Sudah lama ternyata sejak terakhir kali saya posting di blog ini. Mungkin kemampuan saya untuk berbagi cerita sudah menurun atau mungkin kemauan saya lebih tepatnya sudah tidak ada.
Entah kenapa, saya tiba-tiba merasa rindu untuk berceloteh kembali dalam ruang ini. Saya ingin merasakan kehangatan saat perasaan dan kegamangan bisa dituangkan dalam secangkir blog cokelat hangat.
Saat ini di kepala saya hanya ada 'jarak'. Mungkin jarak tidak terkait dengan kondisi geografis, bisa jadi dia menjadi konsekuensi dari kedekatan secara fisik. Kita bisa berkata bahwa kita ingin menjaga 'jarak' dengan seseorang. Katakanlah dia seorang eks teman atau eks pacar. Tapi apa gunanya jaga 'jarak' dalam pengertian komunikasi atau fisik jika ternyata setiap hari kita ingin 'dekat' secara maya (baca: stalking). Secara berkala mantengin linimassa, selalu sigap dengan kabar terbaru di situs jejaring sosial, atau untuk kasus yang lebih akut, memanfaatkan google sebagai cara untuk terus memantau orang tersebut.
Jarak menjadi sesuatu yang relatif, itu pasti. Tapi sampai seberapa jauh kita bisa mengukur relatifitas tersebut? Saya dan Nicholas Saputra tentu ber'jarak', kami tidak saling mengenal. Meskipun saya bilang saya kenal dan tahu Nicsap, yang saya tahu pasti hal ini tidak terjadi sebaliknya. Tidak ada dalam lingkaran pertemanan saya yang mengenal dia dan sebaliknya juga bagi dia. Saya dan dia punya 'jarak' yang jauh, itulah faktanya.
Bicara jarak, jauh dan dekat menjadi penting. Relasi kita dengan seseorang atau sesuatu dan bagaimana cara menggambarkan jaraknya adalah hal yang kita lakukan setiap saat. Sialnya kedua kata sifat ini lebih abstrak dibanding jarak itu sendiri. Ada seorang teman yang cerita bahwa dia sedang 'jauh' dari keberuntungan, seakan keberuntungan adalah teman 'dekat' yang kemudian bermusuhan dengannya. Ada lagi yang curhat kalau dia sedang 'dekat' dengan seorang perempuan tapi dia bahkan tidak tahu perempuan tersebut anak ke berapa.
Ada dua hal yang akan membunuh kita perlahan, jarak dan waktu. Tapi buat saya, jarak lebih menakutkan dan terkadang sulit dinegosiasikan. Kita mengenal 'time mangement' tapi asing dengan 'distance management'. Kalau waktu bisa diatur, lantas apa sulitnya mengatur jarak? Toh sopir metromini dan keneknya bisa membuat aturan Jauh-Dekat Rp 2.000 sehingga jauh dan dekat tidak beda harga yang harus dibayar. Sayangnya, jarak dalam hidup ini tidak bisa menggunakan standar metromini, jadi kita harus terus menyesuaikan dan bermain petak umpet dengan jarak. Jadi ingin lari se'jauh' mungkin tapi tetap ada di 'dekat' orang yang kita sayang… (#abaikan)
0 comments:
Posting Komentar