Tampilkan postingan dengan label Memoirs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Memoirs. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 April 2013

What if...

Black Rebel Motorcycle Club - Howl 


This song, probably fitted me so much couple months ago. But yeah, I won't wait for you in silence




You try so hard to be cold
You try so hard to not show
I give you nothing to doubt and you doubt me
I give you all that I have but you don't see

Now I know that my eyes must close here
Every word seems to feel like you don't care
But I know that you're so confused and afraid
I just want to be one true thing that don't fade
I don't wanna give up tomorrow
I just can't understand why we're going on

You try so hard to be heard
You try so hard to not hurt
I give you nothing to doubt, and you doubt me
I give you all that I have, but you don't see

Now I know that my eyes must close here
Every word seems to feel like you don't care
But I know that you're so confused and afraid
I just want to be one true thing that don't fade
I don't wanna give up tomorrow
I just can't understand why we're going on

I don't wanna be sad, I don't wanna be sad
I don't wanna be scared, I don't wanna be scared
I don't wanna decide, I don't wanna decide
I see the road is hard, I see the road is hard
I won't wait for you in silence, I won't wait for you in silence
I won't wait for you in silence, I won't wait for you in silence

Senin, 14 Januari 2013

Simple Kind of Life





"Simple Kind Of Life"
by: No Doubt



For a long time I was in love
Not only in love, I was obsessed
With a friendship that no one else could touch
It didn't work out, I'm covered in shells

And all I wanted was the simple things
A simple kind of life
And all I needed was a simple man
So I could be a wife

I'm so ashamed, I've been so mean
I don't know how it got to this point
I always was the one with all the love
You came along, I'm hunting you down

Like a sick domestic abuser looking for a fight
And all I wanted was the simple things
A simple kind of life

If we met tomorrow for the very first time
Would it start all over again?
Would I try to make you mine? 

I always thought I'd be a mom
Sometimes I wish for a mistake
The longer that I wait the more selfish that I get
You seem like you'd be a good dad

Now all those simple things are simply too complicated for my life
How'd I get so faithful to my freedom?
A selfish kind of life
When all I ever wanted was the simple things
A simple kind of life

Rabu, 14 November 2012

the break in your heartbreak





On my life I'll try today,
 there's so much I've felt I should say, 
but even if your heart would listen, 
doubt I could explain...



Jimmy Eat World - If You Don't, Don't

Sabtu, 03 November 2012

Gradasi Keyakinan





Edisi khusus majalah TEMPO tentang pembantaian '65



Ketika kita dilahirkan ke muka bumi ini, semesta tidak pernah berbisik pada kita 'apa itu kehidupan', 'apa itu manusia', atau bahkan 'apa artinya dilahirkan. Kecil kemungkinan kita mengingat apa yang kita hadapi semasa bayi, apalagi apa yang dikatakan oleh ayah atau ibu saat si bayi menangis. Sekalipun otak kita sudah mampu menyimpan memori, kita tidak akan paham dengan baik pembentukan memori pada masa itu. Meski setiap manusia (dan organisme) mempunya unsur 'bawaan' dari kode genetik yang terdapat dalam protein DNA, pengalaman organisme menjadi faktor paling penting untuk menentukan fenotip atau hasil akhirnya. Dengan kata lain, tempat atau konteks di mana kita tumbuh dan berkembanglah yang perlahan tapi pasti memberikan jawaban akan pertanyaan metafisik seperti di atas. Biasanya kita bahkan tidak sampai menemukan jawaban yang final dan memuaskan. 





Rangkaian kode DNA manusia


Waktu kecil kedua orang tua saya memberi tahu banyak hal, terutama soal cara berinteraksi dengan sesama manusia. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu saya mengajarkan cara berterima kasih, bersalaman, atau bilang permisi. Selain menelan mentah-mentah doktrin agama lewat ritual yang dicontohkan oleh orang tua, saya juga mengetahui dari mereka, mana hal yang baik dan mana yang buruk. Baik ayah atau guru di sekolah mengajarkan pada saya bahwa manusia adalah spesies Homo Sapiens, makhluk yang dipercaya berbeda dengan organisme lainnya seperti bintang atau tumbuhan. "Apa yang membedakannya?", tanya saya waktu itu. Dan ayah saya menjawab "Manusia punya akal budi, dia punya hati nurani". Guru di sekolah pun menjawab "Manusia dikaruniai cipta, rasa, dan karsa (dikenal dengan Trias Dinamika) oleh Tuhan YME". Puaskah saya dengan jawaban tersebut pada saat itu?

Jangankan menunggu dewasa, pada waktu itu saya tidak puas dengan jawaban guru atau ayah. Terutama kepada ayah, saya terus bertanya hingga Ia lelah menjawab dan besoknya saya dibawa jalan-jalan ke ragunan. Dengan kunjungan ini, ayah saya mau menunjukkan perilaku binatang dan hakikat tanaman, agar saya bisa membandingkan dengan makhluk yang disebut "Manusia".



Klasifikasi homo sapiens dalam ordo primata

Seiring dengan pertumbuhan, orang tua dan guru di sekolah menanamkan makin banyak nilai ke dalam diri saya. Bahwa saya tidak boleh berbohong, saya harus mengasihi dan menolong sesama manusia, mencuri adalah tindakan yang berdosa, menjadi orang baik merupakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat, dsb. Praktis ketika saya kecil, ajaran tersebut memaksa saya untuk memandang fenomena secara hitam-putih. Dikotomi dosa-neraka, baik-buruk, benci-cinta, menjadi kacamata "anak baru tahu" dalam memandang realita. 

Terhitung 24 tahun saya hidup di dunia ini, tiba-tiba saya ingin bilang ke ayah atau guru TK dan SD saya kalau mereka cukup banyak 'berbohong' tentang definisi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun keagamaan dan nilai kehidupan lainnya. Saya mau protes (bukan dalam artian yang buruk yah), karena waktu itu saya dibekali dengan kacamata hitam-putih untuk melihat realita yang 'abu-abu'. Seperti memakai kacama 2D untuk menonton film 3D, iya saya lihat gambarnya berlapis, tapi saya melihatnya dalam fragmen bukan dalam satu keutuhan (gambar yang timbul dan serasa hidup). Akibatnya saya harus terima kalau untuk beberapa saat pandangan saya sedikit kabur, tidak bisa melihat realita dengan jelas. Bahkan lebih parahnya lagi, dengan naifnya saya mencoba mencari kepastian di antara yang nisbi, memaksa melihat bentuk yang utuh padahal tidak jelas atau blur. 

Seiring bertambahnya umur, ikan yang membesar tentu tidak muat dalam kolam yang sama, dia berpindah-pindah kolam untuk mencari mana habitat yang cocok, mengevaluasi makanan apa yang tersedia dan tidak tersedia,  dan memastikan bisa bertahan hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar, pindah ke sekolah menengah, lanjut ke sekolah menengah atas, masuk ke perguruan tinggi, nyemplung ke kantor, setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Apalagi ketika si bayi akhirnya mengembangkan kemampuan membacanya kelak, dia akan melahap buku, majalah, atau sekarang aplikasi dan logaritma google. Kepala kita pun dijejali dengan berbagai pemahaman, ketidaktahuan, dan bahkan keraguan. Berbagai asam garam yang sudah ditelan akhirnya mempengaruhi 'rasa' bagaimana kita akhirnya memandang hidup itu sendiri. 

Jujur saja, apa yang saya yakini dari kecil pelan-pelan runtuh, dan bahkan tidak butuh pengalaman hidup belasan tahun untuk meruntuhkannya, cukup dengan menganalisis koran dalam satu hari. Bagaimana saya bisa percaya manusia itu makhluk dengan akal budi dan hati nurani jika saya membaca fakta bahwa ada jutaan manusia yang dituduh PKI dibantai di negara sendiri, dan bahkan saya curiga leluhur saya turut andil di dalamnya? Apa yang bisa tersisa dalam keyakinan saya kalau melihat betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam? Bisakah saya percaya bahwa mencuri adalah tindakan berdosa dan melanggar hukum, jika pada akhirnya hukum malah memenangkan para pencuri? Masih perlukah saya memegang teguh prinsip altruistik di tengah banyaknya orang yang egoistik? Hingga di penghujung perdebatan diri sendiri saya bertanya, naif kah saya jika terus meyakini nilai-nilai masa kecil tersebut.

Saya tentu tidak sendiri. Ada banyak orang yang kemudian sadar bahwa spektrum sebuah kebenaran, kebaikan, keburukan, atau kejahatan begitu luas. Bukannya sok non-positivis atau post modern, tapi toh kita mengalami dan melihat sendiri subyektifitas itu nyata adanya. Alih-alih menjadi seseorang yang terkesan relativis atau bahkan nihilis, saya mencoba membawa perdebatan 'remeh-temeh' tersebut ke dalam diskusi keseharian dengan beberapa teman. Biasanya dari obrolan ngalor ngidul, kita bisa menanamkan semangat dalam diri kita masing-masing. Semangat atas keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus terus dipertahankan. Kacamata moral biar saja dihibahkan ke orang lain, kacamata kemanusiaan terasa lebih nyaman dipakai. Untuk apa bingung surga dan neraka kalau ada kesempatan melakukan sesuatu untuk orang lain di depan mata? Why Bother?


Diambil dari Pigs in Maputo (klik untuk ukuran besarnya)

Sebenarnya, saya tidak perlu mengganti kacamata hitam putih secara keseluruhan, bisa saja saya memodifikasi lensanya agar saya bisa melihat gradasi warna di antaranya. Seperti palet warna di Photoshop, ada banyak kombinasi warna di antara CMYK 00000 (hitam) & CMYK FFFF (putih). Berbagai pengalaman dan cerita yang saya peroleh dari orang di sekitar saya, mau tidak mau kita harus melebarkan spektrumnya atau nanti kita yang capek sendiri dengan memaksakan kacamata hitam putihnya. 




Apa yang baik dan buruk?

Jika tidak pernah merasa perlu untuk mewarnai keyakinan Anda dengan gradasi, setidaknya Anda bisa melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan Anda. Kenyataan yang saya hadapi, saya bertemu banyak orang dalam hidup yang mengajarkan banyak hal, termasuk soal keyakinan saya selama ini.  Contohnya, sore ini saya bertemu beberapa orang yang harus diwawancara, dari mereka saya bisa melihat bagaimana kompleksnya identitas dalam mempengaruhi gradasi keyakinan tersebut. Ada seorang informan yang berasal dari pesantren Wahabi mengemukakan ide-idenya untuk menentang kekerasan berbasis agama, kebebasan berpikir, berpendapat, dan bahkan akhirnya giat dalam wadah hak asasi manusia -sesuatu yang tentu ditentang oleh keyakinan Wahabi. Ada juga seorang informan dari etnis minoritas yang sangat peduli dengan isu toleransi dan dialog antar beda suku atau agama. Padahal dia tahu betul etnisnya jadi korban dalam tragedi '98 di negeri ini. Hal tersebut tidak melunturkan keyakinannya akan bangsa Indonesia. Saya sangat salut dengan orang-orang yang bersedia melalui pergolakan internal untuk akhirnya menarik gradasi dalam hal-hal yang diyakini sebelumnya. Dengan mengetahui adanya orang-orang seperti ini, keyakinan saya kembali disulut semangat, kemanusiaan itu ada dan manusia memang berbeda dari organisme lainnya. Faith in humanity restored!

Bentrokan antara pengguna kacamata hitam putih dan kacamata gradasi memang tidak terelakkan. Ketika hal ini muncul, yang perlu dipahami adalah hakikat manusia sebagai salah satu jenis makhluk hidup. Karena dia punya akalbudi dan jika digunakan sebagaimana mestinya, pasti setidaknya memikirkan kemungkinan lain. Pernah ada seorang teman yang bilang ke saya "Ya kalau saya menjadi pribadi yang kritis, yang menentang apa yang dulu saya anggap benar, mencoba membuat perubahan, itu adalah konsekuensi karena saya dimasukkan ke sekolah, saya dibolehkan membaca. Kalau ingin saya terus penurut dan tidak mengkritisi hal tersebut, sebaiknya dari dulu saya dipasung saja sekalian". 

Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Baik keyakinan kita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tentunya terus bertransformasi. Bisa pilih untuk tetap yakin dengan kacamata hitam-putih; mencoba bermain di gradasi; atau mungkin ingin sejenak melepaskan kacamata untuk memejamkan mata dan tertidur :D 










Sabtu, 08 September 2012

Di Antara Hati dan Teknologi




Kenapa Ada Yang Baru? Karena Yang Lama Sudah Tidak Berfungsi Lagi 


Pernahkah Anda mengganti ponsel lama Anda dengan ponsel yang baru? Atas alasan apa Anda menggantinya? Pertama, ponsel Anda rusak karena satu dan lain hal ditambah dengan garansi yang sudah tidak berlaku lagi. Kedua, Anda bosan atau ingin saja update model demi modal pergaulan. Ketiga, Anda merasa teknologi atau kapasitas ponsel lama Anda terbatas dan mentok untuk menjawab kebutuhan Anda akan teknologi dalam keseharian. Atau mungkin alasan yang paling tidak penting, yaitu tentu Anda punya banyak uang dan membeli ponsel baru adalah satu upaya untuk mendistribusikan uang Anda. 

 Lain cerita jika Anda memiliki ponsel kesayangan yang sudah menemani Anda bertahun-tahun lamanya. Melewati berbagai fase jatuh-bangun Anda, dari bangun tidur sampai penghujung hari. Ponsel ini setia di samping Anda jika sedang dibutuhkan, ia selalu tepat guna dan tepat daya. Memang terkadang ponsel Anda suka ngadat dan jika sedang tidak punya mood yang cukup baik, mungkin saja Anda membantingnya. Tapi dedikasi ponsel ini begitu hebat sehingga Anda bisa hilang kendali jika ponselnya tertinggal sehari saja. Selain fungsi menelpon atau mengirim pesan, ponsel Anda menyimpan begitu banyak memori. Mulai dari nomor telepon teman SD sampai foto-foto momen terbaik Anda beserta data lainnya. Anda tidak pernah membayangkan apa yang yang terjadi jika ponsel Anda hilang atau dicuri orang. Yang Anda tahu, ponsel ini harus ada setiap saat dan setiap waktu. 

Mungkin saat Anda membeli ponsel kesayangan, teknologinya sedang canggih-canggihnya. Fiturnya bisa memenuhi kebutuhan Anda pada saat itu dan ketahanannya bisa menandingi sepatu converse yang tak kunjung bolong itu. Saat-saat awal Anda memiliki ponsel tersebut, Anda begitu asyik mengulik sana-sini, apa yang tersaji di dalamnya terasa seru dan tidak bisa ditebak. Namun seiring berjalannya waktu, Anda sudah menguasai semua fiturnya, Anda sudah mengulik semua tips and triknya, seolah tidak tampak seseru dulu. Sempat terpikir dan tergoda dengan puluhan tipe baru atau merk lain yang keluar tiap tahunnya, tapi rasanya ada "ikatan emosional" atau romantisme bersama yang sanggup mengalahkan segalanya, termasuk godaan fitur yang lebih baik. 

Dari waktu ke waktu, ponsel Anda kondisinya tidak lagi sehandal sebelumnya. Dunia berubah, lingkungan Anda bertranformasi, orang-orang di sekitar Anda silih berganti, sampai pada saatnya serangkaian alasan terlihat jelas. Ponsel kesayangan baterainya sudah bocor, casing-nya sudah lapuk, fiturnya? jangan ditanya… pasti ketinggalan jaman. Kemampuannya sudah tidak lagi bisa di-upgrade ke tahap selanjutnya, sehingga semuanya menjadi terbatas di dalam ponsel ini. Sempat Anda meyakinkan diri Anda bahwa Anda tidak butuh kemajuan teknologi, Anda juga berpikir kalau ponsel kesayangan sudah cukup. Tapi teknologi tidak bisa berbohong. Anda tentu tidak bisa ngotot tetap transfer file dengan disket jika perangkatnya sudah sulit dicari dan orang-orang menggunakan cakram padat. Anda juga tidak bisa ngotot kirim pesan sms bergambar jika sekarang sudah ada Whatsapp yang bisa langsung mengirim foto dari ponsel Anda. Sekilas sepertinya Anda bisa hidup hanya dengan ponsel kesayangan Anda, padahal, Anda bisa melakukan banyak hal lain yang tidak pernah Anda bayangkan, jika Anda kemudian mengganti ponsel. 

Ketika ponsel kesayangan kemudian dirasa terpaksa mengikuti arus hidup dan perubahan di sekeliling Anda, bisa jadi benda ini sudah tidak menjawab kemampuan Anda. Bahkan, jika tiba saatnya ponsel ini rusak dan tidak bisa menemani Anda lagi, tibalah waktunya bagi Anda untuk menentukan pilihan. Anda bisa saja keliling ITC untuk servis ponsel tersebut, tapi biayanya bisa mahal dan menguras energi Anda. Sampai pada saatnya Anda merasa bahwa, saatnya Anda meninggalkan ponsel kesayangan. Dengan berat hati, Anda harus berhenti, tidak bisa lagi menggunakannya. 

Kemudian muncul opsi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, beralih ke ponsel baru. Dengan teknologi terkini yang lebih canggih dan beragam aplikasi seru, Anda tentu bisa melakukan banyak hal dengan ponsel ini. Memang Anda harus beradaptasi untuk terbiasa dengan interface atau bentuknya. Yang tadinya keypad, sekarang jadi layar sentuh. Peralihan tersebut memang tidak mudah. Anda bisa sering typo saat mengetik pesan, atau melakukan beberapa kesalahan karena belum terbiasa dengan fiturnya. Jangan sedih, hal ini biasa. Saat-saat seperti ini pasti harus dilewati asalkan ponsel Anda berfungsi dengan baik dan siaga menopang kebutuhan hidup Anda sehari-hari. Ponsel baru perlahan akan menggantikan posisi ponsel kesayangan sebelumnya dan Anda juga bisa kembali mengisinya dengan memori-memori yang akan dilewati. 



Kenapa saya membuat tulisan ini? 
Terkadang kita merasa enggan beralih dengan yang baru dan sering terjebak dengan ikatan emosional yang sebenarnya dipaksakan. Mungkin saja yang kita miliki memang sudah tidak berfungsi lagi, mungkin saja kapasitasnya tidak lagi mampu menampung diri kita yang terus berkembang dari hari ke hari. Sedangkan ada pilihan baru yang mungkin bisa lebih menjawab kebutuhan Anda dan bisa menunjang Anda untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Romantisme terkadang menghambat kita untuk melihat kenyataan di depan mata, padahal apa yang ada di sekitar kita semuanya serba sementara. 
Maafkan saya jika tulisan ini terkesan menyederhanakan hal yang rumit, atau bahkan mereduksi sebuah siklus dalam hidup ke dalam siklus gonta-ganti ponsel semacam ini. Tapi apa yang kita lewati selama ini sebagai peradaban manusia telah menjadi landasan bagi perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi memang memiliki dampak negatif (yang menurut saya hal ini bersifat nisbi), tapi hal tersebut tentu didorong oleh kebutuhan manusia dan dinamika alam raya ini. Hal baik yang selalu saya petik dalam teknologi adalah visi teknologi itu sendiri. Teknologi menatap ke masa depan tanpa mengabaikan masa lalu (karena kesalahan di masa lalu ada untuk diperbaiki) dan seperti layaknya sikap manusia terhadap teknologi, ada yang pro dan kontra. Hal ini wajar saja, semua punya pilihan.  Asal semuanya dijalani tanpa paksaan dan kita tetap merdeka sebagai manusia- tentu hal ini terbuka untuk diperdebatkan. 





Senin, 20 Agustus 2012

Ada Sastra dalam Keluarga




Catatan untuk Kakek Oes


Sekitar dua minggu yang lalu, ada kabar duka yang hadir di tengah keluarga pada bulan puasa. Saudara dari keluarga besar papa ada yang meninggal. Beliau adalah Kakek Oes, suami dari Mama Ena, saudara dari papa yang pernah merawat papa waktu kecil. Saya memang bukan tipikal 'Family Woman', saya termasuk jarang tampil dalam acara dan kunjungan keluarga. Saya secara pribadi tidak mengenal dekat Kakek Oes meskipun keluarga saya sering berkunjung ke rumahnya. Saya lebih mengenal anaknya Kak Keny misalnya atau Mama Ena. Ditambah dengan faktor kesehatan Kakek Oes yang sudah tidak sebaik dulu. Kakek Oes memang sudah lama sakit karena usia dan komplikasi penyakitnya semakin memburuk dari waktu ke waktu. 

Lepas dari dekat atau tidaknya relasi saya dengan Kakek Oes, saya selalu senang mengunjungi rumah beliau sekeluarga di daerah Sawangan. Karena di sana ada rak-rak buku yang menjadi perpustakaan Kakek Oes. Isi raknya sudah lama membuat saya jatuh cinta. Pertama kali membaca biografi Tan Malaka karya Poeze adalah pengalaman menakjubkan hasil dari koleksi buku Kakek Oes. Setiap ke rumahnya saya pasti 'ngejogrog' di depan rak, mengorek-ngorek susunan buku, melihat judulnya, mencari buku sampai tulang leher pegal, kemudian kalau ada yang menarik langsung saya baca di tempat. Saya pernah bertanya ke papa, apa profesi Kakek Oes sebelumnya dan papa hanya menjawab bahwa beliau adalah seorang wartawan senior. Jawaban yang memang menjawab pertanyaan saya kenapa koleksi bukunya sekeren itu, tapi sebenarnya jawabannya terlalu singkat dan masih menyisakan rasa penasaran. 

Sore tadi saya sekeluarga berkunjung ke rumah Sawangan dengan niat silaturahmi lebaran. Mengingat sepeninggal Kakek Oes tentu rumah Sawangan jadi lebih sepi, keluarga saya berniat menemani istri dan anak-anaknya di hari lebaran. Mengulang kebiasaan saya sebelumnya, setelah berbincang-bincang, saya langsung nangkring di depan rak. Kal ini saya lebih 'berani' dalam mengambil buku-buku, dengan harapan siapa tahu saya bisa mendapat hibah. Ternyata Mama Ena langsung menawarkan ke saya untuk membawa buku yang saya suka. Praktis begitu lampu hijau dinyatakan oleh Mama Ena, saya kalap untuk ambil buku ini dan itu. Kemudian saya perlihatkan buku-buku yang ingin saya bawa pulang. Mama Ena langsung mengambil buku "Angkatan 66" kompilasi buatan HB Jassin yang berisi pusi dan prosa penanda zaman tersebut. Mama Ena langsung bilang kalau di dalam buku ini puisi-puisi karya kakek Oes dimuat. Saya langsung terkejut. "Hah??? Ada sastrawan di keluarga ini dan gue baru tahu??? Dosa besar lo fra!"






Kita langsung cari di daftar isi nama Kakek Oes (saya baru tahu nama lengkap dan nama pena beliau) yang tertera di situ adalah "Indonesia O'Galelano". Saya langsung membaca puisi-puisi beliau yang khas Angkatan '66. Ternyata Kakek saya seangkatan Ramadhan K.H. AA Navis and the gank. ckckckck… Angkatan pasca 45 ini adalah para sastrawan yang meramaikan masa kejayaan majalah Horison dan majalah-majalah kebudayaan lainnya. Ciri khasnya biasanya temanya berlandaskan pancasila dan pada waktu itu diidentikkan dengan Geng Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang sering dipertentangkan dengan Geng Lekra. Kalau melihat lagi latar belakang Kakek Oes yang memang serumpun dengan Kakek saya, beliau adalah muslim yang aktif berorganisasi dan memunculkan unsur-unsur islami dan ketuhanan dalam karyanya. Kakek Oes dulu pengurus Badan Musyawarah Islam dan Pusat Himpunan Seni-Budaya Islam. Beliau juga pernah menjadi wartawan harian Pelita. Wajar kalau beliau dekat dikelompokkan dalam angkatan '66, yang memang cenderung menentang ide-ide komunisme yang diusung Lekra. 

Puisi-puisi karya Kakek Oes rata-rata cukup panjang dan temanya biasanya seputar tanah kelahirannya kepulauan Halmahera, Islam atau Tuhan, dan percintaan. Berikut untuk mengenang Kakek Oes dengan nama pena Indonesia O'Galelano, saya sertakan puisi beliau yang jadi favorit saya. Saya akan mengabadikan nama beliau yang makin tergerus dengan sistem pendidikan Indonesia yang kurang menghargai apresiasi sastra ini dengan berbagai cara. Semoga Kakek Oes damai di sisi-Nya…


Diambil dari http://www.puisi.web.id/index/6/0/0/211
Berceritalah Padaku, Ya Malam 
oleh: Indonesia O'Galelano 

Berceritalah padaku, ya malam
bisikkan sedanmu dalam tingkah gerimismu.
Kunantikan di sini, daku setia menunggumu,
hingga kutahu rahsia wajahmu yang kelam.
Menangislah padaku sampai langkahmu jauh melarut.
Mengaduhlah padaku bersama angin surut ke laut.

Rinduku padamu tumpas dalam relung sunyi ronggamu.
Rinduku padamu adalah cinta menjulang langit kelabu.
Kekelaman apakah yang kan kausampaikan,
rahsia siapa yang lama sembunyi kausimpan.
Terasa dukakulah yang sarat kaukandung,
sebab sunyi heningmulah yang lena kusanjung.

Malam yang kekal berahsia,
bukankah padaku segala mimpi.
Malam yang larut oleh derita,
menghampirlah padaku tanpa gelisah sangsi.
Mengapa gelisahmu menyiksa cengkerik dan unggas,
mengapa lagumu tersendat dalam kehendak bebas.

Tak kutahu kapan angin yang lewat kan menengokku
dalam perjalanan singkat menyiulkan lagu sedih.
Adakah bintang—bintang yang berkelipan tahu
akan nasib dunia yang dingin dan tua.
Sekarang kudengar ciap kecil anak—anak burung,
di sini berkisah bumi dan bulan dalam khayal agung,

Berceritalah padaku, ya malam, berceritalah.
Datanglah padaku, bisikkan sebuah kisah
tentang cinta yang kan kusimpan sebelum tidur,
tentang manusia yang lelap dalam mimpi semakin kabur.

Adakah kediamanmu sungguh dalam sepi dan duka,
Adakah mam dan kakimu perkasa sepanjang masa.
Ya, malam yang anggun,
rahasiamu diam sepanjang tahun!


Rabu, 15 Februari 2012

Bukan apa-apa




Ternyata


Aku tahu mungkin di sana ada nyeri

Bisa jadi kita tidak jatuh di tempat yang sama

Mencoba jauh demi mati rasa

Jika ada bekasnya, kamu pasti punya sisanya

Tidak perlu obat merah karena kamu masih marah

Mereka bilang seharusnya kita bisa waspada

Berhati-hati tanpa perlu pakai hati

Kita terlalu suka permainan ini

Iseng-iseng bisa dapat hadiah

Sudah sejauh dan selama ini kita bercanda

Tanpa tahu akibatnya

Biar saja… nanti juga tahu rasanya! katanya

Ada kala kita buka mata dan bertanya untuk apa?

Sudah jatuh baru tahu kenapa

Jujur aku suka semuanya

Dari cinta sampai luka

Tapi kamu pura-pura buta

Kalau di antara kita

Tidak pernah ada apa-apa




Selasa, 10 Januari 2012

The drugs don't work


"Antibiotik menyelesaikan semuanya kecuali asmara"

Seandainya semuanya semudah menelan sambil minum air, mungkin kita bisa bertahan.

Rabu, 04 Januari 2012

2011: No distance Left to Run



As 2011 will be ended soon, I have this such an obligation to review shits happened in all years. I hate list but its probably easier to sum up things with list. But all I know is 2011 becomes the most effortless year ever in my life. Well, it's a tough year indeed, while it's also relief in a kind of way. From what I can remember, below find all notable things occurred in 2011:


1. Get out of the box, get out from that comfort zone


I resigned from the job, or I prefer to call it the daily life, which I loved and dedicated to it but found things cracked up by pointless drama. Though I made the decision and proposed my notice on the previous year, I started to quit officially in February. I love what I was doing there, I always be. Who can resist the young people revolutionary spirit and support them for real? I can't. That's why It hurt like a break-up stories.


2. I don't need job I've got my band


Yeah while I was quitting my occupation, I had already got the new one! hahaha Here is the funny thing, every stage of my life, starting from the junior high era, I always find great friends to create band, obviously with common sense of music and field of experience. The last time I'm on band was in my sophomore year in college. And oddly, though all personnels went to the same college, we found this band after we graduated. The coolest thing is I wrote on my 5 years plan when I was 17th, I said that I want to have a shoegaze-noise band. Yup, it's specific anyway hahaha, I even wrote the genre! And thanks god, I found these friends, 3 lovable and hilarious persons, and we officially had our first rehearsal in February. We ended up with 2 songs on our first moment and currently we already have almost 10 songs. We also got some gigs performing opportunities, which was fun and maybe embarrassing at the same time. I think this band made my 2011 :D


Listen Sunday Market District.




3. Post break-up: Slow down and Move to another city, a heavenly one


2011 seemed like purification year for me, it gave me time and room to slow down the pace, to think, and to let go all egos. I learned a lot about acceptance or we likely called it 'ikhlas' and I realized that life would be more cool and settle if I slow down the ambition. I seized this year with learning new things and meeting new friends. I decided to take an internship opportunity in an art archiving organization in Yogyakarta. I lived there for 3 months. To suggest, for all people who want to see life in a slow motion, take sometime to live in this city. I gained more knowledge on art in this place. I worked with some persons that I look up to, had new wonderful friends. And not to forget, I encountered with some unfortunate events in this phase. However, it's all the lessons that I've got to discover. Indeed, it's so fun living in Jogja and engaging with the cultures and thoughts of people there.


4. A good call and new shoes


I always love to change 'shoes' in terms of trying to put myself on a different perspective. During my last moment in Jogja, I've got a good news. An International NGO gave me opportunity to be a temporary staff. In my previous job and activities, I had already encountered with this organization. Long before they gave me a call, I had dream to be part of them but oddly I only want a short time trial. And the wish came true, I was part of them for nearly 3 months. As my-college-of-life-session went through, this opportunity provided so much lessons to study. It's definitely refined my capabilities and perspective, in terms of becoming so-called a development professional. By the end of the year, I was no longer worked for this organization. And I was so lucky for having this opportunity, working with great team, and taking the most enjoyable lunch in the office.


2011 told me some great lines. It said that I should feel okay to live on my way though it's unlike the other's. Why should I run if the distance was no longer necessary. If 2011 was about learning, 2012 will be about initiating and creating. Since it will not likely the end of the world but it is the end of the apathy…














Kamis, 07 April 2011

Kalau Rahim Bisa Ngomong

(percakapan saya dengan rahim.)

A (saya) R (Rahim)


A: Aduhh... sakit banget nih perutnya gara-gara mau dapet. Huh!

R: Kan dinding rahimnya lagi memompa...

A: Emangnya kenapa sih kalau kamu lagi memompa kok perutnya jadi sakit? Kamu kenapa?

R: Aduh mana aku tahu... coba kamu tanya dokter kandungan aja :p



Meet my uterus 


Halo, saya Rahim :) !!!



Seperti perempuan yang belum menikah pada umumnya, tidak pernah terlintas di kepala saya untuk periksa ke dokter kandungan. Apalagi saya merasa umur saya masih muda dan belum menikah, buat apa saya ke sana? Lagian dokternya kan laki-laki, males banget, malu kali ya... Emangnya mau periksa sama siapa? Orang tua? Kata mamah sih nggak perlu, kan belum menikah? 


Padahal di kepala saya terlintas banyak sekali pertanyaan seputar fungsi reproduksi dan kesehatannya. Meskipun saya beruntung karena pernah bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu perempuan dan sering mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, tidak menjamin kalau saya benar-benar mengetahui kondisi alat reproduksi saya. Memang, saya pernah melakukan pemeriksaan pribadi dan merasa sadar jika ada yang tidak wajar dengan vagina atau rahim saya, tapi tentu saya orang awam yang tidak tahu seluk beluk kesehatan reproduksi (kespro). Setumpuk pertanyaan di kepala saya sayangnya tidak bisa dijawab oleh rahim ataupun pelatihan dan buku-buku kesehatan reproduksi. 


Karena pertanyaan mendasar saya adalah 'apakah alat reproduksi saya dalam keadaan sehat & baik-baik saja?' hanya bisa dijawab kalau saya bertanya pada ahlinya. Lantas dengan  segenap kesadaran, saya ingin berkonsultasi dengan dokter kandungan atau ginekolog. Tapi niat itu selama 2 tahun terakhir hanya menjadi niat karena selama ini saya mendengar kalau proses pemeriksaan ke dokter kandungan kurang dirasa nyaman bagi perempuan yang belum menikah. Bahkan kalau kita lihat di salah satu film pendek di film "Pertaruhan" dengan judul "Nona/Nyonya", berkonsultasi ke ginekolog seringkali tidak bersahabat dan cenderung penuh dengan tekanan. Jadi di satu sisi saya ingin pergi memeriksakan alat reproduksi, tapi di sisi lain saya males diperlakukan seperti itu dan tidak tahu harus pergi ke dokter mana yang bersahabat dengan perempuan belum menikah. Saya sempat bertanya ke beberapa orang dan organisasi, ginekolog mana saja yang direkomendasikan. Tapi sejauh itu, saya belum "berani" untuk berhadapan langsung dengan ginekolog untuk konsultasi, pap smear, dan pemeriksaan lain. 


Jadilah hari ini (7 April 2011), salah satu hari yang bersejarah dalam hidup saya. Atas rekomendasi seorang teman, saya mendatangi Rumah Sakit Bunda (yang di Teuku Cik DItiro) untuk periksa ke dr.Irham Suheimi SPoG. Terus terang, sehari sebelumnya saya deg-degan dan membayangkan banyak hal yang menyeramkan. Tentang bagaimana nanti anehnya 'mengangkang' di depan orang yang baru dikenal. Tentang bagaimana rasanya melakukan pap smear. Tentang hasil pemeriksaan apakah saya sehat atau tidak. Tentang bagaimana kesan pertama si dokter terhadap saya. Dan masih banyak tentang yang lain membayangi pikiran saya. Karena pengalaman ini mungkin akan dialami oleh perempuan lain, saya berbagi pengalaman saya. Dengan segenap keberanian, saya masuk ke ruangan periksa dan berhadapan dengan dokter pria yang akan memeriksa vagina saya, phiuhhh....


Jauh dari ketakutan saya, dr.Irham sangat bersahabat dan interaktif dalam mendorong saya untuk mengemukakan keluhan-keluhan yang saya punya. Ketika berkenalan, saya tidak ditanya Nona/Nyonya ataupun Sudah menikah? tapi hanya pertanyaan 'apakah sudah pernah berhubungan?'. Kemudian hal yang ditanyakan di awal adalah 'apakah sudah pernah periksa ke ginekolog sebelumnya?'. Dengan polosnya, saya curhat kalau saya deg-degan karena ini kali pertama dan saya menjelaskan berbagai keluhan yang saya alami, dari siklus haid, keputihan, sampai sindrom menjelang haid. Dengan santai dr. Irham menjawab pertanyaan-pertanyaan awam saya dan memberikan penjelasan informatif tentang keluhan saya. Dia kemudian menyarankan saya untuk Pap smear dan USG untuk mendeteksi apakah ada yang tidak beres dengan vagina dan rahim saya. 


Sampailah saya pada bagian 'harus' membuka kaki dengan lebar dan duduk di kursi khusus untuk diperiksa dan Pap Smear. Sempat merinding saat melihat alat-alat yang akan dimasukkan, sempat lemas juga waktu liat obat dan kapasnya. Saya berkali-kali bertanya apakah sakit atau tidak, tapi dokter Irham berhasil membuat saya lebih tenang untuk menjalani pemeriksaan dengan meyakinkan bahwa tidak sakit. Momen sekitar 15 menit ini menjadi momen yang berkesan karena rasanya campur aduk, antara takut sekaligus berusaha untuk berani memeriksakan diri. Setelah pap smear selesai, saya melakukan USG. Saya bisa melihat rahim saya dan dr.Irham memberikan beberapa penjelasan tentang kondisi rahim saya. Bagaimana indung telurnya dan gejala apa yang mungkin muncul di rahim saya. Ini juga menjadi momen saya bisa berbicara dengan rahim tapi dengan perantara si dr. Irham :)


Setelah pemeriksaan, dr. Irham memberi saya beberapa nasehat untuk menjaga kesehatan alat reproduksi saya dan mengingatkan saya untuk segera periksa kalau ada yang tidak beres. Dengan perasaan lega seperti habis selesai tes IELTS, saya keluar dari ruang konsultasi dan langsung ke kamar mandi karena 'after taste' dari proses pap smear dan USG sedikit membingungkan saya. Tapi di luar itu saya sangat lega karena bisa berbicara dengan rahim saya melalui dr.Irham sebagai perantaranya, saya jadi tahu bagaimana 'kabar' Rahim saya di dalam sana. 



Di luar perasaan lega tersebut, muncul keresahan lain di benak saya. Ok, mungkin saya beruntung bisa mengakses pelayanan seperti ini lengkap dengan konsultasi dengan ginekolog yang berasahabat terhadap pasien yang belum menikah. Tapi apa kabar jutaan perempuan lain di luar sana? Yang tidak pernah berpikir untuk periksa ke ginekolog?  Mungkin mereka belum punya kesadaran tentang kespro, mungkin mereka takut ke ginekolog karena belum menikah, mungkin di daerahnya nggak ada ginekolog karena cuma ada dukun atau bidan, mungkin pelayanan se-nyaman saya tadi tidak bisa diakses dengan biaya murah atau gratis, atau mungkin mereka tidak punya akses sama sekali. 


Ada banyak kemungkinan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia dalam keterbatasannya mengakses layanan kespro. Jangan heran kalau angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, 228 per 100.000 (2007-Depkes) dan jumlah penderita kanker serviks di Indonesia termasuk kedua tertinggi di dunia (sekitar 270.000 perempuan di Indonesia meninggal dunia). Selain karena cakupan tenaga medis profesional di Indonesia masih terbatas, tentunya anggapan bahwa layanan seperti periksa ke ginekolog, melakukan pap smear, kontrasepsi hanya bisa diakses oleh orang yang menikah atau harus didampingi orang tua, menjadi penyebab fenomena gunung es ini. Apalagi ketika ingin mencoba untuk pap smear seringkali hanya untuk yang sudah menikah karena takut nanti tidak perawan lagi. Anggapan paling konyol menurut saya, karena ini masyarakat lebih mementingkan keperawanan daripada keselamatan dan kesehatan perempuan. 


Bisa dibayangkan betapa sulitnya jutaan perempuan di Indonesia untuk mengakses pelayanan kespro pada tenaga medik profesional. Jumlah dokter kandungan di Indonesia saja hanya 2200 orang menurut Himpunan Obstetri Ginekolog Seluruh Indonesia, coba bandingkan dengan jumlah perempuannya 118.048.783 juta orang (hayo ini PR untuk mahasiswa kedokteran :p).Untung ada bidan dan dukun tradisional yang menjadi 'garda depan' bagi layanan kespro di daerah yang tidak terjangkau. Itupun jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sungguh mengenaskan bagi saya, tentu saya yakin  pemerintah tidak sanggup memenuhi poin ke 5 MDGs. Jangankan menjamin kesehatan ibu dan perempuan, pemerintah lebih suka membiarkan privatisasi layanan kesehatan dan membatasi anggarannya. Ckckckck... Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sebuah bangsa tidak mempedulikan nasib perempuan. *Sigh


Seandainya rahim bisa ngomong dan bercerita tentang keadaannya, mungkin ada banyak kematian dan penyakit yang bisa dicegah. Sayangnya, semua perempuan (apapun statusnya) membutuhkan "perantara" untuk berbicara dengan rahimnya. Perempuan membutuhkan akses layanan kespro untuk kelanjutan hidup baik dirinya maupun sebuah bangsa. 

 
design by suckmylolly.com