Tampilkan postingan dengan label the edukators. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label the edukators. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Desember 2012

 "Kita tak boleh merasa terlalu pesimis, pun tak boleh merasa terlalu optimis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme. "
Tan Malaka 
 Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia'1925)

Sabtu, 03 November 2012

Gradasi Keyakinan





Edisi khusus majalah TEMPO tentang pembantaian '65



Ketika kita dilahirkan ke muka bumi ini, semesta tidak pernah berbisik pada kita 'apa itu kehidupan', 'apa itu manusia', atau bahkan 'apa artinya dilahirkan. Kecil kemungkinan kita mengingat apa yang kita hadapi semasa bayi, apalagi apa yang dikatakan oleh ayah atau ibu saat si bayi menangis. Sekalipun otak kita sudah mampu menyimpan memori, kita tidak akan paham dengan baik pembentukan memori pada masa itu. Meski setiap manusia (dan organisme) mempunya unsur 'bawaan' dari kode genetik yang terdapat dalam protein DNA, pengalaman organisme menjadi faktor paling penting untuk menentukan fenotip atau hasil akhirnya. Dengan kata lain, tempat atau konteks di mana kita tumbuh dan berkembanglah yang perlahan tapi pasti memberikan jawaban akan pertanyaan metafisik seperti di atas. Biasanya kita bahkan tidak sampai menemukan jawaban yang final dan memuaskan. 





Rangkaian kode DNA manusia


Waktu kecil kedua orang tua saya memberi tahu banyak hal, terutama soal cara berinteraksi dengan sesama manusia. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu saya mengajarkan cara berterima kasih, bersalaman, atau bilang permisi. Selain menelan mentah-mentah doktrin agama lewat ritual yang dicontohkan oleh orang tua, saya juga mengetahui dari mereka, mana hal yang baik dan mana yang buruk. Baik ayah atau guru di sekolah mengajarkan pada saya bahwa manusia adalah spesies Homo Sapiens, makhluk yang dipercaya berbeda dengan organisme lainnya seperti bintang atau tumbuhan. "Apa yang membedakannya?", tanya saya waktu itu. Dan ayah saya menjawab "Manusia punya akal budi, dia punya hati nurani". Guru di sekolah pun menjawab "Manusia dikaruniai cipta, rasa, dan karsa (dikenal dengan Trias Dinamika) oleh Tuhan YME". Puaskah saya dengan jawaban tersebut pada saat itu?

Jangankan menunggu dewasa, pada waktu itu saya tidak puas dengan jawaban guru atau ayah. Terutama kepada ayah, saya terus bertanya hingga Ia lelah menjawab dan besoknya saya dibawa jalan-jalan ke ragunan. Dengan kunjungan ini, ayah saya mau menunjukkan perilaku binatang dan hakikat tanaman, agar saya bisa membandingkan dengan makhluk yang disebut "Manusia".



Klasifikasi homo sapiens dalam ordo primata

Seiring dengan pertumbuhan, orang tua dan guru di sekolah menanamkan makin banyak nilai ke dalam diri saya. Bahwa saya tidak boleh berbohong, saya harus mengasihi dan menolong sesama manusia, mencuri adalah tindakan yang berdosa, menjadi orang baik merupakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat, dsb. Praktis ketika saya kecil, ajaran tersebut memaksa saya untuk memandang fenomena secara hitam-putih. Dikotomi dosa-neraka, baik-buruk, benci-cinta, menjadi kacamata "anak baru tahu" dalam memandang realita. 

Terhitung 24 tahun saya hidup di dunia ini, tiba-tiba saya ingin bilang ke ayah atau guru TK dan SD saya kalau mereka cukup banyak 'berbohong' tentang definisi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun keagamaan dan nilai kehidupan lainnya. Saya mau protes (bukan dalam artian yang buruk yah), karena waktu itu saya dibekali dengan kacamata hitam-putih untuk melihat realita yang 'abu-abu'. Seperti memakai kacama 2D untuk menonton film 3D, iya saya lihat gambarnya berlapis, tapi saya melihatnya dalam fragmen bukan dalam satu keutuhan (gambar yang timbul dan serasa hidup). Akibatnya saya harus terima kalau untuk beberapa saat pandangan saya sedikit kabur, tidak bisa melihat realita dengan jelas. Bahkan lebih parahnya lagi, dengan naifnya saya mencoba mencari kepastian di antara yang nisbi, memaksa melihat bentuk yang utuh padahal tidak jelas atau blur. 

Seiring bertambahnya umur, ikan yang membesar tentu tidak muat dalam kolam yang sama, dia berpindah-pindah kolam untuk mencari mana habitat yang cocok, mengevaluasi makanan apa yang tersedia dan tidak tersedia,  dan memastikan bisa bertahan hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar, pindah ke sekolah menengah, lanjut ke sekolah menengah atas, masuk ke perguruan tinggi, nyemplung ke kantor, setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Apalagi ketika si bayi akhirnya mengembangkan kemampuan membacanya kelak, dia akan melahap buku, majalah, atau sekarang aplikasi dan logaritma google. Kepala kita pun dijejali dengan berbagai pemahaman, ketidaktahuan, dan bahkan keraguan. Berbagai asam garam yang sudah ditelan akhirnya mempengaruhi 'rasa' bagaimana kita akhirnya memandang hidup itu sendiri. 

Jujur saja, apa yang saya yakini dari kecil pelan-pelan runtuh, dan bahkan tidak butuh pengalaman hidup belasan tahun untuk meruntuhkannya, cukup dengan menganalisis koran dalam satu hari. Bagaimana saya bisa percaya manusia itu makhluk dengan akal budi dan hati nurani jika saya membaca fakta bahwa ada jutaan manusia yang dituduh PKI dibantai di negara sendiri, dan bahkan saya curiga leluhur saya turut andil di dalamnya? Apa yang bisa tersisa dalam keyakinan saya kalau melihat betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam? Bisakah saya percaya bahwa mencuri adalah tindakan berdosa dan melanggar hukum, jika pada akhirnya hukum malah memenangkan para pencuri? Masih perlukah saya memegang teguh prinsip altruistik di tengah banyaknya orang yang egoistik? Hingga di penghujung perdebatan diri sendiri saya bertanya, naif kah saya jika terus meyakini nilai-nilai masa kecil tersebut.

Saya tentu tidak sendiri. Ada banyak orang yang kemudian sadar bahwa spektrum sebuah kebenaran, kebaikan, keburukan, atau kejahatan begitu luas. Bukannya sok non-positivis atau post modern, tapi toh kita mengalami dan melihat sendiri subyektifitas itu nyata adanya. Alih-alih menjadi seseorang yang terkesan relativis atau bahkan nihilis, saya mencoba membawa perdebatan 'remeh-temeh' tersebut ke dalam diskusi keseharian dengan beberapa teman. Biasanya dari obrolan ngalor ngidul, kita bisa menanamkan semangat dalam diri kita masing-masing. Semangat atas keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus terus dipertahankan. Kacamata moral biar saja dihibahkan ke orang lain, kacamata kemanusiaan terasa lebih nyaman dipakai. Untuk apa bingung surga dan neraka kalau ada kesempatan melakukan sesuatu untuk orang lain di depan mata? Why Bother?


Diambil dari Pigs in Maputo (klik untuk ukuran besarnya)

Sebenarnya, saya tidak perlu mengganti kacamata hitam putih secara keseluruhan, bisa saja saya memodifikasi lensanya agar saya bisa melihat gradasi warna di antaranya. Seperti palet warna di Photoshop, ada banyak kombinasi warna di antara CMYK 00000 (hitam) & CMYK FFFF (putih). Berbagai pengalaman dan cerita yang saya peroleh dari orang di sekitar saya, mau tidak mau kita harus melebarkan spektrumnya atau nanti kita yang capek sendiri dengan memaksakan kacamata hitam putihnya. 




Apa yang baik dan buruk?

Jika tidak pernah merasa perlu untuk mewarnai keyakinan Anda dengan gradasi, setidaknya Anda bisa melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan Anda. Kenyataan yang saya hadapi, saya bertemu banyak orang dalam hidup yang mengajarkan banyak hal, termasuk soal keyakinan saya selama ini.  Contohnya, sore ini saya bertemu beberapa orang yang harus diwawancara, dari mereka saya bisa melihat bagaimana kompleksnya identitas dalam mempengaruhi gradasi keyakinan tersebut. Ada seorang informan yang berasal dari pesantren Wahabi mengemukakan ide-idenya untuk menentang kekerasan berbasis agama, kebebasan berpikir, berpendapat, dan bahkan akhirnya giat dalam wadah hak asasi manusia -sesuatu yang tentu ditentang oleh keyakinan Wahabi. Ada juga seorang informan dari etnis minoritas yang sangat peduli dengan isu toleransi dan dialog antar beda suku atau agama. Padahal dia tahu betul etnisnya jadi korban dalam tragedi '98 di negeri ini. Hal tersebut tidak melunturkan keyakinannya akan bangsa Indonesia. Saya sangat salut dengan orang-orang yang bersedia melalui pergolakan internal untuk akhirnya menarik gradasi dalam hal-hal yang diyakini sebelumnya. Dengan mengetahui adanya orang-orang seperti ini, keyakinan saya kembali disulut semangat, kemanusiaan itu ada dan manusia memang berbeda dari organisme lainnya. Faith in humanity restored!

Bentrokan antara pengguna kacamata hitam putih dan kacamata gradasi memang tidak terelakkan. Ketika hal ini muncul, yang perlu dipahami adalah hakikat manusia sebagai salah satu jenis makhluk hidup. Karena dia punya akalbudi dan jika digunakan sebagaimana mestinya, pasti setidaknya memikirkan kemungkinan lain. Pernah ada seorang teman yang bilang ke saya "Ya kalau saya menjadi pribadi yang kritis, yang menentang apa yang dulu saya anggap benar, mencoba membuat perubahan, itu adalah konsekuensi karena saya dimasukkan ke sekolah, saya dibolehkan membaca. Kalau ingin saya terus penurut dan tidak mengkritisi hal tersebut, sebaiknya dari dulu saya dipasung saja sekalian". 

Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Baik keyakinan kita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tentunya terus bertransformasi. Bisa pilih untuk tetap yakin dengan kacamata hitam-putih; mencoba bermain di gradasi; atau mungkin ingin sejenak melepaskan kacamata untuk memejamkan mata dan tertidur :D 










Jumat, 19 Oktober 2012


"Membawa manfaat atau naas, massa dan kebudayaan massa itu terus menyertai hidup hidup kita sehari-hari. Kalau Anda ingin lari dari semua ini, dan Anda menuju ke tempat sepi, di sana akan Anda temui massa. Semua menjinjing radio transistor, semua mengunyah cokelat, semua membuang kantong plastik, semua membaca cerita seks, semua menikmati gambar puteri Ayu"

Dikutip dari tulisan Prof. Sudjoko's di Jurnal PRISMA "Budaya Populer" 

Minggu, 01 April 2012

Kelas Menengah, Berfungsilah...




Hei kelas menengah, mimpi apa semalam?


Mimpi membangun rumah lengkap dgn halamannya?

Melihat john Mayer di Java Jazz?

Liburan tengah/akhir tahun di Phuket dgn promo AirAsia?

Merayakan pernikahan dengan pesta kebun?

Naik jabatan atau promosi di lain divisi?

Melunasi cicilan Grand Livina seketika?

Mendapat bingkisan iPhone 4S lengkap dengan Siri-nya?

Mendapat bonus pulsa unlimited untuk update status?


Ayo Bangun!


Indonesia sudah lelah

Karena Semua berlomba-lomba dgn fahamnya

Indeks pembangunan telah kadaluarsa

Perekonomian kreatif berjalan entah ke mana

Pendidikan tidak lagi menyisakan lahan

Social Media bukan segalanya

Ketidakadilah butuh tindakan

Kekerasan butuh perlawanan

Karena diam bukanlah jawaban


Ya, karena diam bukanlah jawaban... Sekian


Sabtu, 31 Maret 2012

Ideologi: Apa Artinya untuk Masa Kini?




Sudah lama saya tidak mengobrol lama dengan Papa, mungkin terakhir kali saat membicarakan makna pendidikan S2 saat saya baru lulus kuliah. Suatu waktu, 3 tahun setelah saya lulus kuliah, saat sedang menonton saluran TV BBC yang sedang menayangkan dokumenter si tampan Simon Reeve, Tropic of Cancer, percakapan mendalam pun terjadi secara tiba-tiba. Jam setengah 2 pagi, tanpa basa-basi Papa bertanya ke saya: "Jadi, ideologi kamu apa?". Reaksi pertama bisa dipastikan saya terkejut, lalu bengong. Ya iyalah bengong, orang tua macam apa yang nanya pertanyaan kaya gitu jam 2 pagi? hahaha Kemudian saya menelan ludah dan bertanya apa maksud pertanyaan Papa. Dan beliau menjelaskan bahwa dia menanyakan apa ideologi yang saya jadikan pegangan tindakan, sikap, dan tujuan hidup saya. Saya pun tercekat. Terus terang campur aduk rasanya. Seperti ditampar tapi di satu sisi tamparannya lembut dan penuh perhatian. Pada waktu itu, kepala saya kosong mendadak. Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi kemudian saya bilang kalau saya berpegangan pada suatu ide di mana kesetaraan, keadilan manusia, dan ketiadaan dominasi kekuasaan menjadi tujuan dan cara pandang keseharian. Papa terdiam sejenak, dia berpikir, kemudian dia bertanya: "Apa Islam bisa masuk ke dalam ide yang kamu maksud?"


Sial, pertanyaan kedua ternyata jauh lebih susah. Lantas, saya menjawab: "Aku percaya Islam itu punya semua ide yang aku maksud, begitu juga sebaliknya, ide yang aku maksud emang ada di Islam". Sebelum disamber dengan pertanyaan ketiga, saya langsung bilang:"Tapi nggak semua orang yang percaya Islam, percaya dengan kesetaraan atau keadilan Pa. Mungkin mereka lebih percaya sama uang, atau mereka lebih percaya sama neraka dan pahal dibanding percaya sama Islam itu sendiri." Papa pun membalas pernyataan saya dengan ceramah selama lebih dari setengah jam tentang betapa pentingnya kita punya panduan atau pegangan untuk menjalani kehidupan ini. Bagi Papa, Islam adalah ideologi yang dia pilih dan tentunya diajarkan ke anak-anaknya. Saya selalu merasa beruntung, Papa mengajarkan Islam dengan mudah sekaligus mendalam dan saya pun dianjurkan mempertanyakan keyakinan saya terhadap sebuah cara pandang. Dari ceramah-ceramah konyol tapi serius a la Papa, saya menyerap banyak nilai yang kemudian saya terapkan dalam mengambil sikap, tindakan, dan menentukan tujuan hidup saat umur semakin bertambah. Papa juga pernah memperingatkan: "suatu hari keyakinan kamu pasti akan diuji. Apa yang selama ini kamu yakini bisa berubah atau malah berlaku selamanya" Saya pun bertanya: "Diuji kaya gimana pah? pake soal gitu?" Maklum, saya baru mau naik ke SMP jadi nggak ngeh gimana menguji ideologi. Dan papa menambahkan:"Nanti kamu bisa tahu dari pengalaman dan mengamati orang-orang di sekitar kamu."


Butuh proses dan waktu untuk akhirnya memahami ceramah-ceramah Papa di kemudian hari. Ideologi pada waktunya akan terasa seperti cinta sejati. Kita tidak bisa hanya percaya tapi juga ada bukti. Mengutip dari pernyataan Ibu Ninuk pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan: "Percaya itu satu hal, pembuktian itu hal lain". Sekali lagi, saya beruntung bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai jenis latar belakang, saya belajar dari mereka banyak hal. Dari remaja Indramayu, mbah penjual sekoteng dekat kosan saya di jogja, teman-teman, dan masih banyak lagi. Ada ungkapan klise di buku Sinar Dunia, Pengalaman adalah guru terbaik, dan sekali lagi, yang klise-klise selalu ada buktinya.


Ketika menyinggung ideologi, kebanyakan orang di lingkup saya biasanya terbagi ke dalam tiga kubu:


1. Percaya ideologi itu perlu ditunjukkan dan diejawantahkan dalam semua lini dari lini massa sampai lini baju;

2. Ideologi itu perlu diyakini dan diamalkan dalam keseharian tanpa perlu digembar-gemborkan;

3. Ideologi itu nggak usah dipikirin dan gak ada faedahnya, keberatan kalau diomongin.


Ketiga poin ini bisa jadi kategori sekaligus mungkin berlaku sebagai tahapan. Serupa dengan cinta sejati, Ideologi juga sarat dengan pencarian. Memang ada yang bertahan dengan ideologi yang diturunkan sedari lahir (seperti agama misalnya) tapi ada juga yang terus bertransformasi tanpa henti.


Belajar pengalaman, meyakini sebuah ideologi seringkali juga bersinggungan dengan jati diri. Ideologi bisa memberi jawaban dari pertanyaan "Siapa Sih Lo?" jawabannya bisa "Gue Islam", "Gue punker'", "Gue liberal", dst. Dan karena hal ini juga, pengalaman saya membuktikan kadang dalam meyakini ideologi, kita sering mencari panutan. Berbagai faktor bisa membentuk ideologi masing-masing orang, tapi jalannya seringkali tidak mulus. Sekali lagi, serupa dengan cinta sejati, ideologi juga banyak melahirkan sakit hati. Baik dalam catatan sejarah pergerakan, ataupun permainan politik, ada pihak yang 'banting setir' dengan didasari motif yang berbeda-beda. Ada motif yang personal, ada juga yang sifatnya kolektif, kita tidak pernah tahu pasti. Saya tidak akan menjabarkan contohnya, karena teman-teman pasti punya contoh di sekitarnya, di kelompok masing-masing. Dari pengalaman saya, hal paling bikin pusing dan ujian paling sulit adalah sinkronisasi keyakinan, sikap, tindakan, dan tujuan. Mempraktekkan kesetaraan tanpa pandang bulu pasti jauh lebih sulit dari sekedar meyakininya. Bahasa kerennya "Practice What You Preach", itupun kalau kamu "Preach", kalau nggak yah beruntung nggak perlu "Practice" banget. hehehe Saya banyak menyaksikan orang dengan tipe 1 (lihat di atas) tapi minus amalannya. Berteriak menuntut keadilan tapi menentukan upah tanpa dialog dan dasar yang kuat. Ada juga yang tipe 2, ini dia yang sering saya jadikan panutan. Ibu rumah tangga yang mengajarkan demokrasi dengan sederhana di keluarga terlihat lebih keren dibanding petinggi partai berembel-embel demokrasi (atau demokrat :p). Jangan sedih, yang tipe 3 lebih banyak lagi, daripada mikirin tujuan sama pandangan hidup mendingan ngeband aja, tapi kalau musisi favoritnya pake kaos 'working class hero' langsung google Amnesty International :D.

Masalahnya ideologi (sama kaya cinta sejati sekali lagi :p), terkesan seperti omong kosong dan utopia belaka. Saya pernah denger omongan: "Ya elah mau demokrasi kek, mau negara Islam kek, mau rezim 'Pancasila' kek, Yang penting gue makan dan bisa tidur nyenyak". Yang ideal-ideal sepertinya cuma ada di surga, mengutip Pramoedya, itu juga kalau ada surganya, tapi kalau tidak ada yang mempraktekan ideologi memang menguap entah ke mana. Saya pernah kenal dengan seseorang yang nggak pernah belajar feminisme, nggak tahu 30 Deklarasi Universal HAM, tapi dia sadar hak kesehatan reproduksi perempuan dan peka dengan masyarakat sekitar rumahnya. Mungkin sekilas seperti orang biasa, tapi kehidupan memang dibangun oleh orang-orang biasa, meskipun sejarah selalu berpihak pada yang dianggap 'luar biasa'. Ideologi biar bagaimanapun butuh bukti, bukan sekedar janji. Lebih jauh lagi kadang ideologi melibatkan musuh, bisa jadi untuk mengumpulkan pasukan demi mencapai tujuan.


Melihat geliat gerakan anak muda di Indonesia 5 tahun belakangan ini, muncul pertanyaan yang menurut saya penting, tapi sepertinya sering diabaikan karena takut terlalu 'berat' pembicaraannya. Apa sebenarnya ideologi gerakan anak muda kekinian? Karena menurut saya aksi pasti butuh tujuan, mungkin sebenarnya aktor-aktornya meyakini sesuatu tapi konsep yang diyakini ini belum dijelaskan dalam sebuah ide. Mungkin sudah ada kelompok-kelompok yang menjelaskannya dan dengan gencar melancarkan aksi-aksi mereka. Setiap generasi dalam pergerakannya punya kisahnya sendiri-sendiri.Menarik untuk menyarikan aksi-aksi kaum muda dalam sebuah ideoogi. Mungkin mereka punya tujuan yang sama tapi jalan yang berbeda, atau sebaliknya. Ibaratnya orang naik angkot, sebelum memilih jurusan angkot pasti harus tahu jurusannya. Gerakan anak muda punya imaji tentang perubahan seberapa jauh ideologi tersebut mempengaruhinya? Jawabannya bebas, silakan kasih masukan.

Asal ini semua bukan hanya soal janji atau eksistensi, tapi tentu harus ada bukti :).



#TentangPerubahan&Anak Muda(Seri 1)

Selasa, 09 Februari 2010

We no need no education


Pendidikan = Investasi ?


Semua orang pasti sering mendengar istilah ini. Premis di atas juga jadi bahan jualan calon Presiden, Gubernur, Kepala daerah, dan menjadi tuntutan sebagian besar masyarakat untuk mendesak 20% porsi anggaran di APBN. Entah kenapa tiba-tiba saya ingin membongkar anggapan ini. Mungkin karena pengalaman hidup, atau hanya observasi peneliti kelas kacangan belaka. Yang jelas, saya punya keyakinan bahwa pendidikan itu bukan pasar modal atau profit perusahaan yang tingkat keberhasilannya bisa diukur apalagi menjadi dividen yang dibagikan ke shareholders. 


Modal Pendidikan


Istilah "pendidikan itu investasi" kadang-kadang suka di salah artikan baik oleh pembuat kebijakan sekelas Mendiknas, sampai orang tua kita sendiri. Nggak percaya??? Lihat aja berapa banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah mahal dengan cap Sekolah bertaraf internasional, atau sekolah unggulan. Buat mereka sah-sah aja bayar mahal asal mutunya bagus, fasilitasnya kelas satu, dan bahasa pengantarnya bilingual. Persoalannya, pendidikan kan bukan barang elektronik, yang makin mahal, makin bermutu & canggih?! Anggapan yang ada di benak sebagian besar orang tua bisa diibaratkan seperti rumus di bawah ini:


Biaya Mahal = Sekolah unggulan = fasilitas lengkap = bilingual = Mutu pendidikan bagus = Anak nantinya siap menghadapi era globalisasi yang sanggup menghadapi persaingan (baca: lapangan kerja) = Anak menjadi orang sukses (baca: secara finansial)


Saya tidak berupaya untuk memukul rata anggapan ini, namun sepertinya pemahaman seperti itu sudah lumrah di masyarakat kita. Masalahnya kan Pendidikan tidak sesimpel itu, begitu pula dengan anak yang sukses dan berakhlak mulia. Pendidikan tidak selebar kertas ijazah, Ia seharusnya lebih dari itu. Pendidikan semestinya bisa membawa pengaruh besar yang positif ke dalam kehidupan masyarakat dan bahkan peradaban manusia. Makna pendidikan yang  seagung itu terpaksa direduksi jadi sekolah formal, ijazah, nilai rapor, dan NEM. Sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap dan rekam jejak 90% lulus SPMB belum tentu mengajarkan Life-skill education ke siswanya. Sekolah internasional berkurikulum Cambridge dengan dua bahasa pengantar juga bukan jaminan bisa menumbuhkan rasa nasionalisme di dalam diri muridnya. Banyak orang sukses awalnya Drop out dari sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah formal sama sekali, hal ini bisa dijadikan pertimbangan bahwa pendidikan di sekolah formal tidak berkorelasi dengan kesuksesan seseorang atau lebih jauh lagi, keberhasilan sebuah bangsa. 


Mungkin ini memang salah kita yang mau ambil gampangnya aja tanpa sadar tidak ada yang bisa menjamin masa depan si anak kecuali anak itu sendiri. Bukannya membekali si anak dengan ilmu serta hal yang berguna dan aplikatif dalam kehidupannya justru mengarahkan mereka sesuai dengan ambisi statistik nilai dan kelulusan. Semoga saja, para murid sadar, mereka hanya robot yang dirakit oleh pabrik bernama sekolah formal nan mahal.


Jangan heran kalau anggapan ini justru membuat pendidikan menjadi alat untuk mempertahankan kelas yang ada. Kalau pendidikan bermutu baik hanya bisa diperoleh dengan modal besar, apa kabar mereka yang mau makan sehari 3x aja susah? Mereka bisa jadi hanya bertahan dengan sekolah bermutu biasa, yang jika dianalogikan dengan rumus di atas, akan menciptakan anak yang biasa bukan si sukses yang duduk sebagai CEO. 


Untung atau Rugi?


Dengan rumus di atas, orang tua jadi sering menuntut anaknya untuk menjadi orang yang sukses secara ekonomi, dan kemapanan finansial ini seringkali diasosiasikan bisa survive di rimba pencari kerja  baik di perusahaan swasta, BUMN atau birokrasi pemerintah. Seolah seperti investor yang sedang menanamkan modal, mereka takut banget rugi, apalagi yang udah mengeluarkan biaya besar. Sekedar curhat colongan, saya yang sejak SD duduk di sekolah negeri mungkin tidak mengeluarkan biaya sebesar sekolah swasta mentereng. Dengan modal yang bisa dibilang pas-pasan aja, orang tua saya sering mempertanyakan profesi yang saya pilih, karena di mata mereka nggak masuk dalam kategori "mapan" atau "sukses" seperti rumus di atas. Mereka beranggapan bahwa seharusnya saya bisa mendatangkan "profit" yang lebih besar dari itu. Orang tua saya ternyata nggak sendirian, beberapa orang tua orang yang saya kenal juga bermasalah dengan "alat investasinya". 


Bagaimana dengan pemerintah? Berangkat dari kenyataan, dana yang sudah dikeluarkan untuk pendidikan tentu banyak banget. Mengingat, pendidikan menjadi pos anggaran yang cukup 'seksi' bagi pemerintah, triliyunan rupiah dikucurkan untuk mencetak siswa berakhlak mulia (Anyway, berakhlak mulia ini tujuan pendidikan kita). Sebagai penanam modal besar, mereka ingin jumlah pasti yang sanggup menjadi ukuran profit mereka. Lantas dibuatlah ujian nasional yang cacat hukum dan cacat otak untuk menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dan siswa itu sendiri. Hmmm.... Berhasilkah mereka? Kalau berhasil, kenapa banyak koruptor di birokrasi pemerintahan, kenapa banyak kepala daerah yang "menjual" daerahnya untuk kepentingan sendiri, kenapa banyak orang yang tega "menghisap darah" bangsanya sendiri (edward cullen kali ngisep darah! :p), kenapa banyak orang yang lebih milih berbakti di korporasi multinasional dibanding membangun produk lokal, kenapa anggota DPR bisa adu mulut kaya sopir angkot??? Itukah "Insan berakhlak mulia" yang mau mereka cetak? 


Saya juga sempet mikir, kalau saya aja yang modal kuliahnya sekitar 20 juta rupiah (10 juta uang masuk + 1,3 jt x 7 semester) terus milih untuk kerja di LSM aja diprotes sama orang tua. Gimana kalau yang biaya kuliahnya kaya sekarang, sekitar 50 juta??? Mungkin akan lebih dituntut untuk mencapai target profitnya. Trus kalau semua orang memikirkan cara mengejar profit untuk mengembalikan modal investasi, siapa dong yang mikirin nasib bangsa ini??? 



Pendidikan bukan pasar


Pendidikan bukan menjadi kewajiban saya sebagai warga negara, tapi ini Hak yang seharusnya saya dapatkan. Banyak harapan yang disandarkan pada pendidikan. Ada jutaan rakyat miskin yang ingin memperbaiki nasibnya dengan akses pendidikan. Untuk mencetak akhlak mulia, tidak harus mengucurkan dana sekitar 500 miliar rupiah demi mengukur kualitas pendidikan, mungkin uangnya bisa dipakai untuk memperbaiki standar kurikulum, guru, sarana, dll. Daripada harus nyiksa jutaan siswa dengan bulat-bulat lembar jawaban komputer. Akhlak mulia tidak datang dari rumus pasar investasi. Manusia yang berkualitas bukan berasal dari sekolah mahal. Pendidikan tidak mempertemukan permintaan dan penawaran layaknya pasar, pendidikan mempertemukan manusia yang satu dan yang lain untuk saling mempelajari fenomena habitatnya. Uang bukan alat tukarnya, ilmu lah yang menjadi alat transaksi. Pendidikaan yang bermutu tentu menghasilkan insan yang berbakti pada nusa dan bangsanya. Terdengar klise, tapi ini bukan mimpi yang tidak mungkin.



*Untuk yang sedang bersitegang dengan orang tua karena pilihan profesi



 
design by suckmylolly.com