Senin, 02 Desember 2013

Ketika Korban Memecah Kebisuan, Mereka Mempertanyakan






Perhaps the most basic challenge that feminists have posed to traditional views of rape lies in the recognition of rape as a crime against the victim herself.
(Rebecca Whisnant)


Sejak beberapa hari yang lalu, linimasa saya diramaikan dengan perdebatan soal kasus Sitok Srengenge (SS) yang dilaporkan ke polisi atas tindakan perkosaan yang dia lakukan kepada mahasiswi UI. Mengingat kasus tersebut sudah menjadi bahan obrolan di lingkup pekerjaan saya sejak sebulan yang lalu, saya sendiri salut dengan korban yang akhirnya berani melaporkan kasus tersebut. Ramainya komentar di jejaring sosial (terutama twitter) yang dilontarkan berbagai kalangan sesungguhnya sudah mulai melebar ke pembahasan yang lebih besar dari sekedar aktor pelaku dan korban, karena menyeret Salihara juga sebagai institusi tempat Sitok Srengenge. Peristiwa ini seolah menjadi pembenaran bagi kalangan yang sejak awal bertentangan dengan Salihara untuk semakin menyerang institusi tersebut, bahkan dengan tagar "tutup salihara". Adu lempar komentar di sosial media memang tidak bisa terelakan, simpati tidak hanya dilontarkan pada korban tapi ternyata juga pada pelaku itu sendiri. Sayangnya, kericuhan tersebut cenderung mengaburkan pokok permasalahan utama, bahwa ada seorang mahasiswi yang melaporkan SS atas tindakan perkosaan.

Kata "perkosaan" sendiri kemudian menjadi pisau bermata dua yang bisa digunakan oleh si korban untuk mempidanakan pelaku atau oleh khalayak lain yang menganggap perkosaan hanya sebagai alasan. Apalagi komentar di portal berita yang merendahkan korban, seperti: "kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor, kemarin ke mana aja?" atau "Palingan ini suka sama suka, kan sudah dilakukan berkali-kali?!".

Terus terang, komentar semacam itu membuat saya sedih, melihat bahwa upaya membangun peradaban manusia (setidaknya manusia di Indonesia) untuk membela hak-hak perempuan serta kelompok yang termarjinalkan seolah mundur ke belakang. Bisa jadi, karena cara kita memandang apa itu perkosaan dan kekerasan berbasis gender memang masih blur atau abu-abu. Seperti komentar seorang teman di statusnya "Kita tidak bisa melihat kasus ini dengan hitam-putih". Namun sebelum kita menentukan ini hitam atau putih, kita perlu menyadari bahwa dalam sistem tempat kita berada, ada ketidaksetaraan. Dan mungkin, kacamata kita yang belum diperbaharui, karena bukan soal hitam putih, ini adalah soal korban dan kekerasan.

 Apa itu Perkosaan?


Definisi Perkosaan memang tidak sederhana, satu waktu tindakan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah kita kenal, di lain waktu, perkosaan juga bisa dilakukan oleh orang yang kita kenal bahkan kelompok terdekat kita (teman, keluarga, pacar, kenalan, dll). Menurut K.H Husein Muhammad, dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh kehidupan korban.

Kita harus melihat perkosaan bukan hanya sebagai tindakan kriminal semata, melainkan satu bentuk dari kekerasan seksual sebagai upaya merenggut kedaulatan tubuh dan kebebasan korban (perempuan). Dalam sejarah masyarakat yang patriarki*, perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang nilainya salah satunya, ditentukan oleh kesucian seksual (sexual purity) perempuan tersebut. Berangkat dari hal ini, perkosaan lantas dianggap sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran norma melawan martabat si 'pemilik' properti (misalnya ayah atau suami korban). Namun berkat perkembangan dalam perjuangan hak-hak perempuan, prinsip kepemilikan atas tubuh perempuan tidak lagi mendasari terjadinya perkosaan, karena pihak yang tadinya dianggap "memiliki" perempuan seperti suami misalnya, bisa menjadi pelaku perkosaan itu sendiri.

Perkosaan diambil dari bahasa latin, repere, yang berarti mencuri, memaksa, ataupun merampas (Wikipedia). Secara lebih luas perkosaan didefinisikan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai segala bentuk pemaksaan hubungan seksual, tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin, dan perkosaan ini juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Perkosaan berarti merampas kedaulatan tubuh perempuan (atau korban), terutama kontrol oleh laki-laki (pelaku) terhadap bagian reproduksi dan seksual pada tubuh perempuan. Perkosaan kemudian merupakan bagian dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual oleh laki-laki, mengingat relasi dan bagaimana perkosaan dilakukan untuk melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Definisi 'Perkosaan' tidak hanya sebatas pemaksaan secara fisik atau kekerasan yang dilakukan secara eksplisit. Karena kekuasaan laki-laki berupaya menekan kedaulatan tubuh dan seksualitas perempuan secara sistematis, 'perkosaan' berarti mengabaikan persetujuan (consent) perempuan. Peran perkosaan sendiri sangat luas, bahkan dilihat dari ideologi yang melatarbelakangi perkosaan, tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya menciptakan dan mereproduksi penindasan tetapi juga sistem dominasi yang berlapis, tidak hanya pada perempuan tetapi juga rasisme dan kolonialisme (dalam kasus perang misalnya).

Apa itu Persetujuan (consent)?


Pernyataan seperti “Itu bukan perkosaan tapi tindakan yang disadari suka sama suka…" merupakan pernyataan yang tidak sensitif pada korban dan melanggengkan pembenaran pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang pada umumnya (walau tidak selalu) melibatkan penetrasi seksual yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Tindakan ini bisa dilakukan melalui paksaan secara fisik, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, atau terhadap pada orang lain yang tidak berdaya memberikan persetujuan, misalnya dalam keadaan tidak sadar, tidak berdaya, atau di bawah umur. 

Salah satu pemahaman tentang Perkosaan, baik secara sosial maupun legal kerap didasari setidaknya oleh adanya persetujuan.  Menyetujui sesuatu berarti memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan asusmsi bahwa setiap manusia berdaulat atas tubuhnya yang merupakan milikinya dan wilayah personalnya. Dengan dasar hal ini, tindakan seksual dikatakan perkosaan jika tidak ada persetujuan. Pertanyaan kemudian muncul, apa saja yang dipahami sebagai persetujuan? Ada banyak kasus di mana ketidaksadaran korban dianggap sebagai persetujuan. Bahkan tuduhan yang dilontarkan pada perempuan yang berpakaian minim sering dianggap "mengundang" atau "minta untuk diperkosa". Seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo menanggapi kasus perkosaan di angkutan umum.

Persetujuan yang diungkapkan, seperti berkata "iya" atau sekedar mengangguk, tidaklah cukup. Karena dalam banyak kasus, kita harus memahami bahwa "tidak" berarti "tidak" dan "iya" bisa berarti "tidak". Misalnya, jika pelaku mengancam atau menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban agar berkata "iya". Konteks, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan secara verbal (Archard, 1998). Relasi seperti apa yang tercipta dalam kedua belah pihak? Apakah keduanya berada pada kedudukan yang setara? Ungkapan ‘suka sama suka’ tidak selalu menggambarkan persetujuan, karena adanya relasi kekuasaan yang timpang. Posisi pelaku dan bagaimana situasi korban menjadi faktor untuk melakukan tindakan perkosaan. Oleh karena itu, salah satu dimensi yang menyebabkan terjadi perkosaan adalah relasi kekuasaan yang timpang sehingga pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Singkatnya, persetujuan, biar bagaimanapun, tidak pernah sesederhana ‘suka sama suka’. Ada berbagai dimensi yang melatarbelakangi sebuah situasi yang mendukung atau tidak mendukung sebuah persetujuan.

Gagasan tentang ketimpangan posisi (terutama secara hierarkis) bukan untuk melarang kontak seksual antara posisi hierarkis yang tidak setara, tapi menginterpretasikan seks dalam konteks hukum sebagai bentuk paksaan yang didorong oleh hierarki di antara kedua belah pihak. Biasanya untuk menentang komentar bahwa hubungan seksual yang terjadi adalah bagian dari ketidaksetaraan, pelaku dan pembelanya akan membuktikan bahwa hubungan tersebut didasari suka sama suka (atau secara afirmatif), tanpa memandang ketidaksetaraan antara kedua belah pihak (Mac Kinnon, 2005).


Betapa Beratnya Melaporkan Perkosaan (dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender lainnya)


Pada umumnya penanganan kasus kekerasan berbasis gender** terutama kekerasan seksual, tidak hanya berhubungan dengan legal tetapi juga tekanan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat kita. Konteks sosial ini bahkan mempengaruhi pandangan pihak-pihak yang berkomentar di dunia maya pada kasus SS. Kebanyakan bukan fokus pada simpati korban, tetapi justru fokus ke pelaku dan kelompok pelaku.
Menurut Komnas Perempuan, di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara saling bekerja sama untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Pada prinsipnya, keadilan merupakan tujuan utama pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu, mekanisme hukum negara dan sistem keadilan non-negara bisa jadi sama pentingnya asalkan mampu memberikan keadilan bagi perempuan korban.
Komnas Perempuan juga menyimpulkan bahwa keterbatasan payung hukum yang mengatur  kekerasan seksual adalah salah satu penyebab buntunya kasus-kasus itu. KUHP yang menjadi satu-satunya panduan hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan pada kenyataanya sulit mengakomodir kepentingan perempuan korban. Dalam kasus perkosaan, KUHP mensyaratkan adanya dua saksi, padahal perkosaan pada umumnya dilakukan di tempat tertutup atau sunyi. KUHP juga mensyaratkan adanya bercak sperma. Berdasarkan pengalaman korban, seringkali mereka segera membersihkan dirinya karena merasa risih akibat perkosaan itu. Kalaupun korban melapor, menunggu hingga dirinya merasa sanggup dan aman. Biasanya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun korban baru mampu melapor.  
Penjelasan di atas menjawab pertanyaan semacam “Kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor?”. Bahwa menjadi korban merupakan posisi yang sulit dan berpotensi mengalami penderitaan yang berlapis. Selain cemooh dari pihak luar lewat pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif, hukum sendiri belum secara spesifik isu berpihak pada korban. Sebagai gambaran mengenai fakta korban pada kasus kekerasan, berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga (UU PKDRT). Jadi ketika korban memberanikan dirinya untuk melapor ke polisi, kita sudah sepantasnya mendukung korban atas keberaniannya dalam upaya menindak pidana pelaku.

Mengapa Berpihak Pada Korban?


Seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab tidak tersentuhnya akar pokok kekerasan pada perempuan adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak perempuan sebagai korban. Belum lagi ditambah dengan tekanan sosial yang dialami oleh korban. Terlebih jika pelaku merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau keunggulan lainnya (privilege) sehingga memiliki relasi yang bisa mendominasi wacana kasus. Dalam keadaan seperti ini, korban menjadi pihak yang tidak memiliki ketidakberdayaan untuk menandingi wacana yang dominan. Korban adalah muted group (kelompok yang diabaikan/diredam) yang terpinggirkan dalam mendikte komunikasi wacana kasus. Bahkan sebelum korban (bisa lewat perwakilannya) memberikan penjelasan, sentimen dan komentar yang tidak sensitif dan tidak berpihak pada korban telah menyudutkannya. Terlebih media sendiri tidak bisa memberikan penjelasan yang gamblang untuk terminologi “perkosaan” sehingga harus menggunakan istilah “tindakan asusila” atau “Perbuatan tidak menyenangkan”.
Ketika ruang untuk membangun wacana minim, proses hukum juga tidak mudah bagi korban, memberi dukungan pada korban adalah salah satu cara untuk menjamin bahwa keadilan harus ditegakkan. Dalam banyak kasus, pembuktian dan proses penanganan kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya kerap kali membuat perempuan (korban) mundur dari proses pemeriksaan kasus karena penanganan kasus yang tidak saja makan waktu, namun juga proses yang memalukan bagi korban. Studi kasus yang dilakukan tim Justice for the Poor menunjukkan bahwa hampir semua korban perkosaan dan kekerasan seksual dipersalahkan baik oleh komunitas maupun oleh Kepolisian (Justice for the Poor,  2008).
Kepekaan kita dalam melihat dimensi ketidaksetaraan ini sangat diperlukan untuk akhirnya berpihak pada korban. Pada konteks masyarakat dengan sistem patriarki, yang mengabaikan hak-hak perempuan, korban justru sering disalahkan alih-alih menghukum pelaku. Ungkapan seperti: “Salah perempuan pakai baju seksi!” atau “Perempuan nakal pantas diperlakukan seperti itu” hanya akan memperkuat lingkar kekerasan yang ada. Masyarakat cenderung mengajarkan perempuan untuk berperilaku nilai yang berlaku dan membela diri, tapi tidak mengajarkan laki-laki untuk melihat perempuan sebagai pihak yang setara dan bukan objek kekerasan.
Karena dengan memahami kekerasan berbasis gender dan bersimpati pada korban, kita bisa menjadi bagian dalam membongkar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan sesama manusia lainnya. Dengan memahami bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apapun, kita dapat memberikan dukungan bagi korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan tersebut. Karena hanya dengan memberi dukungan pada korban, kita bisa memecah kebisuan dalam lingkar kekerasan. Rape is Rape, No More Excuses!--


*Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, norma serta nilai yang dianut sistem ini diasosiasikan dengan maskulinitas dan kejantanan (dalam hal dominasi dan kontrol), dan laki-laki menjadi fokus utama yang diperhatikan di dalam kebudayaan masyarakatnya.

**Kekerasan berbasis gender dan Kekerasan terhadap perempuan digunakan untuk menggambarkan serangkaian penganiayaan yang dilakukan kepada perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap laki-laki.  Kekerasan terhadap perempuan termasuk pada saat perang digunakan sebagai alat untuk menyebarkan rasa takut, menteror dan mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pada tahun 1993, Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau berkemungkinan menghasilkan cedera fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan publik atau pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada: kekerasan domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan yang berbahaya terhadap perempuan.

ReferensiMac Kinnon, C. Women's Lives, Men's Laws. Cambridge MA: Harvard University Press. 2005. p 247-248Archard, David. Sexual Consent. Colorado: Westview Press. 1998. P 130-145http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lainhttp://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html

Sabtu, 01 Juni 2013

No one believed you

by: Suede

Open your eyes and live again 
And I'll open my heart and love again 
I'll open my mind deep inside yes I know its blue
We all believed in Amsterdam Paris and Spain and Vietnam 
No one believed you
when you said your heart was blue 

It's raining inside 

And it's raining tonight
And it's raining for me and for you 
Cos all that we see 
Is a life fucked by money
And a world of celebrity fools 

(Oh Simon) Are you lost in the pollution?

(Simon) Are you somewhere in my soul? 
(Simon) Are you nothing but a notion, oh? 
(Simon) Where do we go? 

Now planes write your name up in the sky

 And flowers die for your suicide
Trains stopped in vain and the pain stopped for you
And we all believed in insulin
 Perfume and soap and ventolin 
But no one believed you
when you said you heart was blue 

It's raining inside

 And it's raining tonight
And it's raining for me and for you 
When nothing makes sense
 But the pounds and the pence 
And the dollars and cents, oh we lose? 

(Oh Simon) Are you atoms in a jam jar? 

(Simon) Are you somewhere in my soul? 
(Simon) Are you nothing but a photo in a passport?
(Simon) Where do we go? 

Kamis, 04 April 2013

What if...

Black Rebel Motorcycle Club - Howl 


This song, probably fitted me so much couple months ago. But yeah, I won't wait for you in silence




You try so hard to be cold
You try so hard to not show
I give you nothing to doubt and you doubt me
I give you all that I have but you don't see

Now I know that my eyes must close here
Every word seems to feel like you don't care
But I know that you're so confused and afraid
I just want to be one true thing that don't fade
I don't wanna give up tomorrow
I just can't understand why we're going on

You try so hard to be heard
You try so hard to not hurt
I give you nothing to doubt, and you doubt me
I give you all that I have, but you don't see

Now I know that my eyes must close here
Every word seems to feel like you don't care
But I know that you're so confused and afraid
I just want to be one true thing that don't fade
I don't wanna give up tomorrow
I just can't understand why we're going on

I don't wanna be sad, I don't wanna be sad
I don't wanna be scared, I don't wanna be scared
I don't wanna decide, I don't wanna decide
I see the road is hard, I see the road is hard
I won't wait for you in silence, I won't wait for you in silence
I won't wait for you in silence, I won't wait for you in silence

Senin, 14 Januari 2013

Simple Kind of Life





"Simple Kind Of Life"
by: No Doubt



For a long time I was in love
Not only in love, I was obsessed
With a friendship that no one else could touch
It didn't work out, I'm covered in shells

And all I wanted was the simple things
A simple kind of life
And all I needed was a simple man
So I could be a wife

I'm so ashamed, I've been so mean
I don't know how it got to this point
I always was the one with all the love
You came along, I'm hunting you down

Like a sick domestic abuser looking for a fight
And all I wanted was the simple things
A simple kind of life

If we met tomorrow for the very first time
Would it start all over again?
Would I try to make you mine? 

I always thought I'd be a mom
Sometimes I wish for a mistake
The longer that I wait the more selfish that I get
You seem like you'd be a good dad

Now all those simple things are simply too complicated for my life
How'd I get so faithful to my freedom?
A selfish kind of life
When all I ever wanted was the simple things
A simple kind of life

Senin, 10 Desember 2012

 "Kita tak boleh merasa terlalu pesimis, pun tak boleh merasa terlalu optimis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme. "
Tan Malaka 
 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia'1925)

Rabu, 14 November 2012

the break in your heartbreak





On my life I'll try today,
 there's so much I've felt I should say, 
but even if your heart would listen, 
doubt I could explain...



Jimmy Eat World - If You Don't, Don't

Sabtu, 03 November 2012

Gradasi Keyakinan





Edisi khusus majalah TEMPO tentang pembantaian '65



Ketika kita dilahirkan ke muka bumi ini, semesta tidak pernah berbisik pada kita 'apa itu kehidupan', 'apa itu manusia', atau bahkan 'apa artinya dilahirkan. Kecil kemungkinan kita mengingat apa yang kita hadapi semasa bayi, apalagi apa yang dikatakan oleh ayah atau ibu saat si bayi menangis. Sekalipun otak kita sudah mampu menyimpan memori, kita tidak akan paham dengan baik pembentukan memori pada masa itu. Meski setiap manusia (dan organisme) mempunya unsur 'bawaan' dari kode genetik yang terdapat dalam protein DNA, pengalaman organisme menjadi faktor paling penting untuk menentukan fenotip atau hasil akhirnya. Dengan kata lain, tempat atau konteks di mana kita tumbuh dan berkembanglah yang perlahan tapi pasti memberikan jawaban akan pertanyaan metafisik seperti di atas. Biasanya kita bahkan tidak sampai menemukan jawaban yang final dan memuaskan. 





Rangkaian kode DNA manusia


Waktu kecil kedua orang tua saya memberi tahu banyak hal, terutama soal cara berinteraksi dengan sesama manusia. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu saya mengajarkan cara berterima kasih, bersalaman, atau bilang permisi. Selain menelan mentah-mentah doktrin agama lewat ritual yang dicontohkan oleh orang tua, saya juga mengetahui dari mereka, mana hal yang baik dan mana yang buruk. Baik ayah atau guru di sekolah mengajarkan pada saya bahwa manusia adalah spesies Homo Sapiens, makhluk yang dipercaya berbeda dengan organisme lainnya seperti bintang atau tumbuhan. "Apa yang membedakannya?", tanya saya waktu itu. Dan ayah saya menjawab "Manusia punya akal budi, dia punya hati nurani". Guru di sekolah pun menjawab "Manusia dikaruniai cipta, rasa, dan karsa (dikenal dengan Trias Dinamika) oleh Tuhan YME". Puaskah saya dengan jawaban tersebut pada saat itu?

Jangankan menunggu dewasa, pada waktu itu saya tidak puas dengan jawaban guru atau ayah. Terutama kepada ayah, saya terus bertanya hingga Ia lelah menjawab dan besoknya saya dibawa jalan-jalan ke ragunan. Dengan kunjungan ini, ayah saya mau menunjukkan perilaku binatang dan hakikat tanaman, agar saya bisa membandingkan dengan makhluk yang disebut "Manusia".



Klasifikasi homo sapiens dalam ordo primata

Seiring dengan pertumbuhan, orang tua dan guru di sekolah menanamkan makin banyak nilai ke dalam diri saya. Bahwa saya tidak boleh berbohong, saya harus mengasihi dan menolong sesama manusia, mencuri adalah tindakan yang berdosa, menjadi orang baik merupakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat, dsb. Praktis ketika saya kecil, ajaran tersebut memaksa saya untuk memandang fenomena secara hitam-putih. Dikotomi dosa-neraka, baik-buruk, benci-cinta, menjadi kacamata "anak baru tahu" dalam memandang realita. 

Terhitung 24 tahun saya hidup di dunia ini, tiba-tiba saya ingin bilang ke ayah atau guru TK dan SD saya kalau mereka cukup banyak 'berbohong' tentang definisi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun keagamaan dan nilai kehidupan lainnya. Saya mau protes (bukan dalam artian yang buruk yah), karena waktu itu saya dibekali dengan kacamata hitam-putih untuk melihat realita yang 'abu-abu'. Seperti memakai kacama 2D untuk menonton film 3D, iya saya lihat gambarnya berlapis, tapi saya melihatnya dalam fragmen bukan dalam satu keutuhan (gambar yang timbul dan serasa hidup). Akibatnya saya harus terima kalau untuk beberapa saat pandangan saya sedikit kabur, tidak bisa melihat realita dengan jelas. Bahkan lebih parahnya lagi, dengan naifnya saya mencoba mencari kepastian di antara yang nisbi, memaksa melihat bentuk yang utuh padahal tidak jelas atau blur. 

Seiring bertambahnya umur, ikan yang membesar tentu tidak muat dalam kolam yang sama, dia berpindah-pindah kolam untuk mencari mana habitat yang cocok, mengevaluasi makanan apa yang tersedia dan tidak tersedia,  dan memastikan bisa bertahan hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar, pindah ke sekolah menengah, lanjut ke sekolah menengah atas, masuk ke perguruan tinggi, nyemplung ke kantor, setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Apalagi ketika si bayi akhirnya mengembangkan kemampuan membacanya kelak, dia akan melahap buku, majalah, atau sekarang aplikasi dan logaritma google. Kepala kita pun dijejali dengan berbagai pemahaman, ketidaktahuan, dan bahkan keraguan. Berbagai asam garam yang sudah ditelan akhirnya mempengaruhi 'rasa' bagaimana kita akhirnya memandang hidup itu sendiri. 

Jujur saja, apa yang saya yakini dari kecil pelan-pelan runtuh, dan bahkan tidak butuh pengalaman hidup belasan tahun untuk meruntuhkannya, cukup dengan menganalisis koran dalam satu hari. Bagaimana saya bisa percaya manusia itu makhluk dengan akal budi dan hati nurani jika saya membaca fakta bahwa ada jutaan manusia yang dituduh PKI dibantai di negara sendiri, dan bahkan saya curiga leluhur saya turut andil di dalamnya? Apa yang bisa tersisa dalam keyakinan saya kalau melihat betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam? Bisakah saya percaya bahwa mencuri adalah tindakan berdosa dan melanggar hukum, jika pada akhirnya hukum malah memenangkan para pencuri? Masih perlukah saya memegang teguh prinsip altruistik di tengah banyaknya orang yang egoistik? Hingga di penghujung perdebatan diri sendiri saya bertanya, naif kah saya jika terus meyakini nilai-nilai masa kecil tersebut.

Saya tentu tidak sendiri. Ada banyak orang yang kemudian sadar bahwa spektrum sebuah kebenaran, kebaikan, keburukan, atau kejahatan begitu luas. Bukannya sok non-positivis atau post modern, tapi toh kita mengalami dan melihat sendiri subyektifitas itu nyata adanya. Alih-alih menjadi seseorang yang terkesan relativis atau bahkan nihilis, saya mencoba membawa perdebatan 'remeh-temeh' tersebut ke dalam diskusi keseharian dengan beberapa teman. Biasanya dari obrolan ngalor ngidul, kita bisa menanamkan semangat dalam diri kita masing-masing. Semangat atas keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus terus dipertahankan. Kacamata moral biar saja dihibahkan ke orang lain, kacamata kemanusiaan terasa lebih nyaman dipakai. Untuk apa bingung surga dan neraka kalau ada kesempatan melakukan sesuatu untuk orang lain di depan mata? Why Bother?


Diambil dari Pigs in Maputo (klik untuk ukuran besarnya)

Sebenarnya, saya tidak perlu mengganti kacamata hitam putih secara keseluruhan, bisa saja saya memodifikasi lensanya agar saya bisa melihat gradasi warna di antaranya. Seperti palet warna di Photoshop, ada banyak kombinasi warna di antara CMYK 00000 (hitam) & CMYK FFFF (putih). Berbagai pengalaman dan cerita yang saya peroleh dari orang di sekitar saya, mau tidak mau kita harus melebarkan spektrumnya atau nanti kita yang capek sendiri dengan memaksakan kacamata hitam putihnya. 




Apa yang baik dan buruk?

Jika tidak pernah merasa perlu untuk mewarnai keyakinan Anda dengan gradasi, setidaknya Anda bisa melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan Anda. Kenyataan yang saya hadapi, saya bertemu banyak orang dalam hidup yang mengajarkan banyak hal, termasuk soal keyakinan saya selama ini.  Contohnya, sore ini saya bertemu beberapa orang yang harus diwawancara, dari mereka saya bisa melihat bagaimana kompleksnya identitas dalam mempengaruhi gradasi keyakinan tersebut. Ada seorang informan yang berasal dari pesantren Wahabi mengemukakan ide-idenya untuk menentang kekerasan berbasis agama, kebebasan berpikir, berpendapat, dan bahkan akhirnya giat dalam wadah hak asasi manusia -sesuatu yang tentu ditentang oleh keyakinan Wahabi. Ada juga seorang informan dari etnis minoritas yang sangat peduli dengan isu toleransi dan dialog antar beda suku atau agama. Padahal dia tahu betul etnisnya jadi korban dalam tragedi '98 di negeri ini. Hal tersebut tidak melunturkan keyakinannya akan bangsa Indonesia. Saya sangat salut dengan orang-orang yang bersedia melalui pergolakan internal untuk akhirnya menarik gradasi dalam hal-hal yang diyakini sebelumnya. Dengan mengetahui adanya orang-orang seperti ini, keyakinan saya kembali disulut semangat, kemanusiaan itu ada dan manusia memang berbeda dari organisme lainnya. Faith in humanity restored!

Bentrokan antara pengguna kacamata hitam putih dan kacamata gradasi memang tidak terelakkan. Ketika hal ini muncul, yang perlu dipahami adalah hakikat manusia sebagai salah satu jenis makhluk hidup. Karena dia punya akalbudi dan jika digunakan sebagaimana mestinya, pasti setidaknya memikirkan kemungkinan lain. Pernah ada seorang teman yang bilang ke saya "Ya kalau saya menjadi pribadi yang kritis, yang menentang apa yang dulu saya anggap benar, mencoba membuat perubahan, itu adalah konsekuensi karena saya dimasukkan ke sekolah, saya dibolehkan membaca. Kalau ingin saya terus penurut dan tidak mengkritisi hal tersebut, sebaiknya dari dulu saya dipasung saja sekalian". 

Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Baik keyakinan kita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tentunya terus bertransformasi. Bisa pilih untuk tetap yakin dengan kacamata hitam-putih; mencoba bermain di gradasi; atau mungkin ingin sejenak melepaskan kacamata untuk memejamkan mata dan tertidur :D 










 
design by suckmylolly.com