Tampilkan postingan dengan label abstraction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abstraction. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 November 2012

Gradasi Keyakinan





Edisi khusus majalah TEMPO tentang pembantaian '65



Ketika kita dilahirkan ke muka bumi ini, semesta tidak pernah berbisik pada kita 'apa itu kehidupan', 'apa itu manusia', atau bahkan 'apa artinya dilahirkan. Kecil kemungkinan kita mengingat apa yang kita hadapi semasa bayi, apalagi apa yang dikatakan oleh ayah atau ibu saat si bayi menangis. Sekalipun otak kita sudah mampu menyimpan memori, kita tidak akan paham dengan baik pembentukan memori pada masa itu. Meski setiap manusia (dan organisme) mempunya unsur 'bawaan' dari kode genetik yang terdapat dalam protein DNA, pengalaman organisme menjadi faktor paling penting untuk menentukan fenotip atau hasil akhirnya. Dengan kata lain, tempat atau konteks di mana kita tumbuh dan berkembanglah yang perlahan tapi pasti memberikan jawaban akan pertanyaan metafisik seperti di atas. Biasanya kita bahkan tidak sampai menemukan jawaban yang final dan memuaskan. 





Rangkaian kode DNA manusia


Waktu kecil kedua orang tua saya memberi tahu banyak hal, terutama soal cara berinteraksi dengan sesama manusia. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu saya mengajarkan cara berterima kasih, bersalaman, atau bilang permisi. Selain menelan mentah-mentah doktrin agama lewat ritual yang dicontohkan oleh orang tua, saya juga mengetahui dari mereka, mana hal yang baik dan mana yang buruk. Baik ayah atau guru di sekolah mengajarkan pada saya bahwa manusia adalah spesies Homo Sapiens, makhluk yang dipercaya berbeda dengan organisme lainnya seperti bintang atau tumbuhan. "Apa yang membedakannya?", tanya saya waktu itu. Dan ayah saya menjawab "Manusia punya akal budi, dia punya hati nurani". Guru di sekolah pun menjawab "Manusia dikaruniai cipta, rasa, dan karsa (dikenal dengan Trias Dinamika) oleh Tuhan YME". Puaskah saya dengan jawaban tersebut pada saat itu?

Jangankan menunggu dewasa, pada waktu itu saya tidak puas dengan jawaban guru atau ayah. Terutama kepada ayah, saya terus bertanya hingga Ia lelah menjawab dan besoknya saya dibawa jalan-jalan ke ragunan. Dengan kunjungan ini, ayah saya mau menunjukkan perilaku binatang dan hakikat tanaman, agar saya bisa membandingkan dengan makhluk yang disebut "Manusia".



Klasifikasi homo sapiens dalam ordo primata

Seiring dengan pertumbuhan, orang tua dan guru di sekolah menanamkan makin banyak nilai ke dalam diri saya. Bahwa saya tidak boleh berbohong, saya harus mengasihi dan menolong sesama manusia, mencuri adalah tindakan yang berdosa, menjadi orang baik merupakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat, dsb. Praktis ketika saya kecil, ajaran tersebut memaksa saya untuk memandang fenomena secara hitam-putih. Dikotomi dosa-neraka, baik-buruk, benci-cinta, menjadi kacamata "anak baru tahu" dalam memandang realita. 

Terhitung 24 tahun saya hidup di dunia ini, tiba-tiba saya ingin bilang ke ayah atau guru TK dan SD saya kalau mereka cukup banyak 'berbohong' tentang definisi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun keagamaan dan nilai kehidupan lainnya. Saya mau protes (bukan dalam artian yang buruk yah), karena waktu itu saya dibekali dengan kacamata hitam-putih untuk melihat realita yang 'abu-abu'. Seperti memakai kacama 2D untuk menonton film 3D, iya saya lihat gambarnya berlapis, tapi saya melihatnya dalam fragmen bukan dalam satu keutuhan (gambar yang timbul dan serasa hidup). Akibatnya saya harus terima kalau untuk beberapa saat pandangan saya sedikit kabur, tidak bisa melihat realita dengan jelas. Bahkan lebih parahnya lagi, dengan naifnya saya mencoba mencari kepastian di antara yang nisbi, memaksa melihat bentuk yang utuh padahal tidak jelas atau blur. 

Seiring bertambahnya umur, ikan yang membesar tentu tidak muat dalam kolam yang sama, dia berpindah-pindah kolam untuk mencari mana habitat yang cocok, mengevaluasi makanan apa yang tersedia dan tidak tersedia,  dan memastikan bisa bertahan hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar, pindah ke sekolah menengah, lanjut ke sekolah menengah atas, masuk ke perguruan tinggi, nyemplung ke kantor, setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Apalagi ketika si bayi akhirnya mengembangkan kemampuan membacanya kelak, dia akan melahap buku, majalah, atau sekarang aplikasi dan logaritma google. Kepala kita pun dijejali dengan berbagai pemahaman, ketidaktahuan, dan bahkan keraguan. Berbagai asam garam yang sudah ditelan akhirnya mempengaruhi 'rasa' bagaimana kita akhirnya memandang hidup itu sendiri. 

Jujur saja, apa yang saya yakini dari kecil pelan-pelan runtuh, dan bahkan tidak butuh pengalaman hidup belasan tahun untuk meruntuhkannya, cukup dengan menganalisis koran dalam satu hari. Bagaimana saya bisa percaya manusia itu makhluk dengan akal budi dan hati nurani jika saya membaca fakta bahwa ada jutaan manusia yang dituduh PKI dibantai di negara sendiri, dan bahkan saya curiga leluhur saya turut andil di dalamnya? Apa yang bisa tersisa dalam keyakinan saya kalau melihat betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam? Bisakah saya percaya bahwa mencuri adalah tindakan berdosa dan melanggar hukum, jika pada akhirnya hukum malah memenangkan para pencuri? Masih perlukah saya memegang teguh prinsip altruistik di tengah banyaknya orang yang egoistik? Hingga di penghujung perdebatan diri sendiri saya bertanya, naif kah saya jika terus meyakini nilai-nilai masa kecil tersebut.

Saya tentu tidak sendiri. Ada banyak orang yang kemudian sadar bahwa spektrum sebuah kebenaran, kebaikan, keburukan, atau kejahatan begitu luas. Bukannya sok non-positivis atau post modern, tapi toh kita mengalami dan melihat sendiri subyektifitas itu nyata adanya. Alih-alih menjadi seseorang yang terkesan relativis atau bahkan nihilis, saya mencoba membawa perdebatan 'remeh-temeh' tersebut ke dalam diskusi keseharian dengan beberapa teman. Biasanya dari obrolan ngalor ngidul, kita bisa menanamkan semangat dalam diri kita masing-masing. Semangat atas keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus terus dipertahankan. Kacamata moral biar saja dihibahkan ke orang lain, kacamata kemanusiaan terasa lebih nyaman dipakai. Untuk apa bingung surga dan neraka kalau ada kesempatan melakukan sesuatu untuk orang lain di depan mata? Why Bother?


Diambil dari Pigs in Maputo (klik untuk ukuran besarnya)

Sebenarnya, saya tidak perlu mengganti kacamata hitam putih secara keseluruhan, bisa saja saya memodifikasi lensanya agar saya bisa melihat gradasi warna di antaranya. Seperti palet warna di Photoshop, ada banyak kombinasi warna di antara CMYK 00000 (hitam) & CMYK FFFF (putih). Berbagai pengalaman dan cerita yang saya peroleh dari orang di sekitar saya, mau tidak mau kita harus melebarkan spektrumnya atau nanti kita yang capek sendiri dengan memaksakan kacamata hitam putihnya. 




Apa yang baik dan buruk?

Jika tidak pernah merasa perlu untuk mewarnai keyakinan Anda dengan gradasi, setidaknya Anda bisa melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan Anda. Kenyataan yang saya hadapi, saya bertemu banyak orang dalam hidup yang mengajarkan banyak hal, termasuk soal keyakinan saya selama ini.  Contohnya, sore ini saya bertemu beberapa orang yang harus diwawancara, dari mereka saya bisa melihat bagaimana kompleksnya identitas dalam mempengaruhi gradasi keyakinan tersebut. Ada seorang informan yang berasal dari pesantren Wahabi mengemukakan ide-idenya untuk menentang kekerasan berbasis agama, kebebasan berpikir, berpendapat, dan bahkan akhirnya giat dalam wadah hak asasi manusia -sesuatu yang tentu ditentang oleh keyakinan Wahabi. Ada juga seorang informan dari etnis minoritas yang sangat peduli dengan isu toleransi dan dialog antar beda suku atau agama. Padahal dia tahu betul etnisnya jadi korban dalam tragedi '98 di negeri ini. Hal tersebut tidak melunturkan keyakinannya akan bangsa Indonesia. Saya sangat salut dengan orang-orang yang bersedia melalui pergolakan internal untuk akhirnya menarik gradasi dalam hal-hal yang diyakini sebelumnya. Dengan mengetahui adanya orang-orang seperti ini, keyakinan saya kembali disulut semangat, kemanusiaan itu ada dan manusia memang berbeda dari organisme lainnya. Faith in humanity restored!

Bentrokan antara pengguna kacamata hitam putih dan kacamata gradasi memang tidak terelakkan. Ketika hal ini muncul, yang perlu dipahami adalah hakikat manusia sebagai salah satu jenis makhluk hidup. Karena dia punya akalbudi dan jika digunakan sebagaimana mestinya, pasti setidaknya memikirkan kemungkinan lain. Pernah ada seorang teman yang bilang ke saya "Ya kalau saya menjadi pribadi yang kritis, yang menentang apa yang dulu saya anggap benar, mencoba membuat perubahan, itu adalah konsekuensi karena saya dimasukkan ke sekolah, saya dibolehkan membaca. Kalau ingin saya terus penurut dan tidak mengkritisi hal tersebut, sebaiknya dari dulu saya dipasung saja sekalian". 

Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Baik keyakinan kita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tentunya terus bertransformasi. Bisa pilih untuk tetap yakin dengan kacamata hitam-putih; mencoba bermain di gradasi; atau mungkin ingin sejenak melepaskan kacamata untuk memejamkan mata dan tertidur :D 










Sabtu, 08 September 2012

Di Antara Hati dan Teknologi




Kenapa Ada Yang Baru? Karena Yang Lama Sudah Tidak Berfungsi Lagi 


Pernahkah Anda mengganti ponsel lama Anda dengan ponsel yang baru? Atas alasan apa Anda menggantinya? Pertama, ponsel Anda rusak karena satu dan lain hal ditambah dengan garansi yang sudah tidak berlaku lagi. Kedua, Anda bosan atau ingin saja update model demi modal pergaulan. Ketiga, Anda merasa teknologi atau kapasitas ponsel lama Anda terbatas dan mentok untuk menjawab kebutuhan Anda akan teknologi dalam keseharian. Atau mungkin alasan yang paling tidak penting, yaitu tentu Anda punya banyak uang dan membeli ponsel baru adalah satu upaya untuk mendistribusikan uang Anda. 

 Lain cerita jika Anda memiliki ponsel kesayangan yang sudah menemani Anda bertahun-tahun lamanya. Melewati berbagai fase jatuh-bangun Anda, dari bangun tidur sampai penghujung hari. Ponsel ini setia di samping Anda jika sedang dibutuhkan, ia selalu tepat guna dan tepat daya. Memang terkadang ponsel Anda suka ngadat dan jika sedang tidak punya mood yang cukup baik, mungkin saja Anda membantingnya. Tapi dedikasi ponsel ini begitu hebat sehingga Anda bisa hilang kendali jika ponselnya tertinggal sehari saja. Selain fungsi menelpon atau mengirim pesan, ponsel Anda menyimpan begitu banyak memori. Mulai dari nomor telepon teman SD sampai foto-foto momen terbaik Anda beserta data lainnya. Anda tidak pernah membayangkan apa yang yang terjadi jika ponsel Anda hilang atau dicuri orang. Yang Anda tahu, ponsel ini harus ada setiap saat dan setiap waktu. 

Mungkin saat Anda membeli ponsel kesayangan, teknologinya sedang canggih-canggihnya. Fiturnya bisa memenuhi kebutuhan Anda pada saat itu dan ketahanannya bisa menandingi sepatu converse yang tak kunjung bolong itu. Saat-saat awal Anda memiliki ponsel tersebut, Anda begitu asyik mengulik sana-sini, apa yang tersaji di dalamnya terasa seru dan tidak bisa ditebak. Namun seiring berjalannya waktu, Anda sudah menguasai semua fiturnya, Anda sudah mengulik semua tips and triknya, seolah tidak tampak seseru dulu. Sempat terpikir dan tergoda dengan puluhan tipe baru atau merk lain yang keluar tiap tahunnya, tapi rasanya ada "ikatan emosional" atau romantisme bersama yang sanggup mengalahkan segalanya, termasuk godaan fitur yang lebih baik. 

Dari waktu ke waktu, ponsel Anda kondisinya tidak lagi sehandal sebelumnya. Dunia berubah, lingkungan Anda bertranformasi, orang-orang di sekitar Anda silih berganti, sampai pada saatnya serangkaian alasan terlihat jelas. Ponsel kesayangan baterainya sudah bocor, casing-nya sudah lapuk, fiturnya? jangan ditanya… pasti ketinggalan jaman. Kemampuannya sudah tidak lagi bisa di-upgrade ke tahap selanjutnya, sehingga semuanya menjadi terbatas di dalam ponsel ini. Sempat Anda meyakinkan diri Anda bahwa Anda tidak butuh kemajuan teknologi, Anda juga berpikir kalau ponsel kesayangan sudah cukup. Tapi teknologi tidak bisa berbohong. Anda tentu tidak bisa ngotot tetap transfer file dengan disket jika perangkatnya sudah sulit dicari dan orang-orang menggunakan cakram padat. Anda juga tidak bisa ngotot kirim pesan sms bergambar jika sekarang sudah ada Whatsapp yang bisa langsung mengirim foto dari ponsel Anda. Sekilas sepertinya Anda bisa hidup hanya dengan ponsel kesayangan Anda, padahal, Anda bisa melakukan banyak hal lain yang tidak pernah Anda bayangkan, jika Anda kemudian mengganti ponsel. 

Ketika ponsel kesayangan kemudian dirasa terpaksa mengikuti arus hidup dan perubahan di sekeliling Anda, bisa jadi benda ini sudah tidak menjawab kemampuan Anda. Bahkan, jika tiba saatnya ponsel ini rusak dan tidak bisa menemani Anda lagi, tibalah waktunya bagi Anda untuk menentukan pilihan. Anda bisa saja keliling ITC untuk servis ponsel tersebut, tapi biayanya bisa mahal dan menguras energi Anda. Sampai pada saatnya Anda merasa bahwa, saatnya Anda meninggalkan ponsel kesayangan. Dengan berat hati, Anda harus berhenti, tidak bisa lagi menggunakannya. 

Kemudian muncul opsi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, beralih ke ponsel baru. Dengan teknologi terkini yang lebih canggih dan beragam aplikasi seru, Anda tentu bisa melakukan banyak hal dengan ponsel ini. Memang Anda harus beradaptasi untuk terbiasa dengan interface atau bentuknya. Yang tadinya keypad, sekarang jadi layar sentuh. Peralihan tersebut memang tidak mudah. Anda bisa sering typo saat mengetik pesan, atau melakukan beberapa kesalahan karena belum terbiasa dengan fiturnya. Jangan sedih, hal ini biasa. Saat-saat seperti ini pasti harus dilewati asalkan ponsel Anda berfungsi dengan baik dan siaga menopang kebutuhan hidup Anda sehari-hari. Ponsel baru perlahan akan menggantikan posisi ponsel kesayangan sebelumnya dan Anda juga bisa kembali mengisinya dengan memori-memori yang akan dilewati. 



Kenapa saya membuat tulisan ini? 
Terkadang kita merasa enggan beralih dengan yang baru dan sering terjebak dengan ikatan emosional yang sebenarnya dipaksakan. Mungkin saja yang kita miliki memang sudah tidak berfungsi lagi, mungkin saja kapasitasnya tidak lagi mampu menampung diri kita yang terus berkembang dari hari ke hari. Sedangkan ada pilihan baru yang mungkin bisa lebih menjawab kebutuhan Anda dan bisa menunjang Anda untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Romantisme terkadang menghambat kita untuk melihat kenyataan di depan mata, padahal apa yang ada di sekitar kita semuanya serba sementara. 
Maafkan saya jika tulisan ini terkesan menyederhanakan hal yang rumit, atau bahkan mereduksi sebuah siklus dalam hidup ke dalam siklus gonta-ganti ponsel semacam ini. Tapi apa yang kita lewati selama ini sebagai peradaban manusia telah menjadi landasan bagi perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi memang memiliki dampak negatif (yang menurut saya hal ini bersifat nisbi), tapi hal tersebut tentu didorong oleh kebutuhan manusia dan dinamika alam raya ini. Hal baik yang selalu saya petik dalam teknologi adalah visi teknologi itu sendiri. Teknologi menatap ke masa depan tanpa mengabaikan masa lalu (karena kesalahan di masa lalu ada untuk diperbaiki) dan seperti layaknya sikap manusia terhadap teknologi, ada yang pro dan kontra. Hal ini wajar saja, semua punya pilihan.  Asal semuanya dijalani tanpa paksaan dan kita tetap merdeka sebagai manusia- tentu hal ini terbuka untuk diperdebatkan. 





Selasa, 10 Januari 2012

The drugs don't work


"Antibiotik menyelesaikan semuanya kecuali asmara"

Seandainya semuanya semudah menelan sambil minum air, mungkin kita bisa bertahan.

Rabu, 28 Desember 2011

Jarak: Jauh-Dekat Rp 2.000



Sudah lama ternyata sejak terakhir kali saya posting di blog ini. Mungkin kemampuan saya untuk berbagi cerita sudah menurun atau mungkin kemauan saya lebih tepatnya sudah tidak ada.


Entah kenapa, saya tiba-tiba merasa rindu untuk berceloteh kembali dalam ruang ini. Saya ingin merasakan kehangatan saat perasaan dan kegamangan bisa dituangkan dalam secangkir blog cokelat hangat.


Saat ini di kepala saya hanya ada 'jarak'. Mungkin jarak tidak terkait dengan kondisi geografis, bisa jadi dia menjadi konsekuensi dari kedekatan secara fisik. Kita bisa berkata bahwa kita ingin menjaga 'jarak' dengan seseorang. Katakanlah dia seorang eks teman atau eks pacar. Tapi apa gunanya jaga 'jarak' dalam pengertian komunikasi atau fisik jika ternyata setiap hari kita ingin 'dekat' secara maya (baca: stalking). Secara berkala mantengin linimassa, selalu sigap dengan kabar terbaru di situs jejaring sosial, atau untuk kasus yang lebih akut, memanfaatkan google sebagai cara untuk terus memantau orang tersebut.


Jarak menjadi sesuatu yang relatif, itu pasti. Tapi sampai seberapa jauh kita bisa mengukur relatifitas tersebut? Saya dan Nicholas Saputra tentu ber'jarak', kami tidak saling mengenal. Meskipun saya bilang saya kenal dan tahu Nicsap, yang saya tahu pasti hal ini tidak terjadi sebaliknya. Tidak ada dalam lingkaran pertemanan saya yang mengenal dia dan sebaliknya juga bagi dia. Saya dan dia punya 'jarak' yang jauh, itulah faktanya.


Bicara jarak, jauh dan dekat menjadi penting. Relasi kita dengan seseorang atau sesuatu dan bagaimana cara menggambarkan jaraknya adalah hal yang kita lakukan setiap saat. Sialnya kedua kata sifat ini lebih abstrak dibanding jarak itu sendiri. Ada seorang teman yang cerita bahwa dia sedang 'jauh' dari keberuntungan, seakan keberuntungan adalah teman 'dekat' yang kemudian bermusuhan dengannya. Ada lagi yang curhat kalau dia sedang 'dekat' dengan seorang perempuan tapi dia bahkan tidak tahu perempuan tersebut anak ke berapa.


Ada dua hal yang akan membunuh kita perlahan, jarak dan waktu. Tapi buat saya, jarak lebih menakutkan dan terkadang sulit dinegosiasikan. Kita mengenal 'time mangement' tapi asing dengan 'distance management'. Kalau waktu bisa diatur, lantas apa sulitnya mengatur jarak? Toh sopir metromini dan keneknya bisa membuat aturan Jauh-Dekat Rp 2.000 sehingga jauh dan dekat tidak beda harga yang harus dibayar. Sayangnya, jarak dalam hidup ini tidak bisa menggunakan standar metromini, jadi kita harus terus menyesuaikan dan bermain petak umpet dengan jarak. Jadi ingin lari se'jauh' mungkin tapi tetap ada di 'dekat' orang yang kita sayang… (#abaikan)









Minggu, 25 Juli 2010

In a state of flux

flux |fləks|
noun
1 the action or process of flowing or flowing out
2 continuous change
3 Physics the rate of flow of a fluid, radiant energy, or particles across a given area.


I think this word suits me at the moment. Maybe it's one of my reason to keep God in mind. I'm not looking for a stability or a balance of mind. I'm just looking for more possibilities to jump from one to another. I'd like to see what equality might be. Can we just simplify each phenomenon? Make it just like common sense, so every incident is just a serendipity. There is no such a thing as certainty, because you don't need it. All you need in your life is flux. The upside-down movement to put yourself in gravity.

Enjoy your moment of flux...




 
design by suckmylolly.com