Senin, 25 Mei 2009

STOP SHOP AT SWEATSHOP






Ayo kita bikin daftar barang impian yang selama ini ingin kita beli:


Apakah itu sweater garis-garis dan kaos polos merk GAP yang dipakai Pete Wentz di iklannya?


Apakah fashion item pilihanmu itu berupa ankle boots kulit keluaran butik high street asal Spanyol bernama Zara?


Iklan Kate Moss for Topshop membuatmu ingin memiliki one-shoulder dress seperti yang dikenakan oleh supermodel keren itu?


Mungkin kamu sudah lama mengidamkan desain klasik dari celana Levi’s seri 501?


Atau ternyata sepatu Nike Dunk warna-warni limited edition yang harganya bisa membuat kamu stop jajan di kantin sebulan?


Sekilas tidak ada yang salah dengan barang-barang impian tersebut, tapi sepertinya kamu perlu lebih cermat dalam membeli sebuah produk. Bukan saja karena harganya yang mahal tapi kisah dibalik sweater garis-garis GAP atau sepatu Nike itulah yang perlu kita ketahui. Produk-produk keluaran merk global ternama itu sebenarnya memiliki harga lebih dari sekedar angka yang mereka cantumkan di labelnya. Ada banyak produk yang kita konsumsi sehari-hari atau fashion item yang membuat kita terlihat trendi setiap saat, berasal dari Sweatshop. Hmmm… toko apakah itu Sweatshop? 


Sweatshop adalah sebutan untuk pabrik atau tempat produksi (workhsop) yang memperkerjakan karyawan atau buruhnya dengan upah rendah, jam kerja yang panjang, tanpa jaminan dan dalam kondisi yang tidak layak. Istilah Sweatshop berangkat dari era awal revolusi industri (1830) untuk menyebut “Sweater” tipe orang yang menjadi perantara bagi pemilik modal dan pekerja yang memeras tenaga atau keringat (sweat) para pekerjanya dengan kondisi pabrik dan kontrak seperti di atas. 


Seiring dengan berkembangnya dunia industri dan perdagangan yang semakin mendunia, istilah itu tidak hanya berlaku di Inggris, namun identik dengan pekerja di negara berkembang, seperti negeri kita tercinta ini. Di era yang sering disebut sebagai era ‘globalisasi’ ini, proses pembuatan suatu produk tidak harus terletak di tempat merk itu berasal. 


Contohnya sepatu Nike tersebut. Seperti yang kita ketahui, merk Nike berasal dari Amerika Serikat, tetapi jika kita cermati di tag (label) produknya, sering kita jumpai tulisan ‘made in china’, ‘made in vietnam’, bahkan ‘made in Indonesia’. Ketika sudah memasuki era post-industrial, si merk Nike yang tadinya diproduksi di negara asal, mulai memindahkan pabriknya ke negara dunia ketiga. Kira-kira kenapa mereka memilih pabrik yang lebih jauh ya? Jawabannya singkat, hal ini dilakukan untuk mengurangi ongkos produksi. 


Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, standar upah tenaga kerjanya sudah cukup tinggi dan spesialisasinya sudah bergeser menjadi pemasar (marketing) merk, bukan lagi produsen produk. Sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia, standar upahnya masih rendah. Selain itu, peraturan tentang ketenagakerjaannya juga masih longgar, tidak seketat di negara-negara maju. Sehingga akan lebih menguntungkan bagi produsen untuk memindahkan proses produksi di negara dunia ketiga tersebut.


Nah, merk-merk yang disebutkan di atas termasuk beberapa produsen yang memiliki Sweatshop di berbagai negara, seperti Cina, Vietnam, Chile, Indonesia, dan lain-lain. Di pabrik yang menjadi mitra mereka, buruhnya tidak mendapatkan upah yang layak, jaminan kerja, dan jam kerja yang panjang. Semua ini dilakukan demi mengurangi ongkos produksi, sayangnya murahnya ongkos produksi nggak berimbas ke harga produknya. 


Bayangkan, untuk sepasang sepatu Nike yang bukan limited edition saja kita harus membayar minimal Rp 200.000-an bahkan lebih dari Rp 600.000-an. Coba kita bandingkan dengan pendapatan buruhnya yang sebulannya hanya bisa mengantongi Rp 900.000-an yang berarti mereka hanya mendapatkan RP 30.000,-/harinya. Bahkan dari buruh-buruh tersebut ada yang sudah bekerja selama 10 tahun dan pastinya tidak mampu beli sepatu Nike Dunk nan trendi itu.


Kita tentu tidak ingin terlihat fashionable atau gaya di atas penderitaan orang lain kan? Sebagai konsumen, kita sebenarnya punya peran untuk merubah keadaan tersebut. Salah satu caranya adalah menjadai konsumen yang etis (ethical consumer). Jadi kita tidak hanya dibutakan oleh merk ataupun modelnya, tetapi juga memperhatikan asal muasal produk tersebut. Apakah mereka telah memberlakukan perdagangan yang adil lewat penjualan produknya. Sehingga pada akhirnya dengan protes dan boikot, produsen mulai memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. So for now, be ethically fashion darlings!



*Artikel ini akan muncul di rubrik Change_Fashion di Majalah Change (free magazine) klik di sini untuk keterangan lebih lanjut.

0 comments:

 
design by suckmylolly.com