Tampilkan postingan dengan label smells like feminist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label smells like feminist. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Desember 2013

Ketika Korban Memecah Kebisuan, Mereka Mempertanyakan






Perhaps the most basic challenge that feminists have posed to traditional views of rape lies in the recognition of rape as a crime against the victim herself.
(Rebecca Whisnant)


Sejak beberapa hari yang lalu, linimasa saya diramaikan dengan perdebatan soal kasus Sitok Srengenge (SS) yang dilaporkan ke polisi atas tindakan perkosaan yang dia lakukan kepada mahasiswi UI. Mengingat kasus tersebut sudah menjadi bahan obrolan di lingkup pekerjaan saya sejak sebulan yang lalu, saya sendiri salut dengan korban yang akhirnya berani melaporkan kasus tersebut. Ramainya komentar di jejaring sosial (terutama twitter) yang dilontarkan berbagai kalangan sesungguhnya sudah mulai melebar ke pembahasan yang lebih besar dari sekedar aktor pelaku dan korban, karena menyeret Salihara juga sebagai institusi tempat Sitok Srengenge. Peristiwa ini seolah menjadi pembenaran bagi kalangan yang sejak awal bertentangan dengan Salihara untuk semakin menyerang institusi tersebut, bahkan dengan tagar "tutup salihara". Adu lempar komentar di sosial media memang tidak bisa terelakan, simpati tidak hanya dilontarkan pada korban tapi ternyata juga pada pelaku itu sendiri. Sayangnya, kericuhan tersebut cenderung mengaburkan pokok permasalahan utama, bahwa ada seorang mahasiswi yang melaporkan SS atas tindakan perkosaan.

Kata "perkosaan" sendiri kemudian menjadi pisau bermata dua yang bisa digunakan oleh si korban untuk mempidanakan pelaku atau oleh khalayak lain yang menganggap perkosaan hanya sebagai alasan. Apalagi komentar di portal berita yang merendahkan korban, seperti: "kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor, kemarin ke mana aja?" atau "Palingan ini suka sama suka, kan sudah dilakukan berkali-kali?!".

Terus terang, komentar semacam itu membuat saya sedih, melihat bahwa upaya membangun peradaban manusia (setidaknya manusia di Indonesia) untuk membela hak-hak perempuan serta kelompok yang termarjinalkan seolah mundur ke belakang. Bisa jadi, karena cara kita memandang apa itu perkosaan dan kekerasan berbasis gender memang masih blur atau abu-abu. Seperti komentar seorang teman di statusnya "Kita tidak bisa melihat kasus ini dengan hitam-putih". Namun sebelum kita menentukan ini hitam atau putih, kita perlu menyadari bahwa dalam sistem tempat kita berada, ada ketidaksetaraan. Dan mungkin, kacamata kita yang belum diperbaharui, karena bukan soal hitam putih, ini adalah soal korban dan kekerasan.

 Apa itu Perkosaan?


Definisi Perkosaan memang tidak sederhana, satu waktu tindakan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah kita kenal, di lain waktu, perkosaan juga bisa dilakukan oleh orang yang kita kenal bahkan kelompok terdekat kita (teman, keluarga, pacar, kenalan, dll). Menurut K.H Husein Muhammad, dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh kehidupan korban.

Kita harus melihat perkosaan bukan hanya sebagai tindakan kriminal semata, melainkan satu bentuk dari kekerasan seksual sebagai upaya merenggut kedaulatan tubuh dan kebebasan korban (perempuan). Dalam sejarah masyarakat yang patriarki*, perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang nilainya salah satunya, ditentukan oleh kesucian seksual (sexual purity) perempuan tersebut. Berangkat dari hal ini, perkosaan lantas dianggap sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran norma melawan martabat si 'pemilik' properti (misalnya ayah atau suami korban). Namun berkat perkembangan dalam perjuangan hak-hak perempuan, prinsip kepemilikan atas tubuh perempuan tidak lagi mendasari terjadinya perkosaan, karena pihak yang tadinya dianggap "memiliki" perempuan seperti suami misalnya, bisa menjadi pelaku perkosaan itu sendiri.

Perkosaan diambil dari bahasa latin, repere, yang berarti mencuri, memaksa, ataupun merampas (Wikipedia). Secara lebih luas perkosaan didefinisikan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai segala bentuk pemaksaan hubungan seksual, tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin, dan perkosaan ini juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Perkosaan berarti merampas kedaulatan tubuh perempuan (atau korban), terutama kontrol oleh laki-laki (pelaku) terhadap bagian reproduksi dan seksual pada tubuh perempuan. Perkosaan kemudian merupakan bagian dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual oleh laki-laki, mengingat relasi dan bagaimana perkosaan dilakukan untuk melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Definisi 'Perkosaan' tidak hanya sebatas pemaksaan secara fisik atau kekerasan yang dilakukan secara eksplisit. Karena kekuasaan laki-laki berupaya menekan kedaulatan tubuh dan seksualitas perempuan secara sistematis, 'perkosaan' berarti mengabaikan persetujuan (consent) perempuan. Peran perkosaan sendiri sangat luas, bahkan dilihat dari ideologi yang melatarbelakangi perkosaan, tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya menciptakan dan mereproduksi penindasan tetapi juga sistem dominasi yang berlapis, tidak hanya pada perempuan tetapi juga rasisme dan kolonialisme (dalam kasus perang misalnya).

Apa itu Persetujuan (consent)?


Pernyataan seperti “Itu bukan perkosaan tapi tindakan yang disadari suka sama suka…" merupakan pernyataan yang tidak sensitif pada korban dan melanggengkan pembenaran pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang pada umumnya (walau tidak selalu) melibatkan penetrasi seksual yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Tindakan ini bisa dilakukan melalui paksaan secara fisik, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, atau terhadap pada orang lain yang tidak berdaya memberikan persetujuan, misalnya dalam keadaan tidak sadar, tidak berdaya, atau di bawah umur. 

Salah satu pemahaman tentang Perkosaan, baik secara sosial maupun legal kerap didasari setidaknya oleh adanya persetujuan.  Menyetujui sesuatu berarti memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan asusmsi bahwa setiap manusia berdaulat atas tubuhnya yang merupakan milikinya dan wilayah personalnya. Dengan dasar hal ini, tindakan seksual dikatakan perkosaan jika tidak ada persetujuan. Pertanyaan kemudian muncul, apa saja yang dipahami sebagai persetujuan? Ada banyak kasus di mana ketidaksadaran korban dianggap sebagai persetujuan. Bahkan tuduhan yang dilontarkan pada perempuan yang berpakaian minim sering dianggap "mengundang" atau "minta untuk diperkosa". Seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo menanggapi kasus perkosaan di angkutan umum.

Persetujuan yang diungkapkan, seperti berkata "iya" atau sekedar mengangguk, tidaklah cukup. Karena dalam banyak kasus, kita harus memahami bahwa "tidak" berarti "tidak" dan "iya" bisa berarti "tidak". Misalnya, jika pelaku mengancam atau menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban agar berkata "iya". Konteks, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan secara verbal (Archard, 1998). Relasi seperti apa yang tercipta dalam kedua belah pihak? Apakah keduanya berada pada kedudukan yang setara? Ungkapan ‘suka sama suka’ tidak selalu menggambarkan persetujuan, karena adanya relasi kekuasaan yang timpang. Posisi pelaku dan bagaimana situasi korban menjadi faktor untuk melakukan tindakan perkosaan. Oleh karena itu, salah satu dimensi yang menyebabkan terjadi perkosaan adalah relasi kekuasaan yang timpang sehingga pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Singkatnya, persetujuan, biar bagaimanapun, tidak pernah sesederhana ‘suka sama suka’. Ada berbagai dimensi yang melatarbelakangi sebuah situasi yang mendukung atau tidak mendukung sebuah persetujuan.

Gagasan tentang ketimpangan posisi (terutama secara hierarkis) bukan untuk melarang kontak seksual antara posisi hierarkis yang tidak setara, tapi menginterpretasikan seks dalam konteks hukum sebagai bentuk paksaan yang didorong oleh hierarki di antara kedua belah pihak. Biasanya untuk menentang komentar bahwa hubungan seksual yang terjadi adalah bagian dari ketidaksetaraan, pelaku dan pembelanya akan membuktikan bahwa hubungan tersebut didasari suka sama suka (atau secara afirmatif), tanpa memandang ketidaksetaraan antara kedua belah pihak (Mac Kinnon, 2005).


Betapa Beratnya Melaporkan Perkosaan (dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender lainnya)


Pada umumnya penanganan kasus kekerasan berbasis gender** terutama kekerasan seksual, tidak hanya berhubungan dengan legal tetapi juga tekanan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat kita. Konteks sosial ini bahkan mempengaruhi pandangan pihak-pihak yang berkomentar di dunia maya pada kasus SS. Kebanyakan bukan fokus pada simpati korban, tetapi justru fokus ke pelaku dan kelompok pelaku.
Menurut Komnas Perempuan, di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara saling bekerja sama untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Pada prinsipnya, keadilan merupakan tujuan utama pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu, mekanisme hukum negara dan sistem keadilan non-negara bisa jadi sama pentingnya asalkan mampu memberikan keadilan bagi perempuan korban.
Komnas Perempuan juga menyimpulkan bahwa keterbatasan payung hukum yang mengatur  kekerasan seksual adalah salah satu penyebab buntunya kasus-kasus itu. KUHP yang menjadi satu-satunya panduan hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan pada kenyataanya sulit mengakomodir kepentingan perempuan korban. Dalam kasus perkosaan, KUHP mensyaratkan adanya dua saksi, padahal perkosaan pada umumnya dilakukan di tempat tertutup atau sunyi. KUHP juga mensyaratkan adanya bercak sperma. Berdasarkan pengalaman korban, seringkali mereka segera membersihkan dirinya karena merasa risih akibat perkosaan itu. Kalaupun korban melapor, menunggu hingga dirinya merasa sanggup dan aman. Biasanya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun korban baru mampu melapor.  
Penjelasan di atas menjawab pertanyaan semacam “Kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor?”. Bahwa menjadi korban merupakan posisi yang sulit dan berpotensi mengalami penderitaan yang berlapis. Selain cemooh dari pihak luar lewat pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif, hukum sendiri belum secara spesifik isu berpihak pada korban. Sebagai gambaran mengenai fakta korban pada kasus kekerasan, berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga (UU PKDRT). Jadi ketika korban memberanikan dirinya untuk melapor ke polisi, kita sudah sepantasnya mendukung korban atas keberaniannya dalam upaya menindak pidana pelaku.

Mengapa Berpihak Pada Korban?


Seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab tidak tersentuhnya akar pokok kekerasan pada perempuan adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak perempuan sebagai korban. Belum lagi ditambah dengan tekanan sosial yang dialami oleh korban. Terlebih jika pelaku merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau keunggulan lainnya (privilege) sehingga memiliki relasi yang bisa mendominasi wacana kasus. Dalam keadaan seperti ini, korban menjadi pihak yang tidak memiliki ketidakberdayaan untuk menandingi wacana yang dominan. Korban adalah muted group (kelompok yang diabaikan/diredam) yang terpinggirkan dalam mendikte komunikasi wacana kasus. Bahkan sebelum korban (bisa lewat perwakilannya) memberikan penjelasan, sentimen dan komentar yang tidak sensitif dan tidak berpihak pada korban telah menyudutkannya. Terlebih media sendiri tidak bisa memberikan penjelasan yang gamblang untuk terminologi “perkosaan” sehingga harus menggunakan istilah “tindakan asusila” atau “Perbuatan tidak menyenangkan”.
Ketika ruang untuk membangun wacana minim, proses hukum juga tidak mudah bagi korban, memberi dukungan pada korban adalah salah satu cara untuk menjamin bahwa keadilan harus ditegakkan. Dalam banyak kasus, pembuktian dan proses penanganan kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya kerap kali membuat perempuan (korban) mundur dari proses pemeriksaan kasus karena penanganan kasus yang tidak saja makan waktu, namun juga proses yang memalukan bagi korban. Studi kasus yang dilakukan tim Justice for the Poor menunjukkan bahwa hampir semua korban perkosaan dan kekerasan seksual dipersalahkan baik oleh komunitas maupun oleh Kepolisian (Justice for the Poor,  2008).
Kepekaan kita dalam melihat dimensi ketidaksetaraan ini sangat diperlukan untuk akhirnya berpihak pada korban. Pada konteks masyarakat dengan sistem patriarki, yang mengabaikan hak-hak perempuan, korban justru sering disalahkan alih-alih menghukum pelaku. Ungkapan seperti: “Salah perempuan pakai baju seksi!” atau “Perempuan nakal pantas diperlakukan seperti itu” hanya akan memperkuat lingkar kekerasan yang ada. Masyarakat cenderung mengajarkan perempuan untuk berperilaku nilai yang berlaku dan membela diri, tapi tidak mengajarkan laki-laki untuk melihat perempuan sebagai pihak yang setara dan bukan objek kekerasan.
Karena dengan memahami kekerasan berbasis gender dan bersimpati pada korban, kita bisa menjadi bagian dalam membongkar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan sesama manusia lainnya. Dengan memahami bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apapun, kita dapat memberikan dukungan bagi korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan tersebut. Karena hanya dengan memberi dukungan pada korban, kita bisa memecah kebisuan dalam lingkar kekerasan. Rape is Rape, No More Excuses!--


*Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, norma serta nilai yang dianut sistem ini diasosiasikan dengan maskulinitas dan kejantanan (dalam hal dominasi dan kontrol), dan laki-laki menjadi fokus utama yang diperhatikan di dalam kebudayaan masyarakatnya.

**Kekerasan berbasis gender dan Kekerasan terhadap perempuan digunakan untuk menggambarkan serangkaian penganiayaan yang dilakukan kepada perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap laki-laki.  Kekerasan terhadap perempuan termasuk pada saat perang digunakan sebagai alat untuk menyebarkan rasa takut, menteror dan mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pada tahun 1993, Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau berkemungkinan menghasilkan cedera fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan publik atau pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada: kekerasan domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan yang berbahaya terhadap perempuan.

ReferensiMac Kinnon, C. Women's Lives, Men's Laws. Cambridge MA: Harvard University Press. 2005. p 247-248Archard, David. Sexual Consent. Colorado: Westview Press. 1998. P 130-145http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lainhttp://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html

Kamis, 07 April 2011

Kalau Rahim Bisa Ngomong

(percakapan saya dengan rahim.)

A (saya) R (Rahim)


A: Aduhh... sakit banget nih perutnya gara-gara mau dapet. Huh!

R: Kan dinding rahimnya lagi memompa...

A: Emangnya kenapa sih kalau kamu lagi memompa kok perutnya jadi sakit? Kamu kenapa?

R: Aduh mana aku tahu... coba kamu tanya dokter kandungan aja :p



Meet my uterus 


Halo, saya Rahim :) !!!



Seperti perempuan yang belum menikah pada umumnya, tidak pernah terlintas di kepala saya untuk periksa ke dokter kandungan. Apalagi saya merasa umur saya masih muda dan belum menikah, buat apa saya ke sana? Lagian dokternya kan laki-laki, males banget, malu kali ya... Emangnya mau periksa sama siapa? Orang tua? Kata mamah sih nggak perlu, kan belum menikah? 


Padahal di kepala saya terlintas banyak sekali pertanyaan seputar fungsi reproduksi dan kesehatannya. Meskipun saya beruntung karena pernah bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu perempuan dan sering mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, tidak menjamin kalau saya benar-benar mengetahui kondisi alat reproduksi saya. Memang, saya pernah melakukan pemeriksaan pribadi dan merasa sadar jika ada yang tidak wajar dengan vagina atau rahim saya, tapi tentu saya orang awam yang tidak tahu seluk beluk kesehatan reproduksi (kespro). Setumpuk pertanyaan di kepala saya sayangnya tidak bisa dijawab oleh rahim ataupun pelatihan dan buku-buku kesehatan reproduksi. 


Karena pertanyaan mendasar saya adalah 'apakah alat reproduksi saya dalam keadaan sehat & baik-baik saja?' hanya bisa dijawab kalau saya bertanya pada ahlinya. Lantas dengan  segenap kesadaran, saya ingin berkonsultasi dengan dokter kandungan atau ginekolog. Tapi niat itu selama 2 tahun terakhir hanya menjadi niat karena selama ini saya mendengar kalau proses pemeriksaan ke dokter kandungan kurang dirasa nyaman bagi perempuan yang belum menikah. Bahkan kalau kita lihat di salah satu film pendek di film "Pertaruhan" dengan judul "Nona/Nyonya", berkonsultasi ke ginekolog seringkali tidak bersahabat dan cenderung penuh dengan tekanan. Jadi di satu sisi saya ingin pergi memeriksakan alat reproduksi, tapi di sisi lain saya males diperlakukan seperti itu dan tidak tahu harus pergi ke dokter mana yang bersahabat dengan perempuan belum menikah. Saya sempat bertanya ke beberapa orang dan organisasi, ginekolog mana saja yang direkomendasikan. Tapi sejauh itu, saya belum "berani" untuk berhadapan langsung dengan ginekolog untuk konsultasi, pap smear, dan pemeriksaan lain. 


Jadilah hari ini (7 April 2011), salah satu hari yang bersejarah dalam hidup saya. Atas rekomendasi seorang teman, saya mendatangi Rumah Sakit Bunda (yang di Teuku Cik DItiro) untuk periksa ke dr.Irham Suheimi SPoG. Terus terang, sehari sebelumnya saya deg-degan dan membayangkan banyak hal yang menyeramkan. Tentang bagaimana nanti anehnya 'mengangkang' di depan orang yang baru dikenal. Tentang bagaimana rasanya melakukan pap smear. Tentang hasil pemeriksaan apakah saya sehat atau tidak. Tentang bagaimana kesan pertama si dokter terhadap saya. Dan masih banyak tentang yang lain membayangi pikiran saya. Karena pengalaman ini mungkin akan dialami oleh perempuan lain, saya berbagi pengalaman saya. Dengan segenap keberanian, saya masuk ke ruangan periksa dan berhadapan dengan dokter pria yang akan memeriksa vagina saya, phiuhhh....


Jauh dari ketakutan saya, dr.Irham sangat bersahabat dan interaktif dalam mendorong saya untuk mengemukakan keluhan-keluhan yang saya punya. Ketika berkenalan, saya tidak ditanya Nona/Nyonya ataupun Sudah menikah? tapi hanya pertanyaan 'apakah sudah pernah berhubungan?'. Kemudian hal yang ditanyakan di awal adalah 'apakah sudah pernah periksa ke ginekolog sebelumnya?'. Dengan polosnya, saya curhat kalau saya deg-degan karena ini kali pertama dan saya menjelaskan berbagai keluhan yang saya alami, dari siklus haid, keputihan, sampai sindrom menjelang haid. Dengan santai dr. Irham menjawab pertanyaan-pertanyaan awam saya dan memberikan penjelasan informatif tentang keluhan saya. Dia kemudian menyarankan saya untuk Pap smear dan USG untuk mendeteksi apakah ada yang tidak beres dengan vagina dan rahim saya. 


Sampailah saya pada bagian 'harus' membuka kaki dengan lebar dan duduk di kursi khusus untuk diperiksa dan Pap Smear. Sempat merinding saat melihat alat-alat yang akan dimasukkan, sempat lemas juga waktu liat obat dan kapasnya. Saya berkali-kali bertanya apakah sakit atau tidak, tapi dokter Irham berhasil membuat saya lebih tenang untuk menjalani pemeriksaan dengan meyakinkan bahwa tidak sakit. Momen sekitar 15 menit ini menjadi momen yang berkesan karena rasanya campur aduk, antara takut sekaligus berusaha untuk berani memeriksakan diri. Setelah pap smear selesai, saya melakukan USG. Saya bisa melihat rahim saya dan dr.Irham memberikan beberapa penjelasan tentang kondisi rahim saya. Bagaimana indung telurnya dan gejala apa yang mungkin muncul di rahim saya. Ini juga menjadi momen saya bisa berbicara dengan rahim tapi dengan perantara si dr. Irham :)


Setelah pemeriksaan, dr. Irham memberi saya beberapa nasehat untuk menjaga kesehatan alat reproduksi saya dan mengingatkan saya untuk segera periksa kalau ada yang tidak beres. Dengan perasaan lega seperti habis selesai tes IELTS, saya keluar dari ruang konsultasi dan langsung ke kamar mandi karena 'after taste' dari proses pap smear dan USG sedikit membingungkan saya. Tapi di luar itu saya sangat lega karena bisa berbicara dengan rahim saya melalui dr.Irham sebagai perantaranya, saya jadi tahu bagaimana 'kabar' Rahim saya di dalam sana. 



Di luar perasaan lega tersebut, muncul keresahan lain di benak saya. Ok, mungkin saya beruntung bisa mengakses pelayanan seperti ini lengkap dengan konsultasi dengan ginekolog yang berasahabat terhadap pasien yang belum menikah. Tapi apa kabar jutaan perempuan lain di luar sana? Yang tidak pernah berpikir untuk periksa ke ginekolog?  Mungkin mereka belum punya kesadaran tentang kespro, mungkin mereka takut ke ginekolog karena belum menikah, mungkin di daerahnya nggak ada ginekolog karena cuma ada dukun atau bidan, mungkin pelayanan se-nyaman saya tadi tidak bisa diakses dengan biaya murah atau gratis, atau mungkin mereka tidak punya akses sama sekali. 


Ada banyak kemungkinan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia dalam keterbatasannya mengakses layanan kespro. Jangan heran kalau angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, 228 per 100.000 (2007-Depkes) dan jumlah penderita kanker serviks di Indonesia termasuk kedua tertinggi di dunia (sekitar 270.000 perempuan di Indonesia meninggal dunia). Selain karena cakupan tenaga medis profesional di Indonesia masih terbatas, tentunya anggapan bahwa layanan seperti periksa ke ginekolog, melakukan pap smear, kontrasepsi hanya bisa diakses oleh orang yang menikah atau harus didampingi orang tua, menjadi penyebab fenomena gunung es ini. Apalagi ketika ingin mencoba untuk pap smear seringkali hanya untuk yang sudah menikah karena takut nanti tidak perawan lagi. Anggapan paling konyol menurut saya, karena ini masyarakat lebih mementingkan keperawanan daripada keselamatan dan kesehatan perempuan. 


Bisa dibayangkan betapa sulitnya jutaan perempuan di Indonesia untuk mengakses pelayanan kespro pada tenaga medik profesional. Jumlah dokter kandungan di Indonesia saja hanya 2200 orang menurut Himpunan Obstetri Ginekolog Seluruh Indonesia, coba bandingkan dengan jumlah perempuannya 118.048.783 juta orang (hayo ini PR untuk mahasiswa kedokteran :p).Untung ada bidan dan dukun tradisional yang menjadi 'garda depan' bagi layanan kespro di daerah yang tidak terjangkau. Itupun jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sungguh mengenaskan bagi saya, tentu saya yakin  pemerintah tidak sanggup memenuhi poin ke 5 MDGs. Jangankan menjamin kesehatan ibu dan perempuan, pemerintah lebih suka membiarkan privatisasi layanan kesehatan dan membatasi anggarannya. Ckckckck... Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sebuah bangsa tidak mempedulikan nasib perempuan. *Sigh


Seandainya rahim bisa ngomong dan bercerita tentang keadaannya, mungkin ada banyak kematian dan penyakit yang bisa dicegah. Sayangnya, semua perempuan (apapun statusnya) membutuhkan "perantara" untuk berbicara dengan rahimnya. Perempuan membutuhkan akses layanan kespro untuk kelanjutan hidup baik dirinya maupun sebuah bangsa. 

Senin, 07 September 2009

The Real Beauty Tells The Truth


This is Lizzie Miller in Glamour Magazine. She is a breakthrough. 
Who does drive our beauty perception? 
Is it necessary? 

Such a shame for beauty industry and media, they don't speak universal language, they don't speak for us. They speak for insecurity, they spell harm beauty. But Lizzie tells the truth and praise for Glamour magazine for this chance. Now, for all you girls... believe in yourself that we're all natural born beauty itself. 

Through this picture, Lizzie happily said "This is my beauty, tell me yours!". And I'm absolutely agree, I will shout "This is my idea of beauty, Fuck yours, Fashion TV"hahaha.....

Senin, 11 Mei 2009

Youth and Sexuality




This is video presentation made by me for raising sexuality issues among youth. This video presented at "youth and sexuality" discussion in V Film Festival last April at Salihara Gallery. THe key point of my presentation was Sex education for youth sake. Since the sexuality issue always put behind the door and locked in a distance room from us. I think it's time to unveil the nature passion and hidden-yet-serious problems. Because We're young, free, and careless.....

Senin, 20 Oktober 2008

Boys Do Cry

Sebenernya ini tulisan di blog lama gw. Tapi karena rapat edisi kemarin isu ini diangkat dan posting ini sempet gw apus dari blog lama gw, jadi gw putuskan untuk reissued tulisan ini. Emangnya cuma MOGWAI doang yang bisa reissued...hehhehe



-18032007-

Wow…udah lama juga ya gw gak ngisi blog? Kangen juga….tapi sekarang gw agak bingung mau nulis apa, mau ngomongin apa kira2. Apa ya…??oh gw tau...!! jadi begini ceritanya…hari jumat kemaren gw lagi nongkrong di takor(kantin Fisip UI) bersama beberapa teman2 sejurusan. Niatnya sih tadi ada salah satu temen ce gw yang mau curhat soalnya doi abis putus gitu dan putusnya emang rada gak wajar. Karena conya(atau mantannya) mengemukakan alasan2 yang konyol pas mutusin temen gw itu. Pas dia lagi curhat , datenglah temen2 gw yang lain, ikut nimbrung dengerin doi curhat. Temen gw yang notabene sedang berada pada kondisi pasca sakit hati menceritakan segala sesuatunya dengan begitu serunya. Pas kita lagi ngomongin perihal pemutusan dia, salah satu temen co gw ada yang bilang klo “Kebanyakan Cowok, ketika dihadapkan pada pilihan cewek biasa aja atau cewek pintar untuk dijadikan pacar, mereka akan memilih cewek biasa aja” Munculah pertanyaan di kepala gw “Kenapa???” Apa yang salah dengan cewek pintar? Mdgan cewek yang fisiknya biasa aja tapi pinter daripada yang cantik tapi gak pinter. Tapi itu menurut gw dan tentu saja kebanyakan dari wanita yang kebanyakan enggan diekspos secara fisik. Beda ama cowok, mereka tentu saja akan merasa terintimidasi jika berhubungan dengan cewek pinter. Mereka takut cewek itu banyak nuntut,kritis,banyak ngeles, dan mereka takut cewek itu gak bisa mereka bego2in. skeptis amat gw kayanya. Tapi bagi gw pernyataan yang dilontarkan temen gw itu cukup untuk membuat gw bertanya “sekonyol itukah cowok?”

Budaya yang selama ini ada memang sangat patriarki di luar maupun di Indonesia. Mereka (cowok) dari kecil udah dididik, ditanamkan nilai-nilai, dan dirancang sedemikian rupa untuk berkuasa, menjadi yang terhebat, termacho, terberani, dsb. Jadi ketika mereka nantinya dihadapkan pada calon pasangan yang pintar, mereka akan merasa tersaingi, tidak berkuasa (lemah kedudukannya), Kontrol yang mereka punya akan berkurang, dan tentu saja mereka tidak mau terlihat bodoh/rendah di depan orang-orang lain. Dulu ada temen yang pernah ngomong ke gw gini: “Fra, lo si kelewat mandiri dan gak biasa!cowok jadi ngeri tau!” Emangnya apa yang salah ya ma gw? Klo diluar gw terlihat mandiri belum tentu begitu jg kan dalemnya? Cowok aja yang kelewat cupu/ jiper klo ngeliat cewek yang pinter, mandiri, & tough. Mereka terlalu memberi penilaian yang sedemikan rupa pada cewek klo cewek itu sudah seharusnya bergantung sama cowok, minta bantuan mereka, manja, lemah lembut, cengeng, dan masih banyak lagi penggeneralisasian cowok terhadap sifat2 cewek jadi ketika mereka dapet cewek yang berlawanan dari ‘cewek yang seharusnya’ mereka gak tau gimana menghadapinya. Padahal semua manusia menurut gw baik cowok maupun cewek selalu punya 2 kebutuhan mencintai dan dicintai. Jadi mau tuh cewek sepinter ataupun sekuat apaun dia juga punya kebutuhan untuk dicintai dan mencintai begitu juga cowok setinggi2nya dia mengaggap derajatnya, dia juga butuh untuk mencintai dan dicintai. So boys Just see us (girls) equally…okay!

Minggu, 20 Juli 2008

Let's talk about Feminism



Mungkin bisa dibilang ini suatu kebetulan, mungkin juga tidak. Beberapa hari dalam minggu saya ini diisi dengan isu feminisme. Dimulai dengan membaca blog seorang teman yang mendapatkan verbal abuse karena dianggap feminis, percakapan dengan seorang teman pria yang menolak perempuan yang lebih dari dia, hingga himbauan orang tua sendiri bahwa feminisme itu melawan kodrat dan alquran. Saya bingung, ketiga orang yang saya sebutkan diatas (termasuk yang melakukan verbal abuse pd teman saya) adalah orang-orang yang saya 'kira' berpikiran terbuka dan terbebaskan. Tapi ternyata memang benar kata para feminis, perjuangan masih sangat panjang dan begitu sulit.

Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan di benak saya dan yang utama adalah "Salahkah menjadi seorang feminis?". Bukan hanya kaum pria yang 'seram' dengan kata feminisme, perempuan pun masih banyak yang enggan disebut feminis walaupun mereka sudah memperjuangkan hak perempuan. "Se'seram' itukah para feminis dengan paham feminismenya?" oke,,, kalau memang seram, Di mana letak ke'seram'annya? Anda jawab saja di dalam hati.

Penganut budaya timur menganggap feminisme itu budaya barat dan bagi yang di 'timur' barat itu buruk. Kaum yang berada di sisi 'kanan' menilai bahwa feminisme itu 'kiri' dan bagi yang berada di jalur kanan (emangnya tol?), kiri itu membahayakan. Phiuh...gimana klo kita ganti jadi kanan kiri oke?hehehe emangnya film warkop! Feminisme mendapatkan cap 'segitunya' mulai dari melawan kodrat perempuan hingga memperjuangkan apa yang seharusnya 'tidak' diperjuangkan. Katanya perempuan itu sudah punya peran dan penempatannya sendiri jadi tidak perlu ia merebut peran atau tempat laki-laki.

Phiuhh... saya banyak menghela nafas karena perasaan di dalam diri saya seperti perih sendiri jika mendengar cap-cap itu. Banyak kenalan saya yang melabeli saya feminis, terlebih sejak saya bergabung dalam jurnal perempuan. Lalu bagaimana menurut saya sendiri? Apakah saya juga malu mengakui bahwa saya feminis? Begini... saya adalah seseorang yang tidak sanggup melihat berbagai bentuk penindasan karena itu saya mau berjuang sepenuhnya untuk melawannya. Saya sangat menghormati hak-hak asasi manusia, saya juga yakin bahwa tidak ada yang berbeda dari kita semua yang berada dalam kategori "Manusia". Tampilan fisik dan hal-hal biologis itu bukan alasan untuk menindas seseorang baik dalam jenis kelamin atau warna kulit. Saya punya mimpi dunia itu damai dan semua bisa saling menghargai. Bicara soal peran perempuan atau laki-laki, buat saya itu hal yang sangat bisa di-switch. Oke peran ibu? banyak ayah single parents yang bisa menjalani peran itu. Melahirkan itu proses tapi bukan pelimpahan tanggung jawab karena melahirkan itu proses output yang didahului input bersama jadi tanggung jawabnya juga bersama. Tidak selamanya laki-laki bisa bertahan dalam peran yang sama begitu juga sebaliknya maka saya menyimpulkan hal ini bisa dinegosiasikan lagi. Sebenarnya simpel, saya sebagai perempuan tidak ingin dianggap tidak mampu, tidak boleh, dan tidak2 lainnya hanya karena saya 'perempuan'. It doesn't make any sense to me. kenapa kita tidak saling bekerja sama dan bergandengan tangan untuk mencapai dunia yang lebih baik. Utopiskah itu? saya yakin tidak. biar saja banyak yang menganggap utopis toh saya juga tahu banyak juga yang tidak menganggap ini utopis.

berdasarkan kamus Oxford feminsme atau feminism itu

"the advocacy of women's rights on the grounds of political, social, and economic equality to men."

ada kata equal di situ jadi ini kedudukan yang seimbang bukan siapa yang di atas, vice versa. Banyak yang bilang keseimbangan itu tidak mungkin ada atau bisa. Bagaimana kalau bukan keseimbangan tapi proses untuk mencapai keseimbangan yang dihargai itulah yang mungkin dan pasti bisa. Saya tidak mau sok-sok ngaku feminis toh label itu datangnya dari orang luar dan saya tidak pernah takut atau malu menjadi seorang feminis. Saya bangga jika saya bisa turut berperan dalam proses mencapai keseimbangan itu. Saya berani memperjuangkan hak-hak yang seharusnya setiap manusia bisa dapatkan. Saya tidak ingin menyerah untuk menghapus penindasan. "Salahkah bertindak untuk menghapus penindasan?" Salahkah para feminis yang berjuang hingga hasilnya bisa dinikmati saya atau paling tidak generasi selanjutnya?" Kalau salah, dimana letak salahnya? dan kalau boleh saya menyarankan, lebih baik anda pergi ke timbuktu. Jawab saja dalam hati.

Tanpa perjuangan mereka mungkin saya tidak bisa kuliah dan mungkin tetap di dapur dan belajar menjahit. Untuk apa takut? ketakutan itu tidak akan membuat kita kemana-mana bukan???

P.S. tribute to Mba gadis Arivia, Mba Marianna, (13th birthday of JP)
juga untuk Gadis Ranty dan Ninin

 
design by suckmylolly.com