Selasa, 29 Desember 2009

Year End Mixtapes


There are so many great album this year. We might be so thrill with old time favorite bands which back on track in 2009 such as Placebo, Manic street, weezer, sonic youth, and so on. But there are more super cool debut albums from new bands. I love my itunes playlist this year. Among bunch of records,  this is some bands that i highly recommend to end your joy and sorrow, luck and shits throughout year 2009. While we pursue our pointess goal or resolutions, we will listen to the rhythm of life and stick to the beat. Here we go...


1. The Rosebuds - Life Like


 Because life is like distortion


2. The Temper trap - conditions


Glad to hear that its vocalist comes from Indonesia, His voice is magic.


3. A sunny day in Glasgow - Ashes Grammar


I thought cocteau twins are dead, but here the new generation of cocteau, yeah!


4. Noah and the Whale - The first day of spring


I give you three words to describe them: Honest, Lovely, and Simple


5. OST 500 Days of Summer


The soundtrack is as post modern love as its movie.


6. OST New Moon (Twilight saga) 


You may loathe the movie but you will applaud its soundtrack


7.The Duke Spirit - The Duke Spirit


What if My bloody Valentine hanging out with The Pixies?


8. Pomegranates - Everybody comes outside


Use your Boss Effect DD6 to compare its delay plus speed-up the drums


9. Papercuts - You can have what you want


It's not just another acoustic band, it is not really...


10. Brakes - Touchdown


I can't help with the beat and raw guitar....




Rabu, 11 November 2009

It's in Your Hands Mr. President

"Kupu-Kupu Kebenaran"



Alkisah, ada seorang rabi yang terkenal mampu menjawab semua pertanyaan. Ya... semua pertanyaan. Kemampuannya ini sudah dikenal luas d
imana-mana. Ada seorang pemuda yang sangat ingin membuktikan bahwa rabi tersebut tidak sehebat yang dikira orang-orang. Ia lantas punya akal untuk menggagalkan popularitas Sang Rabi. Kemudian Ia menangkap kupu-kupu dan membawanya dalam genggaman. Ia mendatangi rabi tersebut denga
n niat menjebak beliau. Strateginya, dia akan bertanya pada Rabi apakah kupu-kupu di tangannya hidup atau mati. Jika Rabi menjawab hidup, Ia akan membunuh kupu-kupu dalam genggamannya, sebaliknya, kalau rabi bilang kupu-kupu itu mati, Ia akan melepaskan kupu
-kupu tersebut agar terbang bebas di depan muka Rabi. Saat Ia akhirnya bertemu dengan rabi tersebut, pemuda ini mulai bertanya, 

"Wahai rabi yang tahu segalanya, menurutmu, kupu-kupu yang aku berhasil tangkap ini hidup atau mati?". 

lantas apa jawaban Sang rabi?

Dengan bijak dan tak disangka-sangka rabi berkata singkat, 

" Jawabannya ada di tanganmu, Nak..." 

dan pemuda itu pun tertegun dengan tebakan rabi."







Saat isu Cicak vs Buaya menjadi semakin hangat, kisah rabi dan pemuda ini terlintas di kepala saya. Alih-alih ada yang membela KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi), muncul perlawanan dari pihak lain, another KPK (Komisi Pembela Korupsi). Drama itu bertahap mencapai tingkat konfliknya. Saat Bibit & Chandra ditahan, kemudian disebar luaskannya rekaman hasil sadapan pembicaraan Anggodo CS, dibentuknya Tim 8 oleh Presiden, keterpojokan Susno, hingga reaksi Polri dan Kejaksaan Agung yang sudah berhasil mencapai Master Nge-Les tingkat tinggi.  Semua dukungan diteriakkan untuk menjunjung tinggi kebenaran yang sudah jelas-jelas terkuak. Layaknya Star Wars, negeri ini bisa dibilang memasuki episode "The Society Strikes Back" ketika beragam lapisan masyarakat protes karena mulai lelah dengan Konspirasi Kakap bertulang teri ini. Selain menanti pengakuan jujur dari pihak-pihak "terkait", saya sangat menunggu statement panjang dan keputusan tegas dari RI 1 (seperti kode di pembicaraan telp Anggodo). Namun hingga saat ini, saya masih gregetan karena beliau belum melakukan sesuatu yang benar-benar "berarti". Akibatnya fatal jika drama terus berada di plot konflik, bisa-bisa nanti masuk ke episode "Revenge of The Shit". hehehe





Kembali ke kisah rabi di atas, nasib kebenaran dalam kasus bank century, Anggodo, Susno, and so on yang seperti benang merah tapi kusut ini seperti kupu-kupu di atas.  Dan seperti jawaban rabi akan pertanyaan pemuda, Nasib kebenaran yang tersisa di negeri ini ada di tangan pemimpin kita. Jika Ia berani memberikan pernyataan yang jelas dan membuat keputusan yang tegas (copot dulu kek jabatan penguasa-penguasa kelompok "The Shit") saya dan pihak lain yang merasa jengah sekaligus 'panas' akan isu ini minimal akan merasa sedikit plong... Nggak asik dong kalau menonton film Ultraman pas adegan lawan musuh, eh... kekuatan si Ultraman yang habis nggak pulih-pulih lagi!?

Saya tahu menjadi Presiden tidak mudah, apalagi posisinya sempat diseret-seret dalam kasus ini. Mungkin beliau memiliki perasaan yang sama dengan Pemuda tersebut, Ia bingung akan membunuh atau melepas kupu-kupu tersebut karena Ia tahu bahwa strateginya untuk menyerang rabi sudah gagal. Si rabi terbukti tahu jawabannya...

Kita semua yang masih berpikir dengan logika pasti tahu jawaban atas semua ini. Kalau malas merunutkan kronologi atau takut menjadi komoditi TV karena mantengin tv seharian demi menyaksikan drama Cicak Buaya, kita bisa mulai bertanya pada diri sendiri. 
Mana yang kamu anggap benar, membiarkan buaya terus berkeliaran menelan korban lebih banyak (bisa jadi korbannya kamu) atau memburu buaya-buaya tersebut agar kelak semuanya menjadi lebih baik (minimal anak saya atau kamu nanti bisa hidup aman sejahtera)???

Apa yang akan kamu lakukan jika menjadi pemuda itu? Membunuh kupu-kupu dalam genggamanmu karena kesal pada rabi? atau menunjukkan bahwa kupu-kupu itu hidup dan masih bisa terbang bebas, sehingga rabi bisa tersenyum menatapmu?

It's all in Your hands....

Senin, 12 Oktober 2009

Next Big Thing: The Porno

Getting Premature...





video credit

record   : Sinjitos
director: Dibyokusumo
Editor   : Dimas Agung Sedayu (Yup, its dimdim!)
Visual   : Ika Putranto 

Anything attached with Porn always perceived as the contrary or subject on the matter of negative influences. But every meaning doesn't stand for absolute interpretation. The Porno (porno: porn in bahasa) may emerge along with controversy, yet they exist to deconstruct the word. 
Their performance might not be associated with obscene images or actions. The Porno is only take the controversial advantage of Pornography. They indeed, share similar obscurity. Just listen to their music, and let your mind explore the subliminal meaning inside it. 


COMING OUT SOON

Debut Album from The Porno




Jumat, 02 Oktober 2009

Perahu Kertas yang Berlabuh


"Dreaming is Free"


Blondie - Dreaming


Semua orang pasti pernah bermimpi dan mengkhayal entah di siang bolong atau di alam bawah kasurnya (bawah sadar). Katanya kekuatan mimpi itu dahsyatnya minta ampun, lewat aktivitas yang satu ini jutaan temuan dan karya hebat telah dihasilkan. Namun dikotomi mimpi dan kenyataan seringkali menyudutkan mimpi di kutub yang negatif dan sebaliknya. Kita merasa ada perbedaan antara realita yang ada dihadapan muka sebagai kenyataan. Mungkin keutamaan pengalaman empiris ini yang menjadikan manusia modern meletakkan batasan tersebut. Kita belum yakin kalau belum lihat sendiri sesuatu itu ada di depan mata pada saat real time. Padahal untuk percaya tidak harus mengada


Kesan inilah yang mampir lama di pikiran saya saat membaca novel terbaru Dewi Lestari yang berjudul Perahu Kertas. Saya tidak menyesal merelakan isi dompet yang menipis untuk membawa buku ini pulang. Selain karena Dee (sapaan Dewi) menjadi penulis favorit banyak orang termasuk saya, buku ini buat saya statusnya it's complicated. hehehe Gaya bahasa dan bertutur Dee memang juara, dia nggak basa basi dan sok lucu jadi bisa bikin kita senyum-senyum sendiri kaya baca komik serial cantik. Tapi kedalaman makna dalam menjalin kalimat serta deskripsi perasaan tokohnya juga membuat 'perasaan' novel ini menjadi sangat kentara. Meskipun di beberapa bagian, perasaan cinta tokoh-tokoh utama dideskripsikan agak berlebihan hingga terdengar begitu cheesy. Dee juga selalu berhasil membangun karakter tokoh-tokohnya lewat atmosfir dan persona yang jelas. Kita jadi kebayang banget deh orangnya kaya gimana, aliran musiknya apa, gaya pakaiannya seperti apa, suka & nggak sukanya apa, kira-kira tipe cowonya kaya apa, dsb. Yang agak saya sesali hanya beberapa deskripsi yang seakan membuat tokoh-tokoh utama sempurna. Cewek cantik yang nggak sok cantik disukai cowok blasteran yang digebet cewek stylish tajir, dan harus bersaing dengan esmud (eksekutif muda) ganteng dan bintang basket sekolah. hehehhe Nah, di satu sisi, di situlah hebatnya Dee, dia menceritakan tokoh-tokoh yang too good to be true itu ke dalam cerita yang so true alias kita banget. 


Dee mencoba untuk bercerita tentang dua manusia yang punya mimpinya masing-masing tetapi saling bertautan. Dua orang yang begitu klop  dan satu frekuensi berusaha untuk tetap bisa bermimpi, meraih mimpinya, ataupun hanya sekedar percaya bahwa mimpi itu tetap ada. Banyak pelajaran yang dipetik dari buku ini, itu udah pasti, tapi kalau menemukan pandangan hidup baru, itu yang istimewa dari efek samping buku ini. Nggak tahu kenapa, karakter dan tantangan tokohnya begitu familiar bagi saya dan hal ini bisa saja dirasakan oleh pembaca lain. Kadang-kadang ada beberapa bagian dan kebutulan yang sinetron banget. Tapi bukankah itulah hidup? Life always seems like the movie and we never stop to make scene. Mengikuti kisah persahabatan dan roman dalam buku ini menyadarkan kita, warga dunia realita, untuk sering-sering menengok rumah kita di dunia mimpi dan sebagai manusia, pintu maaf itu memang harus selalu dibuka sekaligus dihampiri. 


Buku ini membuat semua pilihan menjadi mungkin, tidak seperti buku kebanyakan yang minim percobaan jalan hidup dalam alurnya. It's definitely bittersweet symphony. Kita jadi dibuat berpikir apa yang akan terjadi dengan pilihan ini lalu apa yang terjadi jika si tokoh mengambil pilihan itu. Terkadang realita menjadi distorsi dalam perjalanan panjang mencapai cita-cita atau impian dan buku ini seakan menginformasikan ke saya 'nggak papa kok kalau capek di perjalanan, trus mau coba dulu jalan lain, tapi jangan pernah lupain tujuannya yaa...!'. Perjalanan meyakini impian masing-masing tokoh ini buat saya justru lebih menarik daripada konflik percintaannya sendiri. Meskipun percintaan itu menjadi esensi utama dari impian-impian tokohnya. Nggak perlu jadi schizophrenic untuk menghilangkan batasan khayalan dan realita hanya butuh percaya, begitulah nampaknya. 


Dee juga nggak pernah lupa menambahkan bumbu-bumbu yang membangun kesan cinta platonik di antara dua tokoh utamanya. Dan unsur inilah yang paling saya suka dari kisah cinta versi Dewi Lestari. Romantismenya nggak berlebihan tapi daleeem...! Kocak sekaligus bikin senyum-senyum kege-eran. hehehehe Yang jelas buku ini memang perlu dibaca, apalagi kalau sedang ingin melemaskan syaraf otak yang terlalu sering diterpa realita. Sedikit bocoran, terus terang saya tidak terlalu suka endingnya, soalnya nggak sesuai ekspektasi saya..hehehhe tapi ini murni subyektif kok, jangan jadikan bahan pertimbangan. 


Perahu kertas bisa mengarungi ombak yang tidak menentu, arah angin yang samar, bahkan Ia sempat ditinggal nahkodanya, sampai akhirnya mencontoh Jack Sparrow, Ia melabuhkan perahunya dimana si perahu ingin berlabuh. Saking tenggelam dalam ceritanya, saya sampai bikin mixtape untuk menjadi latar belakang beberapa bagiannya. Mungkin bisa dicoba sambil dengerin biar makin menghayati...hehehe Kan katanya mau dibikin filmnya, nah kira-kira siapa ya yang pantes jadi pemerannya? kalau di kepala saya, si Keenan itu Fachri Albar tapi kalau si Kugy, belum kepikiran. Anyway, salut buat Dee untuk novel barunya!




Mixtape Perahu Kertas


- Sigur Ros- - Hoppipolla (bagian akhir)

- Culture Club - Karma Chameleon (bayangin Kugy nih pastinya)

- Lightning Seed - I wish I was in love (Antara Kugy & Remi)

- Blondie- Dreaming (mimpi-mimpinya Kugy & Keenan)

- Lisa Hannigan - lille (mengiringi perahu-perahu kertasnya) 

- Depeche Mode - free Love (perasaan Keenan & Kugy)

- Sade- By your Side (Pas Kugy & Keenan ketemu lagi)

- Regina Spektor - Fidelity (kalau Kugy inget Keenan terus)

- Rebecca - Satu Waktu-  'pernah jadi OST, Janji Joni' (Saat Kugy membuat keputusan karirnya)

- Iggy Pop - Never met a girl like you before  (pas Keenan ketemu Kugy)

- Feist - The limit to your love (Kebimbangan Keenan & Kugy)

Minggu, 27 September 2009

It's ok for not making money that much

"...Work hard, make money, sure- but don't make it your idol. Don't screw everyone, don't screw up the planet, don't isolate yourself, don't become an island. We're in this life together."

This quote is taken from the latest edition of Adbuster. It's written by Luke Sherlock from Oxford. I think his writing was dedicated for us, mainly (I think) for those fresh graduates like me & my friends. Moreover I dedicate this one for my surroundings who keep cynically doubting my career choice. 
It's like alarm, this quote seems warn us to remain in human being ground. Don't let those brands and illusionary needs trap you on that rat race. We're human after all, aren't we?

Senin, 07 September 2009

The Real Beauty Tells The Truth


This is Lizzie Miller in Glamour Magazine. She is a breakthrough. 
Who does drive our beauty perception? 
Is it necessary? 

Such a shame for beauty industry and media, they don't speak universal language, they don't speak for us. They speak for insecurity, they spell harm beauty. But Lizzie tells the truth and praise for Glamour magazine for this chance. Now, for all you girls... believe in yourself that we're all natural born beauty itself. 

Through this picture, Lizzie happily said "This is my beauty, tell me yours!". And I'm absolutely agree, I will shout "This is my idea of beauty, Fuck yours, Fashion TV"hahaha.....

Rabu, 22 Juli 2009

Ode to Runaway


What does make you smile while you are looking forward?

"I've been thinking about you", you said simply.

Why do so, if I'm already beside you?

"I've just been guessing what's inside your mind maps", you answered.

Then please forgive me, I never intend to disturb your "redundant" thoughts.


We should not argue about those fake plastic trees.

Let me seal your lips with intriguing maneuver.

Leave behind the unrealistic reality.

Postpone all fear of contemporary civilization.

Slow down and swallow this lover's spit.


Don't bully your own faith.

"Why should fall on nihilism?", you asked

"Should we put our trust into one thing?, I replied.

"Just trust me that true love waits", you stated certainly

"I hope it will worth the wait then..."



* This lyrical poem was inspired by those six deadly love songs 

Senin, 20 Juli 2009

Which one do you prefer?



An import product with brand which supports no animal testing, fair trade, againsts domestic violence, and runs a HIV/AIDS campaign OR a local product with unknown reputation of fair trade, animal testing, and sort of csr program?


This question came up in my mind and it started from a decision-making process while I was looking for compact powder. Yup, my cosmetic-product- discovery  has lead me into a tricky consideration and long disputeable thought. As if I was a president, about to make a decision in cutting gasoline price endowment. But it's really serious question. Please help me to think about this, and it would be great for also recommend me something better.


The first choice will make me looked like a consumer with responsiblity and so called ethical one. But, hey...! It's an International brand! And behind the brand, there is a multinational  company which will fly your money away to Paris. To its home where the brand headed. I might declare I'm a consumer with a social concern perspective, but the local industry in my country will fold its carpet (what a paraphrase!), they soon will run out. Because people in this country, like me, just keep their mind with Import commodities which had succesfully build their brand image. In the other hand, the wheel of local industry stop and going to leave thousand people unemployed. Congratulation... you're so virtuous then!


The other choice's position seems so obscure. This local brand has no records of meaningful CSR programs. Rather to stop domestic violence and build women's self esteem, this brand prefer to support a beauty pageant or cover girl competition. Its advertising campaigns eventually, show their concern in utopian beauty. Then, how this image could stimulate audience's  (most of them are women) effort to get closer to that kind of beauty. But as a local commodity, we (local people) could feel proud with this brand. I heard this brand and some from its company product, had been distributed internationally, throughout Asia and Europe, especially their Spa product range. Great job indeed, to hear our local product considered so exotic and natural because the international buyer viewed them as 100% Indonesian product. This step had certainly lifted income of our country. Despite of their utopian beauty image, at least they still attached local identity to their meaning of beauty. They always said that the women who wear this product will bring up the Indonesian Beauty. hahaha....


So why did I take my personal purchase confusion seriously? Because I believe in microeconomic domino effect. I assume that destiny of the local cosmetic industry labour had strong correspondence with my purchase decision. I'm afraid I could trapped in international mega brands false perception. I really don't wanna be a Must-Have-Brand Complex or syndrome. Just because our nation's economy didn't grow as well then we think there's nothing to do about it since we're not as smart as Sri Mulyani. To support our economic growth is not that difficult as financial investment, obligation, and other sophisticated financial instrument. The raise of our purchasing power and amount that we spent will only contribute a fictitious growth, if we keep spend it on import brands. Anyway, I'm not a supporter of a vice president candidate who seems like buy-local evangelist in ads but I consider every act in my financial transaction will be counted. So let's end this never-ending confusion. Phiuhh....like our beloved adbuster campaign said " Why buy into megabrands and their fake marketing cool? Get Free, Go Indie, Buy local, and make every second count." 








Selasa, 30 Juni 2009

momentum itu tiba begitu saja

Tidak sampai 5 menit,
Tidak membuat keributan,
Tenang...
Hanya mengejutkan
Tidak ada aba-aba
Apalagi peluit dimulainya lomba
Tapi telah melampaui garis akhir
Secepat kilat
Seperti gempa besar yang sebentar
Dalam waktu sekejap meruntuhkan apa saja
Ya... benar....!
Apa saja...

Kita sudah dewasa
Pembenaran untuk sebuah kebaikan
Semua pasti ada jalannya
Ungkapan malas cari solusi

Mudah-mudahan tidak nyata
Hanya mengada-ada
Setengah tidak percaya...

Sigh....

Takes time to digest

"Never Trust Men, They Lie and Bubble Alot"

Rabu, 17 Juni 2009

"The Power of Tag"



Bisa dibilang, saya termasuk anggota baru Facebook. Ibarat anak sekolah yang kesiangan, saya termasuk yang telat dalam mengadopsi tren Facebook. Ada satu teman saya yang pantas dinobatkan sebagai Facebook Master, karena dia memanfaatkan Facebook dengan maksimal. Mulai dari mengorek sedalam-dalamnya informasi tentang seseorang, hingga mengangkat isu tertentu untuk disebarluaskan. Dia pula yang membujuk saya untuk membuat account Facebook. Saya akui, tadinya saya memang agak anti Facebook dan sempat mengkritiknya sebagai efek samping teknologi Web 2.0 yang menodai privasi dan interaksi manusia seharusnya. Agak konservatif memang, karena waktu itu saya berpikir bahwa saya tetap 'mengada' bagi diri saya ataupun orang lain tanpa perlu sign up Facebook. Sampai akhirnya model interaksi manusia di sekeliling saya terasa bergeser dengan pertanyaan "Facebook lo apa?" atau permintaan "Add FB gue ya Cin!". Akhirnya saya terseret ombak dan bergabung dengan Facebook. "Welcome to the club Cin!" tanggap teman saya Si Master Facebook tadi. Percaya atau tidak, selama 3 bulan punya FB, saya belum pernah meng-add orang tapi saya tetap kedatangan permintaan confirm. Entah bagaimana, saya berhasil mengumpulkan sekitar 100-an teman, tanpa pernah 'menjemput bola'. Gokil banget kan mahadaya si Facebook ini?!! Hal ini tentu nggak mungkin terjadi dalam interaksi biasa, kecuali anda secakep Luna Maya atau Christian Sugiono. 


Ada satu hal yang mengusik saya sejak kali pertama terdaftar sebagai anggota facebook, yaitu soal "Tag Photo". Saya kembali dibuat heran dengan bertambahnya album foto saya, padahal saya nggak pernah upload foto kecuali untuk profile pictures (bahkan sampai sekarang profile picture saya kurang dari 8). Inilah ajaibnya si "Tag Photo". Teman-teman saya yang Facebook trendy (selalu update FB-nya) dengan setia men-tag saya di foto-foto yang doi upload. Men-tag? Yup, Men-tag! That's it! Saking "happening"-nya kegiatan ini, hingga memunculkan kosa kata kerja baru dalam perbendaharaan kata kita. Saya belum nemu padanan bahasa Indonesia sampai saat ini, mungkin ada yang bisa menambahkan? Soalnya sempat mengganti "men-tag" dengan "masukin" (contoh: Tag gue dong! atau Masukin gw ya!) tapi terdengar kurang enak bukan?hehehe 


Perihal men-tag foto ini juga kerap jadi sengketa (lebay ahhh) di lingkup sosial kita. Tidak terhitung peristiwa-peristiwa menggemparkan akibat perilaku "Tag- men-Tag" yang tidak bertanggung jawab. Semua orang bisa mengalami keduanya, sebagai pelaku atau sebagai korban. Pernah ada satu teman saya, yang memang dianggap sebagai seksi dokumentasi angkatan di jurusan saya, mengupload plus men-Tag foto-foto kami seangkatan di era Ospek. Semua orang tahu, era ospek di zaman perkuliahan (kebetulan jurusan saya feodal akut, ospeknya satu semester) bukanlah masa kejayaan atau era yang bisa dibanggakan. Kita semua adalah itik buruk rupa yang belum berevolusi menjadi angsa. Versi halusnya, kepompong yang belum secantik kupu-kupu. 


Namanya juga kelakuan junior pas ospek, sudah pasti nggak ada yang bener. Tampilan fisik maupun perilaku kita pada saat itu memang sungguh mengenaskan dan tercermin jelas di puluhan foto yang di-tag oleh pelaku. Jelas saja semua Aib dalam foto tersebut telah menjebloskan kita (korban) dalam kategori kasus pencemaran nama baik atau bahkan pembunuhan karakter (Jiahhh....emangnya RS OMNI!!). Mengingat live update-nya sangat bisa diakses dan dilihat siapapun yang menjadi teman kita, habislah citra baik nan imut yang sudah dibangun. Tidak terkecuali saya ya...! foto saya dengan pose amburadul dan candid (karena sedang tidur) mengundang cercaan dan pujian (nggak mungkin banget dipuji!hehehe). Saat mengetahui itu saya hanya bisa " Sigh...." menghela nafas panjang. Nah, mullianya saya, sama sekali belum pernah melakukan perbuatan tercela itu. Mungkin karena saya suka males upload plus nge-tagin semua anggotanya. 


Saya kira, foto itu sudah hangus... atau minimal tersimpan di kotak pandora lah. Tidak akan ada yang berani membukanya. Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Foto-foto aib itu sudah terlanjur diunggah dan di-tag, syukur-syukur hanya segelintir yang melihat. Tapi kalau lagi apes, yah.... habislah anda. hahaha Akhirnya kritik awal saya tentang FB sukses menyerang saya sendiri. Ini memang risiko yang harus ditanggung dalam penggunaan teknologi situs jejaring sosial 2.0. Mungkin ada pintu bernama privasi yang menjaga saya dari dunia luar (publik). Sayangnya materi pintunya ternyata kaca (transparan pula. bukan kaca film yang mahal!), jadi tidak menghalangi pandangan dunia luar (publik). Jadi inget kata si engkong Marshall Mcluhan dengan generasi pos-literasinya (postliterate). Bagi generasi ini, privasi adalah kemewahan atau kutukan masa lalu. "The planet is like a general store where nosy people keep track of everyone else's business.Jangan heran kalau FB memang surganya orang-orang GU (gila urusan) yang bisa mengoprek info anda sesuai kebutuhan. 


Selain mengeluh tentang "The power of Tag" saya tidak lupa ingin memuji inovasi ini. Selalu ada hikmah di balik setiap musibah (prett!) begitu juga "Tag Photo" ini. Hikmah ini saya peroleh dari seorang teman yang men-tag foto-foto semasa kelas 3 SMP yang terlihat jadul dan uncool di era sekarang ini. Semua orang punya pengalaman dalam masing-masing fotonya dan manfaat foto tentu untuk dikenang. Reaksi kita saat foto-foto jadul itu di-tag tidak jauh dari " Hah? Gue tuh? Cupu berat!" atau "Sumpah, itu kayanya bukan gue deh!" atau versi positifnya "ya ampun... imut banget ya gue waktu itu!". Foto yang nampaknya dipindai (scan) itu sungguh menggugah memori masa lalu, jadi inget waktu ini, inget waktu itu. Tapi kehebatan "The power of Tag"  tidak berhenti sampai situ, dengan sistem Tag tersebut lah reuni bisa diselenggarakan atau silaturahmi terputus mulai terjalin lagi. Semenit setelah foto SMP saya itu di-tag langsung muncul ide reunian, teman-teman yang namanya belum di-tag bisa ditambahkan atau saling mencari yang belum di-tag. Dalam waktu 1 hari sudah terkumpul 20-an orang yang insya Allah menjalin silaturahminya lagi.



Harus diakui, Facebook membawa foto atau gambar ke tingkat selanjutnya. Mungkin kalau mau nyari anggota keluarga yang hilang bisa upload fotonya dan men-tag orang sebanyaknya, bisa membantu. Foto yang tadinya hanya sekedar mengabadikan momen penting dan nggak penting untuk dikenang kemudian hari, menjadi sebuah sarana untuk memperkuat jejaring. Lost and Found mungkin singkatnya. Bisa jadi ada pasangan yang 'jadi' gara-gara aktifitas Tag foto ini, siapa tahu? Foto tidak pernah seinteraktif ini, dengan satu foto yang bisa mengundang puluhan atau ratusan comment bersahut-sahutan. Saya sampai detik ini masih terkagum-kagum karena ternyata gambar-gambar itu tidak stuck di satu penikmat melainkan siapa saja bisa men-tag dan mengundang bermacam interpretasi plus komentar. Kalau dalam kategorinya Mcluhan, Foto sekarang menjadi medium yang cool karena respon-respon manusia yang di-tag. Sekarang secara harafiah saya percaya bahwa gambar berbicara lebih. Lebih rame, lebih seru, lebih 'greget', lebih ancur, ... (tambahkan sendiri sisanya)


 


























Senin, 25 Mei 2009

STOP SHOP AT SWEATSHOP






Ayo kita bikin daftar barang impian yang selama ini ingin kita beli:


Apakah itu sweater garis-garis dan kaos polos merk GAP yang dipakai Pete Wentz di iklannya?


Apakah fashion item pilihanmu itu berupa ankle boots kulit keluaran butik high street asal Spanyol bernama Zara?


Iklan Kate Moss for Topshop membuatmu ingin memiliki one-shoulder dress seperti yang dikenakan oleh supermodel keren itu?


Mungkin kamu sudah lama mengidamkan desain klasik dari celana Levi’s seri 501?


Atau ternyata sepatu Nike Dunk warna-warni limited edition yang harganya bisa membuat kamu stop jajan di kantin sebulan?


Sekilas tidak ada yang salah dengan barang-barang impian tersebut, tapi sepertinya kamu perlu lebih cermat dalam membeli sebuah produk. Bukan saja karena harganya yang mahal tapi kisah dibalik sweater garis-garis GAP atau sepatu Nike itulah yang perlu kita ketahui. Produk-produk keluaran merk global ternama itu sebenarnya memiliki harga lebih dari sekedar angka yang mereka cantumkan di labelnya. Ada banyak produk yang kita konsumsi sehari-hari atau fashion item yang membuat kita terlihat trendi setiap saat, berasal dari Sweatshop. Hmmm… toko apakah itu Sweatshop? 


Sweatshop adalah sebutan untuk pabrik atau tempat produksi (workhsop) yang memperkerjakan karyawan atau buruhnya dengan upah rendah, jam kerja yang panjang, tanpa jaminan dan dalam kondisi yang tidak layak. Istilah Sweatshop berangkat dari era awal revolusi industri (1830) untuk menyebut “Sweater” tipe orang yang menjadi perantara bagi pemilik modal dan pekerja yang memeras tenaga atau keringat (sweat) para pekerjanya dengan kondisi pabrik dan kontrak seperti di atas. 


Seiring dengan berkembangnya dunia industri dan perdagangan yang semakin mendunia, istilah itu tidak hanya berlaku di Inggris, namun identik dengan pekerja di negara berkembang, seperti negeri kita tercinta ini. Di era yang sering disebut sebagai era ‘globalisasi’ ini, proses pembuatan suatu produk tidak harus terletak di tempat merk itu berasal. 


Contohnya sepatu Nike tersebut. Seperti yang kita ketahui, merk Nike berasal dari Amerika Serikat, tetapi jika kita cermati di tag (label) produknya, sering kita jumpai tulisan ‘made in china’, ‘made in vietnam’, bahkan ‘made in Indonesia’. Ketika sudah memasuki era post-industrial, si merk Nike yang tadinya diproduksi di negara asal, mulai memindahkan pabriknya ke negara dunia ketiga. Kira-kira kenapa mereka memilih pabrik yang lebih jauh ya? Jawabannya singkat, hal ini dilakukan untuk mengurangi ongkos produksi. 


Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, standar upah tenaga kerjanya sudah cukup tinggi dan spesialisasinya sudah bergeser menjadi pemasar (marketing) merk, bukan lagi produsen produk. Sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia, standar upahnya masih rendah. Selain itu, peraturan tentang ketenagakerjaannya juga masih longgar, tidak seketat di negara-negara maju. Sehingga akan lebih menguntungkan bagi produsen untuk memindahkan proses produksi di negara dunia ketiga tersebut.


Nah, merk-merk yang disebutkan di atas termasuk beberapa produsen yang memiliki Sweatshop di berbagai negara, seperti Cina, Vietnam, Chile, Indonesia, dan lain-lain. Di pabrik yang menjadi mitra mereka, buruhnya tidak mendapatkan upah yang layak, jaminan kerja, dan jam kerja yang panjang. Semua ini dilakukan demi mengurangi ongkos produksi, sayangnya murahnya ongkos produksi nggak berimbas ke harga produknya. 


Bayangkan, untuk sepasang sepatu Nike yang bukan limited edition saja kita harus membayar minimal Rp 200.000-an bahkan lebih dari Rp 600.000-an. Coba kita bandingkan dengan pendapatan buruhnya yang sebulannya hanya bisa mengantongi Rp 900.000-an yang berarti mereka hanya mendapatkan RP 30.000,-/harinya. Bahkan dari buruh-buruh tersebut ada yang sudah bekerja selama 10 tahun dan pastinya tidak mampu beli sepatu Nike Dunk nan trendi itu.


Kita tentu tidak ingin terlihat fashionable atau gaya di atas penderitaan orang lain kan? Sebagai konsumen, kita sebenarnya punya peran untuk merubah keadaan tersebut. Salah satu caranya adalah menjadai konsumen yang etis (ethical consumer). Jadi kita tidak hanya dibutakan oleh merk ataupun modelnya, tetapi juga memperhatikan asal muasal produk tersebut. Apakah mereka telah memberlakukan perdagangan yang adil lewat penjualan produknya. Sehingga pada akhirnya dengan protes dan boikot, produsen mulai memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. So for now, be ethically fashion darlings!



*Artikel ini akan muncul di rubrik Change_Fashion di Majalah Change (free magazine) klik di sini untuk keterangan lebih lanjut.

 
design by suckmylolly.com