Sudah sebulan lebih saya menghabiskan lebih banyak waktu di kamar kosan. Maklum sebagai semi-pengangguran (baca: freelance) saya punya target untuk menamatkan tumpukan dvd dan buku yang sudah jauh lebih lama 'nganggur' semasa saya bekerja. Saya memilih untuk menarik diri dari perbincangan seputar politik dan sejenisnya dan tidak ingin mengikuti berita apapun terkait peristiwa aktual di negeri ini. Mungkin saya ingin merasakan ketenangan sejenak dengan mengambil peran acuh tak acuh terhadap segala persolan pelik tentang pembangunan. 9GAG dan situs sejenisnya lebih menarik ketimbang situs warta, linimasa hanya membuang waktu, dan televisi hanya seru saat Morgan Sm*ash muncul.
Tapi ada satu berita yang sepertinya sulit untuk dilewatkan karena orang-orang di sekitar saya terus membahasnya dengan cukup heboh. Memang tidak seheboh kasus Xenia, tetapi gaungya cukup terasa karena beberapa dari mereka mengaku terkena imbasnya. Saat semua orang membahas 'Demo Buruh Di Cikarang', saya awalnya hanya bisa berdoa dalam hati agar upaya mereka tidak sia-sia. Menyebalkan memang, tipikal manusia cari aman dan apatis. Namun pergerakan buruh selalu menarik bagi saya, setidaknya mereka tidak butuh BB atau akun twitter untuk menggerakkan ribuan masa yang berani berbicara atas nama keadilan mau turun ke jalan, memblokir jalan tol, dan membuat pengendara mobil serta komuter menjerit/mengeluhkan kemacetan di akun twitternya.
Praktis saya pun tergerak untuk mencari tahu berita terkini tentang isu ini. Saya langsung mencari berita atau pembahasannya di Google. Berharap mendapatkan tautan bermutu tentang analisis demo buruh di cikarang, yang saya lihat sampai halaman 4 di laman pencarian hanyalah judul yang tak jauh dari "Demo Buruh di Cikarang Menutup Pintu Tol Menyebabkan Kemacetan". Dari situs macam Detik sampai Kompas dan situs berita lainnya. Salahkan pembacaan logaritma komputer saya yang hanya berhasil menjaring hasil pencarian dengan judul seperti itu. Alih-alih membaca berita yang membahas tuntutan dan proses negosiasi ataupun upaya pemerintah, yang saya dapatkan hanya penjelasan kenapa jalan tol ke Bekasi-CIkarang macet bukan kepalang.
Saya jadi ingat percakapan di dalam sebua kelompok pesan instan yang membahas demo buruh sebelumnya di depan Gedung DPR/MPR yang juga menyebabkan kemacetan. Ada yang bilang kalau demo seharusnya juga memperhatikan kepentingan orang lain, jangan sampai merepotkan orang lain dengan kemacetan. Dan mungkin ada ribuan kicauan di Twitter yang beranggapan sama dan merasa terbebani dengan demo buruh yang bikin macet. Katakanlah demo/menyampaikan pendapat adalah hak semua warga negara dan peserta demo memang mencapai ribuan, sudah pasti kemacetan menjadi tidak terhindarkan. Muncul kekesalan karena demo mereka bisa menyebabkan kita terlambat, tua di jalan, atau frustasi di dalam kendaraan. Mungkin sebelum melihat Demo Buruh sebagai sumber kemacetan, warga kota bisa kilas balik tentang betapa konyolnya penyebab kemacetan di Jabodetabek. Dari angkot yang ngetem, kecelakaan, putar balik , belokan, atau sesimpel 'ya… udah kebanyakan aja kendaraannya'. Yang ingin saya katakan di sini adalah setidaknya kemacetan dan keterlambatan Anda di jalan tidaklah sia-sia. Karena ada ribuan manusia yang menuntut kenaikan upah, suatu 'cause' atau tuntutan yang sangat mendasar dan jauh lebih wajar daripada menuntut keluar dari kemacetan.
Saat itu, para buruh menentang Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menggugat keputusan Gubernur Jawa Barat terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) melalui SK NO.561/Kep.1540-Bansos/2011 yang menetapkan UMK Bekasi sebesar Rp 1.491.866,-,Upah kelompok II Rp 1.715.645,- dan Kelompok I Rp 1.849.913,- melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Bandung. Ribuan buruh memperjuangkan kesejahteraan mereka yang terancam oleh gugatan pengusaha tersebut. Sebelumnya (2010) pemda Bekasi menetapkan UMK sebesar Rp 1.155.000. Jadi dalam setahun kenaikan upah yang hanya sekitar RP 336.866 masih ingin digugat oleh para pengusaha. 'Battle' yang tidak pernah berakhir ini dipicu oleh logika pengusaha yang tentunya cenderung menganggap kenaikan upah akan berdampak pada profit dan ongkos produksi.
Saya pernah terjebak dalam kemacetan di Gatot Subroto, saat peringatan May Day dimeriahkan oleh ribuan buruh yang turun ke jalan. Dari atas bis kota saya merinding melihat semangat mereka di tengah terik panas dan beban berat untuk menghidupi keluarganya tidak mencegah mereka untuk beraksi. Lain waktu, saya pernah terjebak macet luar biasa saat hari terakhir kampanye Pilkada Jakarta. Jujur, saya jauh lebih ikhlas terjebak macet di tengah para buruh dibanding masa kampanye. Sekilas mungkin tuntutan buruh tidak relevan dengan aktivitas sehari-hari kita atau mungkin lebih tepatnya kita memilih tidak mau tahu. Yang mau kita tahu adalah cepat sampai tujuan di jalan dan bisa langsung nge-charge gadget yang mulai lowbat. Maafkan kesinisan saya, tapi kita bisa pertanyakan lagi pada diri kita, betapa tuntutan para buruh yang bikin kita stuck lebih dari 3 jam di jalan, adalah tuntutan mendasar kita semua. Kita ingin keadilan dan keberpihakan terhadap masyarakat bukan lobi-lobi omong kosong pemerintah dan kelompok pengusaha. Mungkin sebenarnya kita pernah mengutuk para buruh yang menuntut kenaikan upah sebagai biang kemacetan, mungkin kita takut juga kalau upah mereka naik berarti harga barangnya akan naik juga dan kita akan kerepotan menghadapi kenaikan harga barang. Tapi buruh sama saja dengan kita semua, kalau harga naik mereka juga terkena imbasnya, mereka juga mengonsumsi, mereka ingin menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Jadi singkat kata, secara mendasar apa tuntutan mereka adalah bagian dari kebutuhan dan tuntutan kita juga.
Pertanyaan yang menarik dari tulisan panjang dan tidak jelas ini adalah:
Siapakah 'kita' yang dimaksud di sini? Kelas yang mana?
bantu saya untuk menjawabnya :p
1 comments:
Kita-nya Sheila on 7 mungkin, kakak apra! :p
Duh kesusahan kena macet mah ga ada apa2nya dibanding kesusahan buruh2 yg nuntut upahnya naik
Posting Komentar