Rabu, 14 November 2012

the break in your heartbreak





On my life I'll try today,
 there's so much I've felt I should say, 
but even if your heart would listen, 
doubt I could explain...



Jimmy Eat World - If You Don't, Don't

Sabtu, 03 November 2012

Gradasi Keyakinan





Edisi khusus majalah TEMPO tentang pembantaian '65



Ketika kita dilahirkan ke muka bumi ini, semesta tidak pernah berbisik pada kita 'apa itu kehidupan', 'apa itu manusia', atau bahkan 'apa artinya dilahirkan. Kecil kemungkinan kita mengingat apa yang kita hadapi semasa bayi, apalagi apa yang dikatakan oleh ayah atau ibu saat si bayi menangis. Sekalipun otak kita sudah mampu menyimpan memori, kita tidak akan paham dengan baik pembentukan memori pada masa itu. Meski setiap manusia (dan organisme) mempunya unsur 'bawaan' dari kode genetik yang terdapat dalam protein DNA, pengalaman organisme menjadi faktor paling penting untuk menentukan fenotip atau hasil akhirnya. Dengan kata lain, tempat atau konteks di mana kita tumbuh dan berkembanglah yang perlahan tapi pasti memberikan jawaban akan pertanyaan metafisik seperti di atas. Biasanya kita bahkan tidak sampai menemukan jawaban yang final dan memuaskan. 





Rangkaian kode DNA manusia


Waktu kecil kedua orang tua saya memberi tahu banyak hal, terutama soal cara berinteraksi dengan sesama manusia. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu saya mengajarkan cara berterima kasih, bersalaman, atau bilang permisi. Selain menelan mentah-mentah doktrin agama lewat ritual yang dicontohkan oleh orang tua, saya juga mengetahui dari mereka, mana hal yang baik dan mana yang buruk. Baik ayah atau guru di sekolah mengajarkan pada saya bahwa manusia adalah spesies Homo Sapiens, makhluk yang dipercaya berbeda dengan organisme lainnya seperti bintang atau tumbuhan. "Apa yang membedakannya?", tanya saya waktu itu. Dan ayah saya menjawab "Manusia punya akal budi, dia punya hati nurani". Guru di sekolah pun menjawab "Manusia dikaruniai cipta, rasa, dan karsa (dikenal dengan Trias Dinamika) oleh Tuhan YME". Puaskah saya dengan jawaban tersebut pada saat itu?

Jangankan menunggu dewasa, pada waktu itu saya tidak puas dengan jawaban guru atau ayah. Terutama kepada ayah, saya terus bertanya hingga Ia lelah menjawab dan besoknya saya dibawa jalan-jalan ke ragunan. Dengan kunjungan ini, ayah saya mau menunjukkan perilaku binatang dan hakikat tanaman, agar saya bisa membandingkan dengan makhluk yang disebut "Manusia".



Klasifikasi homo sapiens dalam ordo primata

Seiring dengan pertumbuhan, orang tua dan guru di sekolah menanamkan makin banyak nilai ke dalam diri saya. Bahwa saya tidak boleh berbohong, saya harus mengasihi dan menolong sesama manusia, mencuri adalah tindakan yang berdosa, menjadi orang baik merupakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat, dsb. Praktis ketika saya kecil, ajaran tersebut memaksa saya untuk memandang fenomena secara hitam-putih. Dikotomi dosa-neraka, baik-buruk, benci-cinta, menjadi kacamata "anak baru tahu" dalam memandang realita. 

Terhitung 24 tahun saya hidup di dunia ini, tiba-tiba saya ingin bilang ke ayah atau guru TK dan SD saya kalau mereka cukup banyak 'berbohong' tentang definisi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun keagamaan dan nilai kehidupan lainnya. Saya mau protes (bukan dalam artian yang buruk yah), karena waktu itu saya dibekali dengan kacamata hitam-putih untuk melihat realita yang 'abu-abu'. Seperti memakai kacama 2D untuk menonton film 3D, iya saya lihat gambarnya berlapis, tapi saya melihatnya dalam fragmen bukan dalam satu keutuhan (gambar yang timbul dan serasa hidup). Akibatnya saya harus terima kalau untuk beberapa saat pandangan saya sedikit kabur, tidak bisa melihat realita dengan jelas. Bahkan lebih parahnya lagi, dengan naifnya saya mencoba mencari kepastian di antara yang nisbi, memaksa melihat bentuk yang utuh padahal tidak jelas atau blur. 

Seiring bertambahnya umur, ikan yang membesar tentu tidak muat dalam kolam yang sama, dia berpindah-pindah kolam untuk mencari mana habitat yang cocok, mengevaluasi makanan apa yang tersedia dan tidak tersedia,  dan memastikan bisa bertahan hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar, pindah ke sekolah menengah, lanjut ke sekolah menengah atas, masuk ke perguruan tinggi, nyemplung ke kantor, setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Apalagi ketika si bayi akhirnya mengembangkan kemampuan membacanya kelak, dia akan melahap buku, majalah, atau sekarang aplikasi dan logaritma google. Kepala kita pun dijejali dengan berbagai pemahaman, ketidaktahuan, dan bahkan keraguan. Berbagai asam garam yang sudah ditelan akhirnya mempengaruhi 'rasa' bagaimana kita akhirnya memandang hidup itu sendiri. 

Jujur saja, apa yang saya yakini dari kecil pelan-pelan runtuh, dan bahkan tidak butuh pengalaman hidup belasan tahun untuk meruntuhkannya, cukup dengan menganalisis koran dalam satu hari. Bagaimana saya bisa percaya manusia itu makhluk dengan akal budi dan hati nurani jika saya membaca fakta bahwa ada jutaan manusia yang dituduh PKI dibantai di negara sendiri, dan bahkan saya curiga leluhur saya turut andil di dalamnya? Apa yang bisa tersisa dalam keyakinan saya kalau melihat betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam? Bisakah saya percaya bahwa mencuri adalah tindakan berdosa dan melanggar hukum, jika pada akhirnya hukum malah memenangkan para pencuri? Masih perlukah saya memegang teguh prinsip altruistik di tengah banyaknya orang yang egoistik? Hingga di penghujung perdebatan diri sendiri saya bertanya, naif kah saya jika terus meyakini nilai-nilai masa kecil tersebut.

Saya tentu tidak sendiri. Ada banyak orang yang kemudian sadar bahwa spektrum sebuah kebenaran, kebaikan, keburukan, atau kejahatan begitu luas. Bukannya sok non-positivis atau post modern, tapi toh kita mengalami dan melihat sendiri subyektifitas itu nyata adanya. Alih-alih menjadi seseorang yang terkesan relativis atau bahkan nihilis, saya mencoba membawa perdebatan 'remeh-temeh' tersebut ke dalam diskusi keseharian dengan beberapa teman. Biasanya dari obrolan ngalor ngidul, kita bisa menanamkan semangat dalam diri kita masing-masing. Semangat atas keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus terus dipertahankan. Kacamata moral biar saja dihibahkan ke orang lain, kacamata kemanusiaan terasa lebih nyaman dipakai. Untuk apa bingung surga dan neraka kalau ada kesempatan melakukan sesuatu untuk orang lain di depan mata? Why Bother?


Diambil dari Pigs in Maputo (klik untuk ukuran besarnya)

Sebenarnya, saya tidak perlu mengganti kacamata hitam putih secara keseluruhan, bisa saja saya memodifikasi lensanya agar saya bisa melihat gradasi warna di antaranya. Seperti palet warna di Photoshop, ada banyak kombinasi warna di antara CMYK 00000 (hitam) & CMYK FFFF (putih). Berbagai pengalaman dan cerita yang saya peroleh dari orang di sekitar saya, mau tidak mau kita harus melebarkan spektrumnya atau nanti kita yang capek sendiri dengan memaksakan kacamata hitam putihnya. 




Apa yang baik dan buruk?

Jika tidak pernah merasa perlu untuk mewarnai keyakinan Anda dengan gradasi, setidaknya Anda bisa melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan Anda. Kenyataan yang saya hadapi, saya bertemu banyak orang dalam hidup yang mengajarkan banyak hal, termasuk soal keyakinan saya selama ini.  Contohnya, sore ini saya bertemu beberapa orang yang harus diwawancara, dari mereka saya bisa melihat bagaimana kompleksnya identitas dalam mempengaruhi gradasi keyakinan tersebut. Ada seorang informan yang berasal dari pesantren Wahabi mengemukakan ide-idenya untuk menentang kekerasan berbasis agama, kebebasan berpikir, berpendapat, dan bahkan akhirnya giat dalam wadah hak asasi manusia -sesuatu yang tentu ditentang oleh keyakinan Wahabi. Ada juga seorang informan dari etnis minoritas yang sangat peduli dengan isu toleransi dan dialog antar beda suku atau agama. Padahal dia tahu betul etnisnya jadi korban dalam tragedi '98 di negeri ini. Hal tersebut tidak melunturkan keyakinannya akan bangsa Indonesia. Saya sangat salut dengan orang-orang yang bersedia melalui pergolakan internal untuk akhirnya menarik gradasi dalam hal-hal yang diyakini sebelumnya. Dengan mengetahui adanya orang-orang seperti ini, keyakinan saya kembali disulut semangat, kemanusiaan itu ada dan manusia memang berbeda dari organisme lainnya. Faith in humanity restored!

Bentrokan antara pengguna kacamata hitam putih dan kacamata gradasi memang tidak terelakkan. Ketika hal ini muncul, yang perlu dipahami adalah hakikat manusia sebagai salah satu jenis makhluk hidup. Karena dia punya akalbudi dan jika digunakan sebagaimana mestinya, pasti setidaknya memikirkan kemungkinan lain. Pernah ada seorang teman yang bilang ke saya "Ya kalau saya menjadi pribadi yang kritis, yang menentang apa yang dulu saya anggap benar, mencoba membuat perubahan, itu adalah konsekuensi karena saya dimasukkan ke sekolah, saya dibolehkan membaca. Kalau ingin saya terus penurut dan tidak mengkritisi hal tersebut, sebaiknya dari dulu saya dipasung saja sekalian". 

Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Baik keyakinan kita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tentunya terus bertransformasi. Bisa pilih untuk tetap yakin dengan kacamata hitam-putih; mencoba bermain di gradasi; atau mungkin ingin sejenak melepaskan kacamata untuk memejamkan mata dan tertidur :D 










Kamis, 01 November 2012

There is only one sun

This is a short movie by Wong Kar Wai.
 A tragic story with enchanted visual. 
WKW did it like his movie 2046. 





 There’s only one sun - but it travels the world everyday.
This sun is all mine and I won’t ever give it away.

I will share not an hour of warmth, not a beam of its light!
I’ll let cities perish in the constant, unchangeable night!

I will hold it up with my hands, till it ceases to turn!
I don’t care if my hands, lips and heart must get burned!

Let it vanish in darkness and rushing, I’ll follow its way…
My darling, my sunlight! I won’t ever give you away!

Maria Tsvetaeva
February, 1919


 
design by suckmylolly.com