al gore belum sepopuler sekarang dan perusahaan pengeksploitasi manusia maupun alam belum gencar dengan CSRnya. Begitu pula dengan merk2 fashion lain yang belum tergerak untuk sok-sokan cinta lingkungan dengan bahan ecofriendly dan gerakan amal lain.
Kemudian kampanye “Human after all” yang mengangkat isu “Technological determinism” secanggih2nya teknologi yang kita buat dan gunakan, we’re human afterall. Dengan mobil secanggih itu (sampe melayang gitu mobilnya) tetep aja yang namanya teknnologi ya teknologi bisa berbuat lebih tapi ada limitnya dan apesnya. Kalau kita sadar nih, teknologi lebih sering eror ketika kita benar2 bergantung padanya dan sangat membutuhkannya pada saat2 penting. Sedikit berbagi pengalaman nih…saya mau presentasi kampanye untuk satu tugas mata kuliah yang penting dan harapan saya hanya terletak di flash disk 1 gb saya dan komputer yang tersedia di ruangan itu. Dengan cantiknya power point sudah dibuat dan sudah berlatih, ternyata ketika tiba giliran saya presentasi, flashdisk saya yang sudah dicolok di komputer tersebut langsung terinfeksi virus dari komputer tsb. Dan Abrakadabra…..harapan saya hangus begitu saja seiring dengan virus yang menggerogoti data2 saya dalam sekejap! Boro2 presentasi dengan power point yang sudah animated, manual aja dulu,,,,,huhuhu…dari situ saya belajar untuk tidak segitunya bergantung pada teknologi. Tentu saja kampanye “human afterall” begitu menyentil saya (atau mungkin anda juga?). Dan sekali lagi, kampanye barunya begitu menggugah pikiran untuk kembali diresapi dan instropeksi (jaaahhh…)
Dengan tema “Live Fast” saya kembali berefleksi pada kehidupan modern yang memang berjalan dengan serba cepat. Makan cepat karena jam kerja akan berkurang jika kita terlambat dan itu berarti hitungan per jam kita menjadi tidak efektif, potong gaji pula konsekuensinya. Hahaha….
Kenapa “Live Fast” ??? Kalau menurut saya, itu bersumber dari pedoman “Time is Money”. Btw, siapa sih yang bikin pedoman itu? It’s arbitary anyway, jadi nggak keusut siapa pencetusnya. Kalau waktu adalah pedang sih saya percaya tapi uang??? Lepas dari siapa yang melontarkan untuk pertama kalinya, saya rasa kalimat itu erat kaitannya dengan kapitalisme. Ketika majikan memperkerjakan buruhnya dengan menetapkan tarif pada hitungan waktu tertentu di situlah kemudian waktu berubah menjadi uang. Lihat anak kecil yang bermain sesuka hati, yang hanya tahu pagi, siang, dan malam. Kalau pagi ada dora, siang waktunya tidur, malam nonton tv lagi, jadi dia tidak menganggap kalau waktu itu tidak berkorelasi dengan uang. Namun coba tengok pekerja kantoran, walaupun mereka digaji perbulan, hitungannya tetap diawalai dari per jam kemudian diakumulasikan dalam hitungan hari, bulan, dst. Serupa dengan karyawan, buruh pabrik harus lembur untuk kecukupan hidup mereka, tambahan jam kerja berarti tambahan pemasukan. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat, karena siapa yang paling cepat, dia yang dapat. Dengan dasar waktu harus efektif maka apartemen harga miliyaran di pusat kota pun laku bak kacang goreng. Kembali pada pilihan transportasi atau residensi, ongkos transportasi mahal karena rumah di pinggiran lebih murah. Begitu pun sebaliknya tempat tinggal mahalnya selangit tapi ke kantor tinggal nyebrang. Pilih mana???
Ujung-ujungnya duit, lagi-lagi uang. Semua di reduksi menjadi uang, ada waktu, cinta, persahabatan, hingga tuhan. Hubungannya menjadi lebih fungsional. Kejam? Sudah pasti, siapa yang bisa bertahan dialah yang menang. Lihat saja di kampanye DIESEL ini, perempuan yang terburu-buru, pekerja yang harus tepat waktu, dan tentu saja dengan balutan style modern urban khas DIESEL.
Jadi apa yang sebenarnya ingin dikemukakan DIESEL? Sebagai manusia modern, kita memiliki banyak kontradiksi. Ada harga yang harus dibayar dari modernisasi. Anyway, saya memakai produk DIESEL juga sih,,,hehhee,,,Ummm…bagaimana kalau ganti pedoman menjadi Slowly but Sure, Alon-alon asal kelakon?hahaha…..

Be Slow, Be Low, Let it Flow….

Rabu, 20 Februari 2008

Memakai ZARA, Mengonsumsi Tanda

Intro:
Mari coba kita bayangkan bersama-sama jika…
1. Lagunya Jesus & Mary Chain bisa didengar di mana-mana, cd bajakannya diputer di pasar tradisional terdekat, kaos bertuliskan band ini dijual di empire (emperan) !
2. Marc Jacobs buka butik di Matahari and guess what? Harga bajunya gak ada yang lebih dari Rp 200.000 tapi modelnya Marc banget tetep!
3. Film-filmnya Wong Kar wai diputer di 21 trus antriannya kaya ular naga panjangnya !
4. Raam Pundjabi bangkrut soalnya udah gak ada yang demen ntn Sinetron lagi, sampah katanya. Trus stasiun Tv kita muter film-film pendek berkualitas karya sutradara muda Indonesia (sebut saja Kara anak Sebatang pohon, perjalanan pulang ;p, A very slow breakfast, The conductor, etc) !
5. Para remaja perempuan stop baca Gogirl! Mereka pada langganan NYLON magz aja dulu !

Udah ah capek bayangin mulu! Karena pada faktanya…

Bukan gak mungkin lho itu terjadi…sumpah saya gak bo'ong! Coba kita cari contoh terdekat : dulu kayanya yang punya Mac keluaran Apple hanya orang-orang tertentu, biasanya yang berhubungan dengan dunia audio visual (graphic design, editor, etc) nyari suku cadangnya setengah mati di Jakarta, Tapi sekarang? Coba Anda cari di Mall-mall gaul di Jkt atau kota besar, pasti ada Ibox, e-store, dan sebangsanya. Trus sekarang, semua orang pake produk apple kayanya (termasuk saya dong biar gak ketinggalan,hahaha). Contoh lainnya Cerahati yang terkenal dengan vidklip indienya kaya Mocca yang I don't think I need my diary atau KOIL yang mana gitu gw lupa (he3 maap) sekarang mulai menggarap band paling happening tahun ini yaitu T2. Dan masih banyak contoh lain tentunya.

Emang kenapa sih? Salah? Gak boleh gitu kalo semuanya jadi begitu?

Ya nggak lah….gak papa kalee. Sah-sah aja kok Karena sekarang semua itu mungkin terjadi (impossible is nothing klo kata Adidas), kecuali Anda makan kepala Anda sendiri (coba buktikan klo gak percaya!). Biar bagaimanapun ya para pembaca… apa yang kita konsumsi itu bukan apa-apa melainkan hanya sebuah tanda (sign). Gini deh biar saya keliatan intelek (saah) saya mau mengutip kata seorang yang dinobatkan sebagai postmodernist yaitu Alm. Jean Baudrillard, kata doi nih:
"Through objects, each individual & each group searches out his/her place in order , all the while trying to jostle this order according to a personal trajectory. Through objects a stratified society speaks…in order to keep everyone in a certain place."(Baudrillard,1972/1981:38)

Jadi, klo Anda beli Skinny jeans di Zara seharga Rp 475.000 untuk Anda gunakan nantinya, Anda sukses meletakkan diri anda di kalangan urban, sadar mode, dengan ciri gaya Europe eclectic, dan berada di tingkat SES A atau A+. Atau jika Anda mengidentifikasikan diri sebagai anak indie, Anda mempunyai seabrek Mp3 dengan nama band luar aneh2 ( Arch. In Helsinki, Mum, Nouvelle Vague) atau band dalam negeri dengan awalan the (the SIGIT, The Berandals, The Adams, dan band keluaran Akasara atau FFWD lainnya) trus pake kacamata gede biar nerd dengan celana ngepres berambut acak-acakan.
Singkatnya, dalam era konsumsi ini kita hanya sekumpulan manusia yang tidak akan bisa hidup tanpa mengonsumsi benda, ide, jasa, atau apapun itu yang ternyata cuma tanda (sign). Klo gak begitu serasa telanjang kayanya. To sum up, "I consume therefore I am"
Klo ada yang ngerasa pinter, kayanya harus mengakui bahwa mereka kalah pinter sama orang-orang marketing. (Untungnya nih, saya belajar dogma2 marketingnya Philip Kotler di perkuliahan.hohoho)

Lebih kasihannya lagi nih kita di zaman ini udah bener-bener jadi masyarakat yang tidak bisa membedakan antara mana yang nyata (real) sama yang lebih dari nyata (hyperreality). Begini, kita (cewek2) percaya begitu saja klo memakai ponds, citra dan produk sejenis itu kuit menjadi lebih putih, mulus, jadi nanti dilirik cowok. Kita kan tahunya cowok-cowok Indonesia sukanya sama cewek putih, tinggi, langsing, rambut panjang, dengan segala keanggunan dan kelemahlembutannya. Jadi kita pengen deh kaya gitu juga. Pada faktanya, mereka (cowok2) menganggap cewek cantik dengan kriteria tersebut karena mereka biasa melihat di media (tv, iklan, film, dsb) kalau yang dibilang cantik ya yang kaya Luna Maya, Dian Sastro,dan sebangsanya itu. Percaya atau nggak ada banyak cowok di luar sana yang bosen sama cantik versi media itu. Jadi udah kaya lingkaran setan deh mana yang nyata sama yang lebih dari nyata (komik jepang dengan mata-mata belo adalah salah satu contohnya) batasnya udah blur. (Thanks to Mass Media)


Jadi salah siapa dong?
Wah udah susah banget buat ngusutnya! Klo mulai dari media, iklan, dsb ujungnya ke marketing dan orang yang berkuasa di belakangnya, trus marketing dan csnya itu ujungnya profit a.k.a uang yang banyak. So…blame it on money as the most stupid (and smart in the same time) thing in the world.

Emang laknat deh tuh marketing (loh kok?) soalnya lewat proses perencanaan pemasaran itulah semua citra, tanda diciptakan. Setelah berbagai analisa pasar, kompetitor dan semacamnya mulai deh ditentukan klo Produk Adidas stella mccartney target market secara demografis: cewek, umur 20-30an, SES A+ secara Psikografis: gemar berolahraga, selalu ingin tampil modis, feminin, etc. Lalu produk tersebut diposisikan sebagai pakaian olahraga buat cewek sporty yang modis (halah,,,) Lewat positioning itu maka iklan, dan serangkaian kegiatah promosinya berusaha setangah mati untuk menancapkan 'tanda' itu di benak khalayak yang notabene adalah Anda, Mama di rumah, temen-temen di kampus, dan tentunya saya sendiri. Biar kita semua rame-rame beli produknya deh…hohoho….

Eits..belum abis..sabarr…masih ada satu lagi….
Buat Anda sekalian yang merasa sudah 'beda' atau cutting edge dengan baju keluaran Comme Des garcons, ada lagu Sigur Ros sama Bjork di playlist mp3 playernya, Menggemari film-filmnya Tim burton, dan khatam sama novel-novelnya Irvine Welsh kayanya harus buru-buru ngumpet deh biar gak ketauan….hehehhee….Soalnya ya seperti yang sudah dikemukakan di atas tadi, itu semua cuma 'tanda' kita semua sama-sama mengonsumsi tanda tetapi postioningnya aja yang berbeda. Dan jangan heran yak lo ada banyak orang yang sebenarnya Sama kaya kalian karena pertukaran 'tanda' (sign exchange) ini sudah begitu massif. Gak ada deh yang bisa melarikan diri dari ini semua.

Nah klo sudah begitu harus bagaimana dong kita?
Klo kata iklan LA lights sih Enjoy aja….dan jangan terlalu terjebak sama 'tanda' yang udah betebaran dimana-mana itu. Gak usah ngoyo beli CDnya Nouvelle vague yang baru di Aksara seharga Rp 240.000 wong tinggal search di multiply aja gratis! Toh sama kan Nouvelle vague juga gak jadi berubah vokalnya kaya Mulan Kwok kan?? Lagian CD asli di rumah juga jadi pajangan doang kecuali klo Anda mau ngado pacar sebuah tanda kasih sayang yang digambarkan dengan usaha membeli CD itu.hehehe
Prinsipnya simple aja sih semuanya tuh omong kosong, bohong belaka, kan udah gak ada yang nyata menurut sepenglihatan kita.hehehe….mendingan kita mengasingkan diri di pelabuhan bajo aja biar gak pusing, Ceesan sama nelayan dah di situ (waw…postmod amat tuh). Ya udah lah…orang saya juga cuma ngelantur ini (tapi kok panjang amat ye?) Afterall Dude….Maybe we should give big applause for BLUR to mention that "Modern Life is Rubbish"

CHEERS…..!! Happy New year!

 
design by suckmylolly.com