Kamis, 23 Agustus 2012

BLUR: No Distance Left To Run


Lebih dari Sekedar Teman Nge-Band




Ada banyak DVD dokumenter band yang beredar di dunia ini, legendaris atau tidaknya tergantung bagaimana Anda memandang band tersebut. Ada dokumenter yang tragis, menginspirasi, ataupun yang penuh haru berkat cerita yang dijadikan angle dalam film tersebut. Sejumlah band yang mengeluarkan dokumenter biasanya memang punya fans fanatik yang setia pada musik dan gaya hidup band tersebut. Bisa berkisah tentang perjalanan dari panggung ke panggung atau bahkan spesifik mengangkat satu cerita yang paling menonjol dari band. Yang jelas dari dokumenter sebuah band kita serasa sedang melihat para personilnya curhat dengan meminjam bingkai kacamata si sutradara film, entah dalam bentuk wawancara langsung atau bahasa visual diiringi lagu karya band itu sendiri. Dari sekian sedikit dokumenter band yang pernah saya tonton sejauh ini, dvd BLUR: No Distance Left To Run merupakan film paling berkesan bagi saya. Pandangan yang subyektif ini tentu berlandaskan kecintaan saya pribadi terhadap mereka, atau lebih tepatnya band-band satu generasi dengan Blur. Lebih dari itu, dokumenter ini menceritakan perjalanan naik-turun, lepas-terikat, jauh-dekat sebuah persahabatan yang diiringi puluhan lagu keren hasil 'jamming' mereka. 






Namun harus diakui bahwa kehadiran Blur dalam industri musik Inggris, ataupun dunia, memberi dorongan pada sebuah gelombang yang lebih besar, yang selama ini kita kenal dengan istilah 'Britpop'. Meskipun Blur bukan satu-satunya pendekar dalam ilmu persilatan ini, band ini punya lirik-lirik lagu penanda sebuah generasi pasca-Thatcher. Band ini juga terbentuk bukan hanya dari pertemenan kuliahan semata, tetapi juga persahabatan yang dimulai sejak kecil. Mereka pernah merajai tangga lagu Inggris, beberapa kali jadi Artist of The Month MTV, bersaing dengan band satu angkatan 'OASIS', hingga akhirnya ditinggalkan satu personil handalnya Graham Coxon. Seluruh latar belakang tersebut lebih dari cukup untuk membungkus dokumenter ini. 

Yang menarik dari kisah drama bumbu britpop-nya BLUR adalah akhir kisah mereka hingga detik ini. Jika ada banyak band yang ditinggal personilnya berakhir dengan bubar, punya band berformasi baru atau bahkan bikin band baru, BLUR punya dasar yang lebih kuat dibandingkan harus bubar selama-lamanya. Di tahun 2000 setelah album "13" menguasai tangga lagu di mana-mana dengan single Song 2, Coffee & TV, dan Tender, Graham Coxon keluar dari band untuk kemudian memproduksi album solo. Keluarnya Graham Coxon yang dianggap sangat berpengaruh dalam musikalitas Blur membuat semua personil kecewa, walaupun di satu sisi membuat media berbahagia punya bahan cerita. TIdak ada yang tahu pasti (baik media ataupun para fans) apa penyebab perpecahan ini. Yang ada hanya berita media menjadikan kisah ini drama dalam panggung musik anak muda pada zamannya. Seperti yang saya bahas sebelumnya, dokumenter ini memberi kesempatan masing-masing personil untuk curhat dan memaparkan apa yang sebenarnya terjadi dan mereka rasakan di saat ambang kehancuran tersebut. 

Dokumenter ini direkam sejak tahun 2008, saat pertama kali BLUR mengumumkan bahwa mereka akan kembali ke panggung dengan formasi seperti sedia kala di konser Hyde Park London Juli 2009. Berita ini menggemparkan dunia musik Inggris mengingat kisah mereka berakhir setelah perginya Graham Coxon dan album Think Tank yang dianggap 'berbeda' dari musikalitas BLUR. Film dimulai dengan sesi awal mereka kembali lagi ke dalam studio. Mereka memulai band dengan badan kurus dan rambut belah samping, kini mereka berkumpul lagi di studio dengan perut buncit dan sedikit keriput. Adegan bercanda antara Damon dan Graham menjadi bahasa visual yang menjawab rasa penasaran. Lewat latihan-latihan band ini mereka terlihat tidak terlalu bermasalah dengan yang namanya 'chemistry' setelah 7 tahun berpisah. Satu pernyataan Damon yang berkata  "Kami semua adalah anak laki-laki yang tidak punya saudara laki-laki dalam keluarga, jadi BLUR seperti sebuah persaudaraan laki-laki (broterhood) dalam arti nyata".

Berangkat dari nostalgia masa kecil Damon dan Graham, film ini menjembatani kisah kilas balik dengan alur yang rapih tapi tidak membosankan. Tur-tur reuni mereka di panggung-panggung awal seperti Goldsmith Student Union dan Colchester membuat cerita kenangan mereka lebih kontekstual. Wawancara dengan masing-masing personil juga mampu menyingkap pemikiran dan tujuan mendasar dari BLUR itu sendiri. Sebagai sebuah band yang dibaptis menjadi pionir Britpop, ternyata Graham Coxon dan personil lainnya tidak pernah mencetuskan istilah tersebut. Di satu sisi, Damon mengakui bahwa semangat "nasionalisme"-nya menanggapi serbuan budaya populer Amerika ke Inggris, menjadi ambisi tersendiri untuk 'menguasai' dunia musik Inggris. Perjalanan BLUR dari scene indie hingga meraih penghargaan Brit Awards memberikan gambaran bagaimana tekanan industri dan popularitas berdampak pada salah satu personil mereka, Graham Coxon. Mungkin BLUR adalah satu dari banyak band yang tidak menduga mereka akan berada dalam titik puncak yang kental dengan gosip media dan motivasi komersil. Seperti yang dikemukakan oleh Graham Coxon dalam wawancara, apa yang mereka capai di album 13 bukanlah sesuatu yang Ia bayangkan dan idamkan sebelumnya. 

Dalam fase vakum mereka, masing-masing personil menjalani kehidupan dan proyekannya masing-masing. Banyak hal lucu yang diceritakan oleh para personil tentang fase ini, seperti bagaimana Graham Coxon berusaha untuk menghindar dari Damon ketika melihatnya di kebun binatang di London. Fans adalah alasan paling kuat bagi sebuah band bertahan atau berkumpul lagi. Sensasi ribuan orang bernyanyi bersama dan mengelu-elukan BLUR menjadi hal yang paling dirindukan oleh semua personil. Dokumenter ini memaparkan dengan jelas saat-saat mereka masih muda dan berbahaya bermusik tanpa beban, mencapai puncak dan menikmati kesuksesan, berselisih cara pandang hingga kemudian pecah, masa-masa refleksi masing-masing personil saat vakum, hingga reuni kembali untuk saling memaafkan dan berkarya dengan konteks saat ini. 

Dokumenter BLUR tidak bertele-tele sehingga durasinya cukup dan tidak membosankan (98 menit). Diselingi dengan aksi-aksi pangung serta bumbu kisah cinta Fairy Britpop Tale Damon Albarn dan Justine  Frischman, film ini seru. Melihat betapa sebuah persahabatan menjadi dasar yang paling penting dan bermakna dalam sebuah band, bukan band dengan masing-masing personil yang butuh nge-band. BLUR adalah sekumpulan laki-laki seperti saudara sendiri yang butuh persahabatan untuk nge-band. Dengarkan saat mereka manggung memainkan Tender, simak ketika semua penonton saling bersautan menyanyikan part "oh my baby, oh my, oh my". Momen yang bisa membuat semua personil BLUR terharu dan dijamin membuat penonton filmnya merinding. 





Senin, 20 Agustus 2012

Ada Sastra dalam Keluarga




Catatan untuk Kakek Oes


Sekitar dua minggu yang lalu, ada kabar duka yang hadir di tengah keluarga pada bulan puasa. Saudara dari keluarga besar papa ada yang meninggal. Beliau adalah Kakek Oes, suami dari Mama Ena, saudara dari papa yang pernah merawat papa waktu kecil. Saya memang bukan tipikal 'Family Woman', saya termasuk jarang tampil dalam acara dan kunjungan keluarga. Saya secara pribadi tidak mengenal dekat Kakek Oes meskipun keluarga saya sering berkunjung ke rumahnya. Saya lebih mengenal anaknya Kak Keny misalnya atau Mama Ena. Ditambah dengan faktor kesehatan Kakek Oes yang sudah tidak sebaik dulu. Kakek Oes memang sudah lama sakit karena usia dan komplikasi penyakitnya semakin memburuk dari waktu ke waktu. 

Lepas dari dekat atau tidaknya relasi saya dengan Kakek Oes, saya selalu senang mengunjungi rumah beliau sekeluarga di daerah Sawangan. Karena di sana ada rak-rak buku yang menjadi perpustakaan Kakek Oes. Isi raknya sudah lama membuat saya jatuh cinta. Pertama kali membaca biografi Tan Malaka karya Poeze adalah pengalaman menakjubkan hasil dari koleksi buku Kakek Oes. Setiap ke rumahnya saya pasti 'ngejogrog' di depan rak, mengorek-ngorek susunan buku, melihat judulnya, mencari buku sampai tulang leher pegal, kemudian kalau ada yang menarik langsung saya baca di tempat. Saya pernah bertanya ke papa, apa profesi Kakek Oes sebelumnya dan papa hanya menjawab bahwa beliau adalah seorang wartawan senior. Jawaban yang memang menjawab pertanyaan saya kenapa koleksi bukunya sekeren itu, tapi sebenarnya jawabannya terlalu singkat dan masih menyisakan rasa penasaran. 

Sore tadi saya sekeluarga berkunjung ke rumah Sawangan dengan niat silaturahmi lebaran. Mengingat sepeninggal Kakek Oes tentu rumah Sawangan jadi lebih sepi, keluarga saya berniat menemani istri dan anak-anaknya di hari lebaran. Mengulang kebiasaan saya sebelumnya, setelah berbincang-bincang, saya langsung nangkring di depan rak. Kal ini saya lebih 'berani' dalam mengambil buku-buku, dengan harapan siapa tahu saya bisa mendapat hibah. Ternyata Mama Ena langsung menawarkan ke saya untuk membawa buku yang saya suka. Praktis begitu lampu hijau dinyatakan oleh Mama Ena, saya kalap untuk ambil buku ini dan itu. Kemudian saya perlihatkan buku-buku yang ingin saya bawa pulang. Mama Ena langsung mengambil buku "Angkatan 66" kompilasi buatan HB Jassin yang berisi pusi dan prosa penanda zaman tersebut. Mama Ena langsung bilang kalau di dalam buku ini puisi-puisi karya kakek Oes dimuat. Saya langsung terkejut. "Hah??? Ada sastrawan di keluarga ini dan gue baru tahu??? Dosa besar lo fra!"






Kita langsung cari di daftar isi nama Kakek Oes (saya baru tahu nama lengkap dan nama pena beliau) yang tertera di situ adalah "Indonesia O'Galelano". Saya langsung membaca puisi-puisi beliau yang khas Angkatan '66. Ternyata Kakek saya seangkatan Ramadhan K.H. AA Navis and the gank. ckckckck… Angkatan pasca 45 ini adalah para sastrawan yang meramaikan masa kejayaan majalah Horison dan majalah-majalah kebudayaan lainnya. Ciri khasnya biasanya temanya berlandaskan pancasila dan pada waktu itu diidentikkan dengan Geng Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang sering dipertentangkan dengan Geng Lekra. Kalau melihat lagi latar belakang Kakek Oes yang memang serumpun dengan Kakek saya, beliau adalah muslim yang aktif berorganisasi dan memunculkan unsur-unsur islami dan ketuhanan dalam karyanya. Kakek Oes dulu pengurus Badan Musyawarah Islam dan Pusat Himpunan Seni-Budaya Islam. Beliau juga pernah menjadi wartawan harian Pelita. Wajar kalau beliau dekat dikelompokkan dalam angkatan '66, yang memang cenderung menentang ide-ide komunisme yang diusung Lekra. 

Puisi-puisi karya Kakek Oes rata-rata cukup panjang dan temanya biasanya seputar tanah kelahirannya kepulauan Halmahera, Islam atau Tuhan, dan percintaan. Berikut untuk mengenang Kakek Oes dengan nama pena Indonesia O'Galelano, saya sertakan puisi beliau yang jadi favorit saya. Saya akan mengabadikan nama beliau yang makin tergerus dengan sistem pendidikan Indonesia yang kurang menghargai apresiasi sastra ini dengan berbagai cara. Semoga Kakek Oes damai di sisi-Nya…


Diambil dari http://www.puisi.web.id/index/6/0/0/211
Berceritalah Padaku, Ya Malam 
oleh: Indonesia O'Galelano 

Berceritalah padaku, ya malam
bisikkan sedanmu dalam tingkah gerimismu.
Kunantikan di sini, daku setia menunggumu,
hingga kutahu rahsia wajahmu yang kelam.
Menangislah padaku sampai langkahmu jauh melarut.
Mengaduhlah padaku bersama angin surut ke laut.

Rinduku padamu tumpas dalam relung sunyi ronggamu.
Rinduku padamu adalah cinta menjulang langit kelabu.
Kekelaman apakah yang kan kausampaikan,
rahsia siapa yang lama sembunyi kausimpan.
Terasa dukakulah yang sarat kaukandung,
sebab sunyi heningmulah yang lena kusanjung.

Malam yang kekal berahsia,
bukankah padaku segala mimpi.
Malam yang larut oleh derita,
menghampirlah padaku tanpa gelisah sangsi.
Mengapa gelisahmu menyiksa cengkerik dan unggas,
mengapa lagumu tersendat dalam kehendak bebas.

Tak kutahu kapan angin yang lewat kan menengokku
dalam perjalanan singkat menyiulkan lagu sedih.
Adakah bintang—bintang yang berkelipan tahu
akan nasib dunia yang dingin dan tua.
Sekarang kudengar ciap kecil anak—anak burung,
di sini berkisah bumi dan bulan dalam khayal agung,

Berceritalah padaku, ya malam, berceritalah.
Datanglah padaku, bisikkan sebuah kisah
tentang cinta yang kan kusimpan sebelum tidur,
tentang manusia yang lelap dalam mimpi semakin kabur.

Adakah kediamanmu sungguh dalam sepi dan duka,
Adakah mam dan kakimu perkasa sepanjang masa.
Ya, malam yang anggun,
rahasiamu diam sepanjang tahun!


Jumat, 17 Agustus 2012

#GIRLSCAMP vol.1 : Gunung Padang




Gadis Kota Menuju Surga Megalitikum


Pintu masuk situs Gunung Padang








Trangia Beraksi







Batu Berbunyi 




Suatu hari di tengah sebuah pelatihan ada seorang teman yang memberi tahu tentang Gunung Padang, sebuah bukit yang menjadi lokasi punden berundak dari era megalitikum. Letaknya di atas pegunungan dan di puncaknya berserakan batu-batu besar dengan susunan teratur dan acak. Kemudian Ia mengajak saya untuk pergi ke sana. Kami berdua memang terpesona dengan foto-foto di Google yang menggambarkan situs megalitikum ini. Tapi katanya, kalau mau bermalam di sana harus berkemah atau membawa tenda. Berkemah? Di Situs megalitikum? Kita berdua langsung antusias membayangkan berada dalam kemah di puncak Gunung Padang lalu diculik oleh Alien yang turun dari UFO. Sebuah pelarian yang tak akan sia-sia pastinya.

Beberapa hari kemudian, saya menawarkan ide kemah di Gunung Padang ini ke seorang teman lama, dan tanpa perlu basa-basi, dia pun antusias. Bahkan waktu yang dijadwalkan setelah lebaran, dipercepat menjadi sebelum lebaran. Langsung saja saya mengirim pesan ke beberapa peserta potensial, dan kemudian teman saya juga memberi tahu beberapa teman lainnya. Setelah akhirnya terkumpul orang-orang yang sudah konfirmasi bisa ikut dalam misi ini, kami baru sadar, bahwa ternyata kita adalah enam perempuan yang amatiran dalam hal kegiatan pecinta alam, dan tentunya jadwal padat a la pekerja kota. Sempat ragu dan mencoba untuk mengukur kemampuan kita semua untuk mewujudkan misi. Tapi kita semua yakin, niat untuk menjawab tantangan ini lebih besar dari komitmen untuk masuk kantor. Alhasil, setelah seorang teman pinjam peralatan kemah, dan yang lainnya sibuk cari sleeping bag, cewek-cewek nekat berangkat ke Gunung Padang dengan mobil rental.

Meskipun awalnya tidak semua peserta misi ini saling kenal, tujuan yang sama dengan cepat mencairkan kita. Waktu perjalanan malam yang dipilih dengan pertimbangan agar tidak bolos kerja lebih banyak dan memanfaatkan sepinya jalan, menjadi tantangan seru. Karena tak satupun dari rombongan pernah ke lokasi, kita hanya bersandar pada ponsel pintar masing-masing dan berpatokan pada sebuah blog yang membahas jalan menuju Gunung Padang: http://cumilebay.blogspot.com. Lewat jalan raya Puncak sampai ke perempatan paling ramai di Cianjur, kita ambil jalan belok kanan ke arah Supermall Cianjur. Lurus terus sampai nanti ada gedung DPRD Cianjur, lurus lagi nanti akan melewati Pasar Warung Kondang. Setelah bertanya dengan ojek, dari pasar ini kita lurus terus, nanti di sebelah kanan akan ada plang Situs Megalitikum dan SMK 1 Cikancana. Masuk ke jalan ini, lurus terus, ikuti jalan dan kata hati. Dan akhirnya kita sampai dengan selamat tapi disambut dengan suara jangkrik. Lama perjalanan yang kita tempuh sekitar 3 jam terihitung dari tol Cibubur. Karena waktu menunjukkan pukul 3.35 dini hari kita tidak menemukan siapapun untuk ditanya (ya iyalah kalaupun ada kita ragu itu manusia). Jadi kita putuskan menunggu sampai terang dan penduduk sekitar terbangun. 

Ketika matahari sudah terbit, kita langsung ngobrol dengan petugas yang bertanggung jawab untuk bertanya kita bisa kemah di atas gunung atau tidak. Awalnya si Abah merekomendasikan kita untuk kemah di bawah dekat kita parkir mobil (yang bener aja kan udah niat mau camping) atau menginap di rumah dia. Gambaran yang dia berikan seolah tidak mungkin kemah di atas. Yang mencurigakan, dia langsung membicarakan soal pungutan biaya, dari mulai tiket masuk situs sampai biaya lainnya. Berhubung tekad kita sudah bulat untuk kemah di dekat situs, kita cuek dan tetap membawa perlengkapan untuk dibawa naik ke atas gunung. 

Ada dua pilihan jalan naik, yang satu curam tapi lebih cepat, satu lagi terdiri dari banyak tangga tapi tentunya lebih ringan dibanding jalur lainnya. Kita pilih jalan termudah bukan yang tercepat, untuk naik ke atas memakan waktu sekitar 30 menit, termasuk waktu istirahat sebentar karena ngos-ngosan. Perlahan tapi pasti, kita menuju puncak tempat punden berundak. Hamparan batu-batu besar dari peradaban megalitikum yang diduga dibangun 10.900 sebelum masehi. Wow…! Jujur saja ketika baru sampai, saya sempat merasa ada di lain dunia selama beberapa detik. Batu-batunya tersusun tapi terlihat berantakan. Tapi saya sangat terkesan dengan posisi punden berundak di atas gunung yang masih terlihat susunan bangunannya. Bayangkan, apa yang terjadi di sini 109 abad lalu??? Siapapun yang membangun situs ini, pasti peradabannya maju karena lokasinya tentu sulit dan berdasarkan keterangan di http://indocropcircles.wordpress.com/2012/06/01/wow-situs-gunung-padang-cianjur-berusia-109-abad-sebelum-masehi/ hasil pengeboran menunjukkan ada lapisan untuk meredam guncangan gempa. Bisa jadi batu-batu yang jadi pondasi dan lapisan lain (seperti borobudur) tertimbun oleh tanah jadi baru puncaknya yang terlihat jelas bentuknya, Mengingat Indonesia adalah pusat kebudayaan megalitikum Austronesia, ada banyak temuan serupa piramid yang dikenal dengan punden berundak. 

Setelah puas berkeliling untuk melihat seluruh bangunan di puncak, kita mencari tempat yang sekiranya layak untuk mendirikan tenda. Bertolak belakang dengan Abah, penjaga di situs justru menganjurkan tempat untuk mendirikan tenda, di dekat situs. Karena situs jadi obyek wisata, kita baru boleh mendirikan tenda di sore hari. Sambil menunggu sore, karena kelaparan dan ingin mencoba trangia, perangkat masak ajaib yang biasa digunakan 'Anak Gunung'. Selama kemah, trangia adalah penyelamat. Alat ini berhasil digunakan dengan bahan bakar spirtus (apinya dipancing dari kertas yang dibakar) dan kita gunakan untuk memasak beraneka macam makanan. Mie instan jadi uji coba pertama yang berhasil dan selanjutnya ovaltine panas juga mengisi perut para gadis kota ini. 

Untuk tempat buang air dan sumber air, bisa diakses di sekitar situs, butuh 10-15 menit untuk ke sumber air dekat sawah. Kita harus turun ke bawah dan sedikit curam medannya. Yang jelas kita hanya bisa buang air dan ke tempat ini sebelum gelap, karena lebih berisiko untuk ditempuh malam. Sambil beristirahat, kita sempat melihat lebih dekat bebatuan yang ada di sini. Bentuknya kebanyakan persegi dan ukurannya sama, yah… menurut saya seperti Lego tapi ini materinya batu. Yah mungkin ini Lego before it was cool.

Di Gunung Padang, dimensi waktu sepertinya sehari 35 jam, terasa lambat dan warga kota seperti kami perlu menyesuaikan diri. Bagi yang ingin melarikan diri dari rutinitas serba kilat, tempat ini bisa jadi pembanding rutinitas. Karena belum tidur semalaman, kita gelar sleeping bag untuk tiduran di atas rumput dan bermandikan sinar matahari dengan angin-angin sepoi. Walaupun kita merasa sudah tidur begitu lama, waktu di jam tangan sepertinya tidak jauh beda dengan sebelum kita tidur. Bangun tidur kita berkeliling lagi untuk mengambil gambar dan melihat-lihat batu dari dekat. Beberapa batu bahkan bisa mengeluarkan suara seperti gamelan. Cukup dipukul-pukul dengan tangan, suaranya bisa langsung terdengar. Mungkin kalau Bjork ada kesempatan ke Gunung Padang, batunya akan dibawa untuk instrumen di album selanjutnya. 

Di puncak punden berundak ini, kita bisa melihat matahari tenggelam, pemandangan yang sangat bagus. Menikmati pemandangan sambil duduk-duduk di sekitar situs atau bersandar di antara 'lego-lego' megalitikum sambil melamun dan membayangkan kehidupan di sini pada masanya. Karena sudah hampir gelap, kita manfaatkan waktu untuk buang air di bawah gunung dan membangun tenda. Ternyata meskipun newbie, proses memasang tenda tidak terlalu rumit. Menyambut maghrib, sudah waktunya mengisi perut lagi, lalu kita masak lagi dengan Trangia ajaib.  Semakin malam, penerangan hanya muncul dari senter yang kita bawa. Berhubung petromaks gagal dinyalakan karena gasnya kurang pas ukurannya. Sebenarnya ada listrik dan lampu di atas, tapi sepertinya tidak berfungsi maksimal, kita hanya sempat charge ponsel di sini sebentar. Lumayan untuk update status...

Dalam satu tenda, kita tidur berenam dengan posisi berjajar rapi seperti sate yang sedang dibakar. 
Bukannya menderita, kita justru diuntungkan dengan posisi yang mepet, udara dingin di atas jam 9 malam tidak terlalu terasa. Ketika tidak ada cahaya, kita bisa melihat bintang-bintang dan bulan dari puncak gunung padang dengan jelas. Rasanya sayang untuk terus tidur, jadi kita kembali menyalakan Trangia untuk menghangatkan badan dan tentunya mengisi perut lagi.Sebelum nanti kita turun dan pulang ke Jakarta. Setelah bikin telur ceplok 7 buah, kita membereskan semua perlengkapan. Jam 2 pagi kita turun gunung dengan senter dan beban yang lebih ringan (karena logistik sudah habis). Ternyata jalan pulang memang lebih cepat dan kita bisa sampai parkiran dalam waktu 15 menit. Mengejar waktu pagi sampai Jakarta, kita bergegas untuk jalan pulang. 

Tadinya kita pikir, karena sekumpulan amatir, perjalanan ini tidak akan terwujud sebagaimana seharusnya. Pada akhirnya, semuanya berjalan lancar. Keraguan enam gadis kota yang nggak pernah camping dan nggak ditemenin cowok bisa kita patahkan. Walaupun emang selebor semua orangnya, tapi perjalanan berangkat dan pulang berlangsung aman. Kuncinya emang harus nekat kali yah… 



Ke Gunung Padang

Lama perjalanan: Kurang lebih 3 jam
Jalur : Tol Jogorawi - Puncak - Cianjur- Pasar Warung Kondang- Cikancana- Gunung Padang
Perlengkapan : Tenda (kalau mau menginap), Makanan, sleeping bag, trangia (portable stove), Petomaks (kalau sampai malam), Senter, Air minum/air bersih, Autan, tisu basah, Sepatu yang tahan medan apapun, Spirtus, korek api.

Biaya         : total ber-6 untuk sewa mobil, bensin, dan logistik masing-masing patungan Rp 165.000




 
design by suckmylolly.com