Tampilkan postingan dengan label Democracy Coma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Democracy Coma. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Desember 2013

Ketika Korban Memecah Kebisuan, Mereka Mempertanyakan






Perhaps the most basic challenge that feminists have posed to traditional views of rape lies in the recognition of rape as a crime against the victim herself.
(Rebecca Whisnant)


Sejak beberapa hari yang lalu, linimasa saya diramaikan dengan perdebatan soal kasus Sitok Srengenge (SS) yang dilaporkan ke polisi atas tindakan perkosaan yang dia lakukan kepada mahasiswi UI. Mengingat kasus tersebut sudah menjadi bahan obrolan di lingkup pekerjaan saya sejak sebulan yang lalu, saya sendiri salut dengan korban yang akhirnya berani melaporkan kasus tersebut. Ramainya komentar di jejaring sosial (terutama twitter) yang dilontarkan berbagai kalangan sesungguhnya sudah mulai melebar ke pembahasan yang lebih besar dari sekedar aktor pelaku dan korban, karena menyeret Salihara juga sebagai institusi tempat Sitok Srengenge. Peristiwa ini seolah menjadi pembenaran bagi kalangan yang sejak awal bertentangan dengan Salihara untuk semakin menyerang institusi tersebut, bahkan dengan tagar "tutup salihara". Adu lempar komentar di sosial media memang tidak bisa terelakan, simpati tidak hanya dilontarkan pada korban tapi ternyata juga pada pelaku itu sendiri. Sayangnya, kericuhan tersebut cenderung mengaburkan pokok permasalahan utama, bahwa ada seorang mahasiswi yang melaporkan SS atas tindakan perkosaan.

Kata "perkosaan" sendiri kemudian menjadi pisau bermata dua yang bisa digunakan oleh si korban untuk mempidanakan pelaku atau oleh khalayak lain yang menganggap perkosaan hanya sebagai alasan. Apalagi komentar di portal berita yang merendahkan korban, seperti: "kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor, kemarin ke mana aja?" atau "Palingan ini suka sama suka, kan sudah dilakukan berkali-kali?!".

Terus terang, komentar semacam itu membuat saya sedih, melihat bahwa upaya membangun peradaban manusia (setidaknya manusia di Indonesia) untuk membela hak-hak perempuan serta kelompok yang termarjinalkan seolah mundur ke belakang. Bisa jadi, karena cara kita memandang apa itu perkosaan dan kekerasan berbasis gender memang masih blur atau abu-abu. Seperti komentar seorang teman di statusnya "Kita tidak bisa melihat kasus ini dengan hitam-putih". Namun sebelum kita menentukan ini hitam atau putih, kita perlu menyadari bahwa dalam sistem tempat kita berada, ada ketidaksetaraan. Dan mungkin, kacamata kita yang belum diperbaharui, karena bukan soal hitam putih, ini adalah soal korban dan kekerasan.

 Apa itu Perkosaan?


Definisi Perkosaan memang tidak sederhana, satu waktu tindakan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah kita kenal, di lain waktu, perkosaan juga bisa dilakukan oleh orang yang kita kenal bahkan kelompok terdekat kita (teman, keluarga, pacar, kenalan, dll). Menurut K.H Husein Muhammad, dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh kehidupan korban.

Kita harus melihat perkosaan bukan hanya sebagai tindakan kriminal semata, melainkan satu bentuk dari kekerasan seksual sebagai upaya merenggut kedaulatan tubuh dan kebebasan korban (perempuan). Dalam sejarah masyarakat yang patriarki*, perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang nilainya salah satunya, ditentukan oleh kesucian seksual (sexual purity) perempuan tersebut. Berangkat dari hal ini, perkosaan lantas dianggap sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran norma melawan martabat si 'pemilik' properti (misalnya ayah atau suami korban). Namun berkat perkembangan dalam perjuangan hak-hak perempuan, prinsip kepemilikan atas tubuh perempuan tidak lagi mendasari terjadinya perkosaan, karena pihak yang tadinya dianggap "memiliki" perempuan seperti suami misalnya, bisa menjadi pelaku perkosaan itu sendiri.

Perkosaan diambil dari bahasa latin, repere, yang berarti mencuri, memaksa, ataupun merampas (Wikipedia). Secara lebih luas perkosaan didefinisikan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center sebagai segala bentuk pemaksaan hubungan seksual, tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin, dan perkosaan ini juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Perkosaan berarti merampas kedaulatan tubuh perempuan (atau korban), terutama kontrol oleh laki-laki (pelaku) terhadap bagian reproduksi dan seksual pada tubuh perempuan. Perkosaan kemudian merupakan bagian dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual oleh laki-laki, mengingat relasi dan bagaimana perkosaan dilakukan untuk melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Definisi 'Perkosaan' tidak hanya sebatas pemaksaan secara fisik atau kekerasan yang dilakukan secara eksplisit. Karena kekuasaan laki-laki berupaya menekan kedaulatan tubuh dan seksualitas perempuan secara sistematis, 'perkosaan' berarti mengabaikan persetujuan (consent) perempuan. Peran perkosaan sendiri sangat luas, bahkan dilihat dari ideologi yang melatarbelakangi perkosaan, tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya menciptakan dan mereproduksi penindasan tetapi juga sistem dominasi yang berlapis, tidak hanya pada perempuan tetapi juga rasisme dan kolonialisme (dalam kasus perang misalnya).

Apa itu Persetujuan (consent)?


Pernyataan seperti “Itu bukan perkosaan tapi tindakan yang disadari suka sama suka…" merupakan pernyataan yang tidak sensitif pada korban dan melanggengkan pembenaran pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang pada umumnya (walau tidak selalu) melibatkan penetrasi seksual yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Tindakan ini bisa dilakukan melalui paksaan secara fisik, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, atau terhadap pada orang lain yang tidak berdaya memberikan persetujuan, misalnya dalam keadaan tidak sadar, tidak berdaya, atau di bawah umur. 

Salah satu pemahaman tentang Perkosaan, baik secara sosial maupun legal kerap didasari setidaknya oleh adanya persetujuan.  Menyetujui sesuatu berarti memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan asusmsi bahwa setiap manusia berdaulat atas tubuhnya yang merupakan milikinya dan wilayah personalnya. Dengan dasar hal ini, tindakan seksual dikatakan perkosaan jika tidak ada persetujuan. Pertanyaan kemudian muncul, apa saja yang dipahami sebagai persetujuan? Ada banyak kasus di mana ketidaksadaran korban dianggap sebagai persetujuan. Bahkan tuduhan yang dilontarkan pada perempuan yang berpakaian minim sering dianggap "mengundang" atau "minta untuk diperkosa". Seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo menanggapi kasus perkosaan di angkutan umum.

Persetujuan yang diungkapkan, seperti berkata "iya" atau sekedar mengangguk, tidaklah cukup. Karena dalam banyak kasus, kita harus memahami bahwa "tidak" berarti "tidak" dan "iya" bisa berarti "tidak". Misalnya, jika pelaku mengancam atau menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban agar berkata "iya". Konteks, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan secara verbal (Archard, 1998). Relasi seperti apa yang tercipta dalam kedua belah pihak? Apakah keduanya berada pada kedudukan yang setara? Ungkapan ‘suka sama suka’ tidak selalu menggambarkan persetujuan, karena adanya relasi kekuasaan yang timpang. Posisi pelaku dan bagaimana situasi korban menjadi faktor untuk melakukan tindakan perkosaan. Oleh karena itu, salah satu dimensi yang menyebabkan terjadi perkosaan adalah relasi kekuasaan yang timpang sehingga pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Singkatnya, persetujuan, biar bagaimanapun, tidak pernah sesederhana ‘suka sama suka’. Ada berbagai dimensi yang melatarbelakangi sebuah situasi yang mendukung atau tidak mendukung sebuah persetujuan.

Gagasan tentang ketimpangan posisi (terutama secara hierarkis) bukan untuk melarang kontak seksual antara posisi hierarkis yang tidak setara, tapi menginterpretasikan seks dalam konteks hukum sebagai bentuk paksaan yang didorong oleh hierarki di antara kedua belah pihak. Biasanya untuk menentang komentar bahwa hubungan seksual yang terjadi adalah bagian dari ketidaksetaraan, pelaku dan pembelanya akan membuktikan bahwa hubungan tersebut didasari suka sama suka (atau secara afirmatif), tanpa memandang ketidaksetaraan antara kedua belah pihak (Mac Kinnon, 2005).


Betapa Beratnya Melaporkan Perkosaan (dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender lainnya)


Pada umumnya penanganan kasus kekerasan berbasis gender** terutama kekerasan seksual, tidak hanya berhubungan dengan legal tetapi juga tekanan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat kita. Konteks sosial ini bahkan mempengaruhi pandangan pihak-pihak yang berkomentar di dunia maya pada kasus SS. Kebanyakan bukan fokus pada simpati korban, tetapi justru fokus ke pelaku dan kelompok pelaku.
Menurut Komnas Perempuan, di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara saling bekerja sama untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Pada prinsipnya, keadilan merupakan tujuan utama pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu, mekanisme hukum negara dan sistem keadilan non-negara bisa jadi sama pentingnya asalkan mampu memberikan keadilan bagi perempuan korban.
Komnas Perempuan juga menyimpulkan bahwa keterbatasan payung hukum yang mengatur  kekerasan seksual adalah salah satu penyebab buntunya kasus-kasus itu. KUHP yang menjadi satu-satunya panduan hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan pada kenyataanya sulit mengakomodir kepentingan perempuan korban. Dalam kasus perkosaan, KUHP mensyaratkan adanya dua saksi, padahal perkosaan pada umumnya dilakukan di tempat tertutup atau sunyi. KUHP juga mensyaratkan adanya bercak sperma. Berdasarkan pengalaman korban, seringkali mereka segera membersihkan dirinya karena merasa risih akibat perkosaan itu. Kalaupun korban melapor, menunggu hingga dirinya merasa sanggup dan aman. Biasanya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun korban baru mampu melapor.  
Penjelasan di atas menjawab pertanyaan semacam “Kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru melapor?”. Bahwa menjadi korban merupakan posisi yang sulit dan berpotensi mengalami penderitaan yang berlapis. Selain cemooh dari pihak luar lewat pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif, hukum sendiri belum secara spesifik isu berpihak pada korban. Sebagai gambaran mengenai fakta korban pada kasus kekerasan, berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga (UU PKDRT). Jadi ketika korban memberanikan dirinya untuk melapor ke polisi, kita sudah sepantasnya mendukung korban atas keberaniannya dalam upaya menindak pidana pelaku.

Mengapa Berpihak Pada Korban?


Seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab tidak tersentuhnya akar pokok kekerasan pada perempuan adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak perempuan sebagai korban. Belum lagi ditambah dengan tekanan sosial yang dialami oleh korban. Terlebih jika pelaku merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau keunggulan lainnya (privilege) sehingga memiliki relasi yang bisa mendominasi wacana kasus. Dalam keadaan seperti ini, korban menjadi pihak yang tidak memiliki ketidakberdayaan untuk menandingi wacana yang dominan. Korban adalah muted group (kelompok yang diabaikan/diredam) yang terpinggirkan dalam mendikte komunikasi wacana kasus. Bahkan sebelum korban (bisa lewat perwakilannya) memberikan penjelasan, sentimen dan komentar yang tidak sensitif dan tidak berpihak pada korban telah menyudutkannya. Terlebih media sendiri tidak bisa memberikan penjelasan yang gamblang untuk terminologi “perkosaan” sehingga harus menggunakan istilah “tindakan asusila” atau “Perbuatan tidak menyenangkan”.
Ketika ruang untuk membangun wacana minim, proses hukum juga tidak mudah bagi korban, memberi dukungan pada korban adalah salah satu cara untuk menjamin bahwa keadilan harus ditegakkan. Dalam banyak kasus, pembuktian dan proses penanganan kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya kerap kali membuat perempuan (korban) mundur dari proses pemeriksaan kasus karena penanganan kasus yang tidak saja makan waktu, namun juga proses yang memalukan bagi korban. Studi kasus yang dilakukan tim Justice for the Poor menunjukkan bahwa hampir semua korban perkosaan dan kekerasan seksual dipersalahkan baik oleh komunitas maupun oleh Kepolisian (Justice for the Poor,  2008).
Kepekaan kita dalam melihat dimensi ketidaksetaraan ini sangat diperlukan untuk akhirnya berpihak pada korban. Pada konteks masyarakat dengan sistem patriarki, yang mengabaikan hak-hak perempuan, korban justru sering disalahkan alih-alih menghukum pelaku. Ungkapan seperti: “Salah perempuan pakai baju seksi!” atau “Perempuan nakal pantas diperlakukan seperti itu” hanya akan memperkuat lingkar kekerasan yang ada. Masyarakat cenderung mengajarkan perempuan untuk berperilaku nilai yang berlaku dan membela diri, tapi tidak mengajarkan laki-laki untuk melihat perempuan sebagai pihak yang setara dan bukan objek kekerasan.
Karena dengan memahami kekerasan berbasis gender dan bersimpati pada korban, kita bisa menjadi bagian dalam membongkar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan sesama manusia lainnya. Dengan memahami bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apapun, kita dapat memberikan dukungan bagi korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan tersebut. Karena hanya dengan memberi dukungan pada korban, kita bisa memecah kebisuan dalam lingkar kekerasan. Rape is Rape, No More Excuses!--


*Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, norma serta nilai yang dianut sistem ini diasosiasikan dengan maskulinitas dan kejantanan (dalam hal dominasi dan kontrol), dan laki-laki menjadi fokus utama yang diperhatikan di dalam kebudayaan masyarakatnya.

**Kekerasan berbasis gender dan Kekerasan terhadap perempuan digunakan untuk menggambarkan serangkaian penganiayaan yang dilakukan kepada perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap laki-laki.  Kekerasan terhadap perempuan termasuk pada saat perang digunakan sebagai alat untuk menyebarkan rasa takut, menteror dan mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pada tahun 1993, Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau berkemungkinan menghasilkan cedera fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan publik atau pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada: kekerasan domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan yang berbahaya terhadap perempuan.

ReferensiMac Kinnon, C. Women's Lives, Men's Laws. Cambridge MA: Harvard University Press. 2005. p 247-248Archard, David. Sexual Consent. Colorado: Westview Press. 1998. P 130-145http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lainhttp://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html

Minggu, 01 April 2012

Kelas Menengah, Berfungsilah...




Hei kelas menengah, mimpi apa semalam?


Mimpi membangun rumah lengkap dgn halamannya?

Melihat john Mayer di Java Jazz?

Liburan tengah/akhir tahun di Phuket dgn promo AirAsia?

Merayakan pernikahan dengan pesta kebun?

Naik jabatan atau promosi di lain divisi?

Melunasi cicilan Grand Livina seketika?

Mendapat bingkisan iPhone 4S lengkap dengan Siri-nya?

Mendapat bonus pulsa unlimited untuk update status?


Ayo Bangun!


Indonesia sudah lelah

Karena Semua berlomba-lomba dgn fahamnya

Indeks pembangunan telah kadaluarsa

Perekonomian kreatif berjalan entah ke mana

Pendidikan tidak lagi menyisakan lahan

Social Media bukan segalanya

Ketidakadilah butuh tindakan

Kekerasan butuh perlawanan

Karena diam bukanlah jawaban


Ya, karena diam bukanlah jawaban... Sekian


Sabtu, 31 Maret 2012

Ideologi: Apa Artinya untuk Masa Kini?




Sudah lama saya tidak mengobrol lama dengan Papa, mungkin terakhir kali saat membicarakan makna pendidikan S2 saat saya baru lulus kuliah. Suatu waktu, 3 tahun setelah saya lulus kuliah, saat sedang menonton saluran TV BBC yang sedang menayangkan dokumenter si tampan Simon Reeve, Tropic of Cancer, percakapan mendalam pun terjadi secara tiba-tiba. Jam setengah 2 pagi, tanpa basa-basi Papa bertanya ke saya: "Jadi, ideologi kamu apa?". Reaksi pertama bisa dipastikan saya terkejut, lalu bengong. Ya iyalah bengong, orang tua macam apa yang nanya pertanyaan kaya gitu jam 2 pagi? hahaha Kemudian saya menelan ludah dan bertanya apa maksud pertanyaan Papa. Dan beliau menjelaskan bahwa dia menanyakan apa ideologi yang saya jadikan pegangan tindakan, sikap, dan tujuan hidup saya. Saya pun tercekat. Terus terang campur aduk rasanya. Seperti ditampar tapi di satu sisi tamparannya lembut dan penuh perhatian. Pada waktu itu, kepala saya kosong mendadak. Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi kemudian saya bilang kalau saya berpegangan pada suatu ide di mana kesetaraan, keadilan manusia, dan ketiadaan dominasi kekuasaan menjadi tujuan dan cara pandang keseharian. Papa terdiam sejenak, dia berpikir, kemudian dia bertanya: "Apa Islam bisa masuk ke dalam ide yang kamu maksud?"


Sial, pertanyaan kedua ternyata jauh lebih susah. Lantas, saya menjawab: "Aku percaya Islam itu punya semua ide yang aku maksud, begitu juga sebaliknya, ide yang aku maksud emang ada di Islam". Sebelum disamber dengan pertanyaan ketiga, saya langsung bilang:"Tapi nggak semua orang yang percaya Islam, percaya dengan kesetaraan atau keadilan Pa. Mungkin mereka lebih percaya sama uang, atau mereka lebih percaya sama neraka dan pahal dibanding percaya sama Islam itu sendiri." Papa pun membalas pernyataan saya dengan ceramah selama lebih dari setengah jam tentang betapa pentingnya kita punya panduan atau pegangan untuk menjalani kehidupan ini. Bagi Papa, Islam adalah ideologi yang dia pilih dan tentunya diajarkan ke anak-anaknya. Saya selalu merasa beruntung, Papa mengajarkan Islam dengan mudah sekaligus mendalam dan saya pun dianjurkan mempertanyakan keyakinan saya terhadap sebuah cara pandang. Dari ceramah-ceramah konyol tapi serius a la Papa, saya menyerap banyak nilai yang kemudian saya terapkan dalam mengambil sikap, tindakan, dan menentukan tujuan hidup saat umur semakin bertambah. Papa juga pernah memperingatkan: "suatu hari keyakinan kamu pasti akan diuji. Apa yang selama ini kamu yakini bisa berubah atau malah berlaku selamanya" Saya pun bertanya: "Diuji kaya gimana pah? pake soal gitu?" Maklum, saya baru mau naik ke SMP jadi nggak ngeh gimana menguji ideologi. Dan papa menambahkan:"Nanti kamu bisa tahu dari pengalaman dan mengamati orang-orang di sekitar kamu."


Butuh proses dan waktu untuk akhirnya memahami ceramah-ceramah Papa di kemudian hari. Ideologi pada waktunya akan terasa seperti cinta sejati. Kita tidak bisa hanya percaya tapi juga ada bukti. Mengutip dari pernyataan Ibu Ninuk pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan: "Percaya itu satu hal, pembuktian itu hal lain". Sekali lagi, saya beruntung bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai jenis latar belakang, saya belajar dari mereka banyak hal. Dari remaja Indramayu, mbah penjual sekoteng dekat kosan saya di jogja, teman-teman, dan masih banyak lagi. Ada ungkapan klise di buku Sinar Dunia, Pengalaman adalah guru terbaik, dan sekali lagi, yang klise-klise selalu ada buktinya.


Ketika menyinggung ideologi, kebanyakan orang di lingkup saya biasanya terbagi ke dalam tiga kubu:


1. Percaya ideologi itu perlu ditunjukkan dan diejawantahkan dalam semua lini dari lini massa sampai lini baju;

2. Ideologi itu perlu diyakini dan diamalkan dalam keseharian tanpa perlu digembar-gemborkan;

3. Ideologi itu nggak usah dipikirin dan gak ada faedahnya, keberatan kalau diomongin.


Ketiga poin ini bisa jadi kategori sekaligus mungkin berlaku sebagai tahapan. Serupa dengan cinta sejati, Ideologi juga sarat dengan pencarian. Memang ada yang bertahan dengan ideologi yang diturunkan sedari lahir (seperti agama misalnya) tapi ada juga yang terus bertransformasi tanpa henti.


Belajar pengalaman, meyakini sebuah ideologi seringkali juga bersinggungan dengan jati diri. Ideologi bisa memberi jawaban dari pertanyaan "Siapa Sih Lo?" jawabannya bisa "Gue Islam", "Gue punker'", "Gue liberal", dst. Dan karena hal ini juga, pengalaman saya membuktikan kadang dalam meyakini ideologi, kita sering mencari panutan. Berbagai faktor bisa membentuk ideologi masing-masing orang, tapi jalannya seringkali tidak mulus. Sekali lagi, serupa dengan cinta sejati, ideologi juga banyak melahirkan sakit hati. Baik dalam catatan sejarah pergerakan, ataupun permainan politik, ada pihak yang 'banting setir' dengan didasari motif yang berbeda-beda. Ada motif yang personal, ada juga yang sifatnya kolektif, kita tidak pernah tahu pasti. Saya tidak akan menjabarkan contohnya, karena teman-teman pasti punya contoh di sekitarnya, di kelompok masing-masing. Dari pengalaman saya, hal paling bikin pusing dan ujian paling sulit adalah sinkronisasi keyakinan, sikap, tindakan, dan tujuan. Mempraktekkan kesetaraan tanpa pandang bulu pasti jauh lebih sulit dari sekedar meyakininya. Bahasa kerennya "Practice What You Preach", itupun kalau kamu "Preach", kalau nggak yah beruntung nggak perlu "Practice" banget. hehehe Saya banyak menyaksikan orang dengan tipe 1 (lihat di atas) tapi minus amalannya. Berteriak menuntut keadilan tapi menentukan upah tanpa dialog dan dasar yang kuat. Ada juga yang tipe 2, ini dia yang sering saya jadikan panutan. Ibu rumah tangga yang mengajarkan demokrasi dengan sederhana di keluarga terlihat lebih keren dibanding petinggi partai berembel-embel demokrasi (atau demokrat :p). Jangan sedih, yang tipe 3 lebih banyak lagi, daripada mikirin tujuan sama pandangan hidup mendingan ngeband aja, tapi kalau musisi favoritnya pake kaos 'working class hero' langsung google Amnesty International :D.

Masalahnya ideologi (sama kaya cinta sejati sekali lagi :p), terkesan seperti omong kosong dan utopia belaka. Saya pernah denger omongan: "Ya elah mau demokrasi kek, mau negara Islam kek, mau rezim 'Pancasila' kek, Yang penting gue makan dan bisa tidur nyenyak". Yang ideal-ideal sepertinya cuma ada di surga, mengutip Pramoedya, itu juga kalau ada surganya, tapi kalau tidak ada yang mempraktekan ideologi memang menguap entah ke mana. Saya pernah kenal dengan seseorang yang nggak pernah belajar feminisme, nggak tahu 30 Deklarasi Universal HAM, tapi dia sadar hak kesehatan reproduksi perempuan dan peka dengan masyarakat sekitar rumahnya. Mungkin sekilas seperti orang biasa, tapi kehidupan memang dibangun oleh orang-orang biasa, meskipun sejarah selalu berpihak pada yang dianggap 'luar biasa'. Ideologi biar bagaimanapun butuh bukti, bukan sekedar janji. Lebih jauh lagi kadang ideologi melibatkan musuh, bisa jadi untuk mengumpulkan pasukan demi mencapai tujuan.


Melihat geliat gerakan anak muda di Indonesia 5 tahun belakangan ini, muncul pertanyaan yang menurut saya penting, tapi sepertinya sering diabaikan karena takut terlalu 'berat' pembicaraannya. Apa sebenarnya ideologi gerakan anak muda kekinian? Karena menurut saya aksi pasti butuh tujuan, mungkin sebenarnya aktor-aktornya meyakini sesuatu tapi konsep yang diyakini ini belum dijelaskan dalam sebuah ide. Mungkin sudah ada kelompok-kelompok yang menjelaskannya dan dengan gencar melancarkan aksi-aksi mereka. Setiap generasi dalam pergerakannya punya kisahnya sendiri-sendiri.Menarik untuk menyarikan aksi-aksi kaum muda dalam sebuah ideoogi. Mungkin mereka punya tujuan yang sama tapi jalan yang berbeda, atau sebaliknya. Ibaratnya orang naik angkot, sebelum memilih jurusan angkot pasti harus tahu jurusannya. Gerakan anak muda punya imaji tentang perubahan seberapa jauh ideologi tersebut mempengaruhinya? Jawabannya bebas, silakan kasih masukan.

Asal ini semua bukan hanya soal janji atau eksistensi, tapi tentu harus ada bukti :).



#TentangPerubahan&Anak Muda(Seri 1)

Senin, 30 Januari 2012

Antara Buruh, Kemacetan, dan Kita



Sudah sebulan lebih saya menghabiskan lebih banyak waktu di kamar kosan. Maklum sebagai semi-pengangguran (baca: freelance) saya punya target untuk menamatkan tumpukan dvd dan buku yang sudah jauh lebih lama 'nganggur' semasa saya bekerja. Saya memilih untuk menarik diri dari perbincangan seputar politik dan sejenisnya dan tidak ingin mengikuti berita apapun terkait peristiwa aktual di negeri ini. Mungkin saya ingin merasakan ketenangan sejenak dengan mengambil peran acuh tak acuh terhadap segala persolan pelik tentang pembangunan. 9GAG dan situs sejenisnya lebih menarik ketimbang situs warta, linimasa hanya membuang waktu, dan televisi hanya seru saat Morgan Sm*ash muncul.



Tapi ada satu berita yang sepertinya sulit untuk dilewatkan karena orang-orang di sekitar saya terus membahasnya dengan cukup heboh. Memang tidak seheboh kasus Xenia, tetapi gaungya cukup terasa karena beberapa dari mereka mengaku terkena imbasnya. Saat semua orang membahas 'Demo Buruh Di Cikarang', saya awalnya hanya bisa berdoa dalam hati agar upaya mereka tidak sia-sia. Menyebalkan memang, tipikal manusia cari aman dan apatis. Namun pergerakan buruh selalu menarik bagi saya, setidaknya mereka tidak butuh BB atau akun twitter untuk menggerakkan ribuan masa yang berani berbicara atas nama keadilan mau turun ke jalan, memblokir jalan tol, dan membuat pengendara mobil serta komuter menjerit/mengeluhkan kemacetan di akun twitternya.



Praktis saya pun tergerak untuk mencari tahu berita terkini tentang isu ini. Saya langsung mencari berita atau pembahasannya di Google. Berharap mendapatkan tautan bermutu tentang analisis demo buruh di cikarang, yang saya lihat sampai halaman 4 di laman pencarian hanyalah judul yang tak jauh dari "Demo Buruh di Cikarang Menutup Pintu Tol Menyebabkan Kemacetan". Dari situs macam Detik sampai Kompas dan situs berita lainnya. Salahkan pembacaan logaritma komputer saya yang hanya berhasil menjaring hasil pencarian dengan judul seperti itu. Alih-alih membaca berita yang membahas tuntutan dan proses negosiasi ataupun upaya pemerintah, yang saya dapatkan hanya penjelasan kenapa jalan tol ke Bekasi-CIkarang macet bukan kepalang.



Saya jadi ingat percakapan di dalam sebua kelompok pesan instan yang membahas demo buruh sebelumnya di depan Gedung DPR/MPR yang juga menyebabkan kemacetan. Ada yang bilang kalau demo seharusnya juga memperhatikan kepentingan orang lain, jangan sampai merepotkan orang lain dengan kemacetan. Dan mungkin ada ribuan kicauan di Twitter yang beranggapan sama dan merasa terbebani dengan demo buruh yang bikin macet. Katakanlah demo/menyampaikan pendapat adalah hak semua warga negara dan peserta demo memang mencapai ribuan, sudah pasti kemacetan menjadi tidak terhindarkan. Muncul kekesalan karena demo mereka bisa menyebabkan kita terlambat, tua di jalan, atau frustasi di dalam kendaraan. Mungkin sebelum melihat Demo Buruh sebagai sumber kemacetan, warga kota bisa kilas balik tentang betapa konyolnya penyebab kemacetan di Jabodetabek. Dari angkot yang ngetem, kecelakaan, putar balik , belokan, atau sesimpel 'ya… udah kebanyakan aja kendaraannya'. Yang ingin saya katakan di sini adalah setidaknya kemacetan dan keterlambatan Anda di jalan tidaklah sia-sia. Karena ada ribuan manusia yang menuntut kenaikan upah, suatu 'cause' atau tuntutan yang sangat mendasar dan jauh lebih wajar daripada menuntut keluar dari kemacetan.


Saat itu, para buruh menentang Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menggugat keputusan Gubernur Jawa Barat terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) melalui SK NO.561/Kep.1540-Bansos/2011 yang menetapkan UMK Bekasi sebesar Rp 1.491.866,-,Upah kelompok II Rp 1.715.645,- dan Kelompok I Rp 1.849.913,- melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Bandung. Ribuan buruh memperjuangkan kesejahteraan mereka yang terancam oleh gugatan pengusaha tersebut. Sebelumnya (2010) pemda Bekasi menetapkan UMK sebesar Rp 1.155.000. Jadi dalam setahun kenaikan upah yang hanya sekitar RP 336.866 masih ingin digugat oleh para pengusaha. 'Battle' yang tidak pernah berakhir ini dipicu oleh logika pengusaha yang tentunya cenderung menganggap kenaikan upah akan berdampak pada profit dan ongkos produksi.


Saya pernah terjebak dalam kemacetan di Gatot Subroto, saat peringatan May Day dimeriahkan oleh ribuan buruh yang turun ke jalan. Dari atas bis kota saya merinding melihat semangat mereka di tengah terik panas dan beban berat untuk menghidupi keluarganya tidak mencegah mereka untuk beraksi. Lain waktu, saya pernah terjebak macet luar biasa saat hari terakhir kampanye Pilkada Jakarta. Jujur, saya jauh lebih ikhlas terjebak macet di tengah para buruh dibanding masa kampanye. Sekilas mungkin tuntutan buruh tidak relevan dengan aktivitas sehari-hari kita atau mungkin lebih tepatnya kita memilih tidak mau tahu. Yang mau kita tahu adalah cepat sampai tujuan di jalan dan bisa langsung nge-charge gadget yang mulai lowbat. Maafkan kesinisan saya, tapi kita bisa pertanyakan lagi pada diri kita, betapa tuntutan para buruh yang bikin kita stuck lebih dari 3 jam di jalan, adalah tuntutan mendasar kita semua. Kita ingin keadilan dan keberpihakan terhadap masyarakat bukan lobi-lobi omong kosong pemerintah dan kelompok pengusaha. Mungkin sebenarnya kita pernah mengutuk para buruh yang menuntut kenaikan upah sebagai biang kemacetan, mungkin kita takut juga kalau upah mereka naik berarti harga barangnya akan naik juga dan kita akan kerepotan menghadapi kenaikan harga barang. Tapi buruh sama saja dengan kita semua, kalau harga naik mereka juga terkena imbasnya, mereka juga mengonsumsi, mereka ingin menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Jadi singkat kata, secara mendasar apa tuntutan mereka adalah bagian dari kebutuhan dan tuntutan kita juga.


Pertanyaan yang menarik dari tulisan panjang dan tidak jelas ini adalah:


Siapakah 'kita' yang dimaksud di sini? Kelas yang mana?


bantu saya untuk menjawabnya :p


Senin, 16 Agustus 2010

Stop Complaining, just walking

"Daripada terus menjadikan ketidaknyamanan angkutan publik di Jakarta sebagai alasan untuk tidak menggunakannya, lebih baik berinisiatif untuk memanfaatkannya, atau jalanan kota ini berubah jadi neraka tingkat akhir."


*sudah kenyang mendengarkan pengguna kendaraan pribadi mengeluh tanpa melakukan tindakan konkret untuk mengurangi kemacetan.

Rabu, 11 November 2009

It's in Your Hands Mr. President

"Kupu-Kupu Kebenaran"



Alkisah, ada seorang rabi yang terkenal mampu menjawab semua pertanyaan. Ya... semua pertanyaan. Kemampuannya ini sudah dikenal luas d
imana-mana. Ada seorang pemuda yang sangat ingin membuktikan bahwa rabi tersebut tidak sehebat yang dikira orang-orang. Ia lantas punya akal untuk menggagalkan popularitas Sang Rabi. Kemudian Ia menangkap kupu-kupu dan membawanya dalam genggaman. Ia mendatangi rabi tersebut denga
n niat menjebak beliau. Strateginya, dia akan bertanya pada Rabi apakah kupu-kupu di tangannya hidup atau mati. Jika Rabi menjawab hidup, Ia akan membunuh kupu-kupu dalam genggamannya, sebaliknya, kalau rabi bilang kupu-kupu itu mati, Ia akan melepaskan kupu
-kupu tersebut agar terbang bebas di depan muka Rabi. Saat Ia akhirnya bertemu dengan rabi tersebut, pemuda ini mulai bertanya, 

"Wahai rabi yang tahu segalanya, menurutmu, kupu-kupu yang aku berhasil tangkap ini hidup atau mati?". 

lantas apa jawaban Sang rabi?

Dengan bijak dan tak disangka-sangka rabi berkata singkat, 

" Jawabannya ada di tanganmu, Nak..." 

dan pemuda itu pun tertegun dengan tebakan rabi."







Saat isu Cicak vs Buaya menjadi semakin hangat, kisah rabi dan pemuda ini terlintas di kepala saya. Alih-alih ada yang membela KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi), muncul perlawanan dari pihak lain, another KPK (Komisi Pembela Korupsi). Drama itu bertahap mencapai tingkat konfliknya. Saat Bibit & Chandra ditahan, kemudian disebar luaskannya rekaman hasil sadapan pembicaraan Anggodo CS, dibentuknya Tim 8 oleh Presiden, keterpojokan Susno, hingga reaksi Polri dan Kejaksaan Agung yang sudah berhasil mencapai Master Nge-Les tingkat tinggi.  Semua dukungan diteriakkan untuk menjunjung tinggi kebenaran yang sudah jelas-jelas terkuak. Layaknya Star Wars, negeri ini bisa dibilang memasuki episode "The Society Strikes Back" ketika beragam lapisan masyarakat protes karena mulai lelah dengan Konspirasi Kakap bertulang teri ini. Selain menanti pengakuan jujur dari pihak-pihak "terkait", saya sangat menunggu statement panjang dan keputusan tegas dari RI 1 (seperti kode di pembicaraan telp Anggodo). Namun hingga saat ini, saya masih gregetan karena beliau belum melakukan sesuatu yang benar-benar "berarti". Akibatnya fatal jika drama terus berada di plot konflik, bisa-bisa nanti masuk ke episode "Revenge of The Shit". hehehe





Kembali ke kisah rabi di atas, nasib kebenaran dalam kasus bank century, Anggodo, Susno, and so on yang seperti benang merah tapi kusut ini seperti kupu-kupu di atas.  Dan seperti jawaban rabi akan pertanyaan pemuda, Nasib kebenaran yang tersisa di negeri ini ada di tangan pemimpin kita. Jika Ia berani memberikan pernyataan yang jelas dan membuat keputusan yang tegas (copot dulu kek jabatan penguasa-penguasa kelompok "The Shit") saya dan pihak lain yang merasa jengah sekaligus 'panas' akan isu ini minimal akan merasa sedikit plong... Nggak asik dong kalau menonton film Ultraman pas adegan lawan musuh, eh... kekuatan si Ultraman yang habis nggak pulih-pulih lagi!?

Saya tahu menjadi Presiden tidak mudah, apalagi posisinya sempat diseret-seret dalam kasus ini. Mungkin beliau memiliki perasaan yang sama dengan Pemuda tersebut, Ia bingung akan membunuh atau melepas kupu-kupu tersebut karena Ia tahu bahwa strateginya untuk menyerang rabi sudah gagal. Si rabi terbukti tahu jawabannya...

Kita semua yang masih berpikir dengan logika pasti tahu jawaban atas semua ini. Kalau malas merunutkan kronologi atau takut menjadi komoditi TV karena mantengin tv seharian demi menyaksikan drama Cicak Buaya, kita bisa mulai bertanya pada diri sendiri. 
Mana yang kamu anggap benar, membiarkan buaya terus berkeliaran menelan korban lebih banyak (bisa jadi korbannya kamu) atau memburu buaya-buaya tersebut agar kelak semuanya menjadi lebih baik (minimal anak saya atau kamu nanti bisa hidup aman sejahtera)???

Apa yang akan kamu lakukan jika menjadi pemuda itu? Membunuh kupu-kupu dalam genggamanmu karena kesal pada rabi? atau menunjukkan bahwa kupu-kupu itu hidup dan masih bisa terbang bebas, sehingga rabi bisa tersenyum menatapmu?

It's all in Your hands....

 
design by suckmylolly.com