Senin, 02 Desember 2013

Ketika Korban Memecah Kebisuan, Mereka Mempertanyakan






Perhaps the most basic challenge that feminists have posed to traditional views of rape lies in the recognition of rape as a crime against the victim herself.
(Rebecca Whisnant)


Sejak beberapa hari yang lalu, linimasa saya diramaikan dengan perdebatan soal kasus Sitok Srengenge (SS) yang dilaporkan ke polisi atas tindakan perkosaan yang dia lakukan kepada mahasiswi UI. Mengingat kasus tersebut sudah menjadi bahan obrolan di lingkup pekerjaan saya sejak sebulan yang lalu, saya sendiri salut dengan korban yang akhirnya berani melaporkan kasus tersebut. Ramainya komentar di jejaring sosial (terutama twitter) yang dilontarkan berbagai kalangan sesungguhnya sudah mulai melebar ke pembahasan yang lebih besar dari sekedar aktor pelaku dan korban, karena menyeret Salihara juga sebagai institusi tempat Sitok Srengenge. Peristiwa ini seolah menjadi pembenaran bagi kalangan yang sejak awal bertentangan dengan Salihara untuk semakin menyerang institusi tersebut, bahkan dengan tagar "tutup salihara". Adu lempar komentar di sosial media memang tidak bisa terelakan, simpati tidak hanya dilontarkan pada korban tapi ternyata juga pada pelaku itu sendiri. Sayangnya, kericuhan tersebut cenderung mengaburkan pokok permasalahan utama, bahwa ada seorang mahasiswi yang melaporkan SS atas tindakan perkosaan.

Kata "perkosaan" sendiri kemudian menjadi pisau bermata dua yang bisa digunakan oleh si korban untuk mempidanakan pelaku atau oleh khalayak lain yang menganggap perkosaan hanya sebagai alasan. Apalagi komentar di portal berita yang merendahkan korban, seperti: "kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor, kemarin ke mana aja?" atau "Palingan ini suka sama suka, kan sudah dilakukan berkali-kali?!".

Terus terang, komentar semacam itu membuat saya sedih, melihat bahwa upaya membangun peradaban manusia (setidaknya manusia di Indonesia) untuk membela hak-hak perempuan serta kelompok yang termarjinalkan seolah mundur ke belakang. Bisa jadi, karena cara kita memandang apa itu perkosaan dan kekerasan berbasis gender memang masih blur atau abu-abu. Seperti komentar seorang teman di statusnya "Kita tidak bisa melihat kasus ini dengan hitam-putih". Namun sebelum kita menentukan ini hitam atau putih, kita perlu menyadari bahwa dalam sistem tempat kita berada, ada ketidaksetaraan. Dan mungkin, kacamata kita yang belum diperbaharui, karena bukan soal hitam putih, ini adalah soal korban dan kekerasan.

 Apa itu Perkosaan?


Definisi Perkosaan memang tidak sederhana, satu waktu tindakan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah kita kenal, di lain waktu, perkosaan juga bisa dilakukan oleh orang yang kita kenal bahkan kelompok terdekat kita (teman, keluarga, pacar, kenalan, dll). Menurut K.H Husein Muhammad, dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh kehidupan korban.

Kita harus melihat perkosaan bukan hanya sebagai tindakan kriminal semata, melainkan satu bentuk dari kekerasan seksual sebagai upaya merenggut kedaulatan tubuh dan kebebasan korban (perempuan). Dalam sejarah masyarakat yang patriarki*, perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang nilainya salah satunya, ditentukan oleh kesucian seksual (sexual purity) perempuan tersebut. Berangkat dari hal ini, perkosaan lantas dianggap sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran norma melawan martabat si 'pemilik' properti (misalnya ayah atau suami korban). Namun berkat perkembangan dalam perjuangan hak-hak perempuan, prinsip kepemilikan atas tubuh perempuan tidak lagi mendasari terjadinya perkosaan, karena pihak yang tadinya dianggap "memiliki" perempuan seperti suami misalnya, bisa menjadi pelaku perkosaan itu sendiri.

Perkosaan diambil dari bahasa latin, repere, yang berarti mencuri, memaksa, ataupun merampas (Wikipedia). Secara lebih luas perkosaan didefinisikan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai segala bentuk pemaksaan hubungan seksual, tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin, dan perkosaan ini juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Perkosaan berarti merampas kedaulatan tubuh perempuan (atau korban), terutama kontrol oleh laki-laki (pelaku) terhadap bagian reproduksi dan seksual pada tubuh perempuan. Perkosaan kemudian merupakan bagian dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual oleh laki-laki, mengingat relasi dan bagaimana perkosaan dilakukan untuk melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Definisi 'Perkosaan' tidak hanya sebatas pemaksaan secara fisik atau kekerasan yang dilakukan secara eksplisit. Karena kekuasaan laki-laki berupaya menekan kedaulatan tubuh dan seksualitas perempuan secara sistematis, 'perkosaan' berarti mengabaikan persetujuan (consent) perempuan. Peran perkosaan sendiri sangat luas, bahkan dilihat dari ideologi yang melatarbelakangi perkosaan, tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya menciptakan dan mereproduksi penindasan tetapi juga sistem dominasi yang berlapis, tidak hanya pada perempuan tetapi juga rasisme dan kolonialisme (dalam kasus perang misalnya).

Apa itu Persetujuan (consent)?


Pernyataan seperti “Itu bukan perkosaan tapi tindakan yang disadari suka sama suka…" merupakan pernyataan yang tidak sensitif pada korban dan melanggengkan pembenaran pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang pada umumnya (walau tidak selalu) melibatkan penetrasi seksual yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Tindakan ini bisa dilakukan melalui paksaan secara fisik, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, atau terhadap pada orang lain yang tidak berdaya memberikan persetujuan, misalnya dalam keadaan tidak sadar, tidak berdaya, atau di bawah umur. 

Salah satu pemahaman tentang Perkosaan, baik secara sosial maupun legal kerap didasari setidaknya oleh adanya persetujuan.  Menyetujui sesuatu berarti memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan asusmsi bahwa setiap manusia berdaulat atas tubuhnya yang merupakan milikinya dan wilayah personalnya. Dengan dasar hal ini, tindakan seksual dikatakan perkosaan jika tidak ada persetujuan. Pertanyaan kemudian muncul, apa saja yang dipahami sebagai persetujuan? Ada banyak kasus di mana ketidaksadaran korban dianggap sebagai persetujuan. Bahkan tuduhan yang dilontarkan pada perempuan yang berpakaian minim sering dianggap "mengundang" atau "minta untuk diperkosa". Seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo menanggapi kasus perkosaan di angkutan umum.

Persetujuan yang diungkapkan, seperti berkata "iya" atau sekedar mengangguk, tidaklah cukup. Karena dalam banyak kasus, kita harus memahami bahwa "tidak" berarti "tidak" dan "iya" bisa berarti "tidak". Misalnya, jika pelaku mengancam atau menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban agar berkata "iya". Konteks, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan secara verbal (Archard, 1998). Relasi seperti apa yang tercipta dalam kedua belah pihak? Apakah keduanya berada pada kedudukan yang setara? Ungkapan ‘suka sama suka’ tidak selalu menggambarkan persetujuan, karena adanya relasi kekuasaan yang timpang. Posisi pelaku dan bagaimana situasi korban menjadi faktor untuk melakukan tindakan perkosaan. Oleh karena itu, salah satu dimensi yang menyebabkan terjadi perkosaan adalah relasi kekuasaan yang timpang sehingga pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Singkatnya, persetujuan, biar bagaimanapun, tidak pernah sesederhana ‘suka sama suka’. Ada berbagai dimensi yang melatarbelakangi sebuah situasi yang mendukung atau tidak mendukung sebuah persetujuan.

Gagasan tentang ketimpangan posisi (terutama secara hierarkis) bukan untuk melarang kontak seksual antara posisi hierarkis yang tidak setara, tapi menginterpretasikan seks dalam konteks hukum sebagai bentuk paksaan yang didorong oleh hierarki di antara kedua belah pihak. Biasanya untuk menentang komentar bahwa hubungan seksual yang terjadi adalah bagian dari ketidaksetaraan, pelaku dan pembelanya akan membuktikan bahwa hubungan tersebut didasari suka sama suka (atau secara afirmatif), tanpa memandang ketidaksetaraan antara kedua belah pihak (Mac Kinnon, 2005).


Betapa Beratnya Melaporkan Perkosaan (dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender lainnya)


Pada umumnya penanganan kasus kekerasan berbasis gender** terutama kekerasan seksual, tidak hanya berhubungan dengan legal tetapi juga tekanan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat kita. Konteks sosial ini bahkan mempengaruhi pandangan pihak-pihak yang berkomentar di dunia maya pada kasus SS. Kebanyakan bukan fokus pada simpati korban, tetapi justru fokus ke pelaku dan kelompok pelaku.
Menurut Komnas Perempuan, di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara saling bekerja sama untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Pada prinsipnya, keadilan merupakan tujuan utama pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu, mekanisme hukum negara dan sistem keadilan non-negara bisa jadi sama pentingnya asalkan mampu memberikan keadilan bagi perempuan korban.
Komnas Perempuan juga menyimpulkan bahwa keterbatasan payung hukum yang mengatur  kekerasan seksual adalah salah satu penyebab buntunya kasus-kasus itu. KUHP yang menjadi satu-satunya panduan hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan pada kenyataanya sulit mengakomodir kepentingan perempuan korban. Dalam kasus perkosaan, KUHP mensyaratkan adanya dua saksi, padahal perkosaan pada umumnya dilakukan di tempat tertutup atau sunyi. KUHP juga mensyaratkan adanya bercak sperma. Berdasarkan pengalaman korban, seringkali mereka segera membersihkan dirinya karena merasa risih akibat perkosaan itu. Kalaupun korban melapor, menunggu hingga dirinya merasa sanggup dan aman. Biasanya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun korban baru mampu melapor.  
Penjelasan di atas menjawab pertanyaan semacam “Kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor?”. Bahwa menjadi korban merupakan posisi yang sulit dan berpotensi mengalami penderitaan yang berlapis. Selain cemooh dari pihak luar lewat pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif, hukum sendiri belum secara spesifik isu berpihak pada korban. Sebagai gambaran mengenai fakta korban pada kasus kekerasan, berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga (UU PKDRT). Jadi ketika korban memberanikan dirinya untuk melapor ke polisi, kita sudah sepantasnya mendukung korban atas keberaniannya dalam upaya menindak pidana pelaku.

Mengapa Berpihak Pada Korban?


Seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab tidak tersentuhnya akar pokok kekerasan pada perempuan adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak perempuan sebagai korban. Belum lagi ditambah dengan tekanan sosial yang dialami oleh korban. Terlebih jika pelaku merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau keunggulan lainnya (privilege) sehingga memiliki relasi yang bisa mendominasi wacana kasus. Dalam keadaan seperti ini, korban menjadi pihak yang tidak memiliki ketidakberdayaan untuk menandingi wacana yang dominan. Korban adalah muted group (kelompok yang diabaikan/diredam) yang terpinggirkan dalam mendikte komunikasi wacana kasus. Bahkan sebelum korban (bisa lewat perwakilannya) memberikan penjelasan, sentimen dan komentar yang tidak sensitif dan tidak berpihak pada korban telah menyudutkannya. Terlebih media sendiri tidak bisa memberikan penjelasan yang gamblang untuk terminologi “perkosaan” sehingga harus menggunakan istilah “tindakan asusila” atau “Perbuatan tidak menyenangkan”.
Ketika ruang untuk membangun wacana minim, proses hukum juga tidak mudah bagi korban, memberi dukungan pada korban adalah salah satu cara untuk menjamin bahwa keadilan harus ditegakkan. Dalam banyak kasus, pembuktian dan proses penanganan kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya kerap kali membuat perempuan (korban) mundur dari proses pemeriksaan kasus karena penanganan kasus yang tidak saja makan waktu, namun juga proses yang memalukan bagi korban. Studi kasus yang dilakukan tim Justice for the Poor menunjukkan bahwa hampir semua korban perkosaan dan kekerasan seksual dipersalahkan baik oleh komunitas maupun oleh Kepolisian (Justice for the Poor,  2008).
Kepekaan kita dalam melihat dimensi ketidaksetaraan ini sangat diperlukan untuk akhirnya berpihak pada korban. Pada konteks masyarakat dengan sistem patriarki, yang mengabaikan hak-hak perempuan, korban justru sering disalahkan alih-alih menghukum pelaku. Ungkapan seperti: “Salah perempuan pakai baju seksi!” atau “Perempuan nakal pantas diperlakukan seperti itu” hanya akan memperkuat lingkar kekerasan yang ada. Masyarakat cenderung mengajarkan perempuan untuk berperilaku nilai yang berlaku dan membela diri, tapi tidak mengajarkan laki-laki untuk melihat perempuan sebagai pihak yang setara dan bukan objek kekerasan.
Karena dengan memahami kekerasan berbasis gender dan bersimpati pada korban, kita bisa menjadi bagian dalam membongkar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan sesama manusia lainnya. Dengan memahami bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apapun, kita dapat memberikan dukungan bagi korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan tersebut. Karena hanya dengan memberi dukungan pada korban, kita bisa memecah kebisuan dalam lingkar kekerasan. Rape is Rape, No More Excuses!--


*Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, norma serta nilai yang dianut sistem ini diasosiasikan dengan maskulinitas dan kejantanan (dalam hal dominasi dan kontrol), dan laki-laki menjadi fokus utama yang diperhatikan di dalam kebudayaan masyarakatnya.

**Kekerasan berbasis gender dan Kekerasan terhadap perempuan digunakan untuk menggambarkan serangkaian penganiayaan yang dilakukan kepada perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap laki-laki.  Kekerasan terhadap perempuan termasuk pada saat perang digunakan sebagai alat untuk menyebarkan rasa takut, menteror dan mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pada tahun 1993, Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau berkemungkinan menghasilkan cedera fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan publik atau pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada: kekerasan domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan yang berbahaya terhadap perempuan.

ReferensiMac Kinnon, C. Women's Lives, Men's Laws. Cambridge MA: Harvard University Press. 2005. p 247-248Archard, David. Sexual Consent. Colorado: Westview Press. 1998. P 130-145http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lainhttp://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html

0 comments:

 
design by suckmylolly.com