Gadis Kota Menuju Surga Megalitikum
Pintu masuk situs Gunung Padang
Trangia Beraksi
Batu Berbunyi
Suatu hari di tengah sebuah pelatihan ada seorang teman yang memberi tahu tentang Gunung Padang, sebuah bukit yang menjadi lokasi punden berundak dari era megalitikum. Letaknya di atas pegunungan dan di puncaknya berserakan batu-batu besar dengan susunan teratur dan acak. Kemudian Ia mengajak saya untuk pergi ke sana. Kami berdua memang terpesona dengan foto-foto di Google yang menggambarkan situs megalitikum ini. Tapi katanya, kalau mau bermalam di sana harus berkemah atau membawa tenda. Berkemah? Di Situs megalitikum? Kita berdua langsung antusias membayangkan berada dalam kemah di puncak Gunung Padang lalu diculik oleh Alien yang turun dari UFO. Sebuah pelarian yang tak akan sia-sia pastinya.
Beberapa hari kemudian, saya menawarkan ide kemah di Gunung Padang ini ke seorang teman lama, dan tanpa perlu basa-basi, dia pun antusias. Bahkan waktu yang dijadwalkan setelah lebaran, dipercepat menjadi sebelum lebaran. Langsung saja saya mengirim pesan ke beberapa peserta potensial, dan kemudian teman saya juga memberi tahu beberapa teman lainnya. Setelah akhirnya terkumpul orang-orang yang sudah konfirmasi bisa ikut dalam misi ini, kami baru sadar, bahwa ternyata kita adalah enam perempuan yang amatiran dalam hal kegiatan pecinta alam, dan tentunya jadwal padat a la pekerja kota. Sempat ragu dan mencoba untuk mengukur kemampuan kita semua untuk mewujudkan misi. Tapi kita semua yakin, niat untuk menjawab tantangan ini lebih besar dari komitmen untuk masuk kantor. Alhasil, setelah seorang teman pinjam peralatan kemah, dan yang lainnya sibuk cari sleeping bag, cewek-cewek nekat berangkat ke Gunung Padang dengan mobil rental.
Meskipun awalnya tidak semua peserta misi ini saling kenal, tujuan yang sama dengan cepat mencairkan kita. Waktu perjalanan malam yang dipilih dengan pertimbangan agar tidak bolos kerja lebih banyak dan memanfaatkan sepinya jalan, menjadi tantangan seru. Karena tak satupun dari rombongan pernah ke lokasi, kita hanya bersandar pada ponsel pintar masing-masing dan berpatokan pada sebuah blog yang membahas jalan menuju Gunung Padang: http://cumilebay.blogspot.com. Lewat jalan raya Puncak sampai ke perempatan paling ramai di Cianjur, kita ambil jalan belok kanan ke arah Supermall Cianjur. Lurus terus sampai nanti ada gedung DPRD Cianjur, lurus lagi nanti akan melewati Pasar Warung Kondang. Setelah bertanya dengan ojek, dari pasar ini kita lurus terus, nanti di sebelah kanan akan ada plang Situs Megalitikum dan SMK 1 Cikancana. Masuk ke jalan ini, lurus terus, ikuti jalan dan kata hati. Dan akhirnya kita sampai dengan selamat tapi disambut dengan suara jangkrik. Lama perjalanan yang kita tempuh sekitar 3 jam terihitung dari tol Cibubur. Karena waktu menunjukkan pukul 3.35 dini hari kita tidak menemukan siapapun untuk ditanya (ya iyalah kalaupun ada kita ragu itu manusia). Jadi kita putuskan menunggu sampai terang dan penduduk sekitar terbangun.
Ketika matahari sudah terbit, kita langsung ngobrol dengan petugas yang bertanggung jawab untuk bertanya kita bisa kemah di atas gunung atau tidak. Awalnya si Abah merekomendasikan kita untuk kemah di bawah dekat kita parkir mobil (yang bener aja kan udah niat mau camping) atau menginap di rumah dia. Gambaran yang dia berikan seolah tidak mungkin kemah di atas. Yang mencurigakan, dia langsung membicarakan soal pungutan biaya, dari mulai tiket masuk situs sampai biaya lainnya. Berhubung tekad kita sudah bulat untuk kemah di dekat situs, kita cuek dan tetap membawa perlengkapan untuk dibawa naik ke atas gunung.
Ada dua pilihan jalan naik, yang satu curam tapi lebih cepat, satu lagi terdiri dari banyak tangga tapi tentunya lebih ringan dibanding jalur lainnya. Kita pilih jalan termudah bukan yang tercepat, untuk naik ke atas memakan waktu sekitar 30 menit, termasuk waktu istirahat sebentar karena ngos-ngosan. Perlahan tapi pasti, kita menuju puncak tempat punden berundak. Hamparan batu-batu besar dari peradaban megalitikum yang diduga dibangun 10.900 sebelum masehi. Wow…! Jujur saja ketika baru sampai, saya sempat merasa ada di lain dunia selama beberapa detik. Batu-batunya tersusun tapi terlihat berantakan. Tapi saya sangat terkesan dengan posisi punden berundak di atas gunung yang masih terlihat susunan bangunannya. Bayangkan, apa yang terjadi di sini 109 abad lalu??? Siapapun yang membangun situs ini, pasti peradabannya maju karena lokasinya tentu sulit dan berdasarkan keterangan di http://indocropcircles.wordpress.com/2012/06/01/wow-situs-gunung-padang-cianjur-berusia-109-abad-sebelum-masehi/ hasil pengeboran menunjukkan ada lapisan untuk meredam guncangan gempa. Bisa jadi batu-batu yang jadi pondasi dan lapisan lain (seperti borobudur) tertimbun oleh tanah jadi baru puncaknya yang terlihat jelas bentuknya, Mengingat Indonesia adalah pusat kebudayaan megalitikum Austronesia, ada banyak temuan serupa piramid yang dikenal dengan punden berundak.
Setelah puas berkeliling untuk melihat seluruh bangunan di puncak, kita mencari tempat yang sekiranya layak untuk mendirikan tenda. Bertolak belakang dengan Abah, penjaga di situs justru menganjurkan tempat untuk mendirikan tenda, di dekat situs. Karena situs jadi obyek wisata, kita baru boleh mendirikan tenda di sore hari. Sambil menunggu sore, karena kelaparan dan ingin mencoba trangia, perangkat masak ajaib yang biasa digunakan 'Anak Gunung'. Selama kemah, trangia adalah penyelamat. Alat ini berhasil digunakan dengan bahan bakar spirtus (apinya dipancing dari kertas yang dibakar) dan kita gunakan untuk memasak beraneka macam makanan. Mie instan jadi uji coba pertama yang berhasil dan selanjutnya ovaltine panas juga mengisi perut para gadis kota ini.
Untuk tempat buang air dan sumber air, bisa diakses di sekitar situs, butuh 10-15 menit untuk ke sumber air dekat sawah. Kita harus turun ke bawah dan sedikit curam medannya. Yang jelas kita hanya bisa buang air dan ke tempat ini sebelum gelap, karena lebih berisiko untuk ditempuh malam. Sambil beristirahat, kita sempat melihat lebih dekat bebatuan yang ada di sini. Bentuknya kebanyakan persegi dan ukurannya sama, yah… menurut saya seperti Lego tapi ini materinya batu. Yah mungkin ini Lego before it was cool.
Di Gunung Padang, dimensi waktu sepertinya sehari 35 jam, terasa lambat dan warga kota seperti kami perlu menyesuaikan diri. Bagi yang ingin melarikan diri dari rutinitas serba kilat, tempat ini bisa jadi pembanding rutinitas. Karena belum tidur semalaman, kita gelar sleeping bag untuk tiduran di atas rumput dan bermandikan sinar matahari dengan angin-angin sepoi. Walaupun kita merasa sudah tidur begitu lama, waktu di jam tangan sepertinya tidak jauh beda dengan sebelum kita tidur. Bangun tidur kita berkeliling lagi untuk mengambil gambar dan melihat-lihat batu dari dekat. Beberapa batu bahkan bisa mengeluarkan suara seperti gamelan. Cukup dipukul-pukul dengan tangan, suaranya bisa langsung terdengar. Mungkin kalau Bjork ada kesempatan ke Gunung Padang, batunya akan dibawa untuk instrumen di album selanjutnya.
Di puncak punden berundak ini, kita bisa melihat matahari tenggelam, pemandangan yang sangat bagus. Menikmati pemandangan sambil duduk-duduk di sekitar situs atau bersandar di antara 'lego-lego' megalitikum sambil melamun dan membayangkan kehidupan di sini pada masanya. Karena sudah hampir gelap, kita manfaatkan waktu untuk buang air di bawah gunung dan membangun tenda. Ternyata meskipun newbie, proses memasang tenda tidak terlalu rumit. Menyambut maghrib, sudah waktunya mengisi perut lagi, lalu kita masak lagi dengan Trangia ajaib. Semakin malam, penerangan hanya muncul dari senter yang kita bawa. Berhubung petromaks gagal dinyalakan karena gasnya kurang pas ukurannya. Sebenarnya ada listrik dan lampu di atas, tapi sepertinya tidak berfungsi maksimal, kita hanya sempat charge ponsel di sini sebentar. Lumayan untuk update status...
Dalam satu tenda, kita tidur berenam dengan posisi berjajar rapi seperti sate yang sedang dibakar.
Bukannya menderita, kita justru diuntungkan dengan posisi yang mepet, udara dingin di atas jam 9 malam tidak terlalu terasa. Ketika tidak ada cahaya, kita bisa melihat bintang-bintang dan bulan dari puncak gunung padang dengan jelas. Rasanya sayang untuk terus tidur, jadi kita kembali menyalakan Trangia untuk menghangatkan badan dan tentunya mengisi perut lagi.Sebelum nanti kita turun dan pulang ke Jakarta. Setelah bikin telur ceplok 7 buah, kita membereskan semua perlengkapan. Jam 2 pagi kita turun gunung dengan senter dan beban yang lebih ringan (karena logistik sudah habis). Ternyata jalan pulang memang lebih cepat dan kita bisa sampai parkiran dalam waktu 15 menit. Mengejar waktu pagi sampai Jakarta, kita bergegas untuk jalan pulang.
Tadinya kita pikir, karena sekumpulan amatir, perjalanan ini tidak akan terwujud sebagaimana seharusnya. Pada akhirnya, semuanya berjalan lancar. Keraguan enam gadis kota yang nggak pernah camping dan nggak ditemenin cowok bisa kita patahkan. Walaupun emang selebor semua orangnya, tapi perjalanan berangkat dan pulang berlangsung aman. Kuncinya emang harus nekat kali yah…
Ke Gunung Padang
Lama perjalanan: Kurang lebih 3 jam
Jalur : Tol Jogorawi - Puncak - Cianjur- Pasar Warung Kondang- Cikancana- Gunung Padang
Perlengkapan : Tenda (kalau mau menginap), Makanan, sleeping bag, trangia (portable stove), Petomaks (kalau sampai malam), Senter, Air minum/air bersih, Autan, tisu basah, Sepatu yang tahan medan apapun, Spirtus, korek api.
Biaya : total ber-6 untuk sewa mobil, bensin, dan logistik masing-masing patungan Rp 165.000