Kamis, 07 April 2011

Kalau Rahim Bisa Ngomong

(percakapan saya dengan rahim.)

A (saya) R (Rahim)


A: Aduhh... sakit banget nih perutnya gara-gara mau dapet. Huh!

R: Kan dinding rahimnya lagi memompa...

A: Emangnya kenapa sih kalau kamu lagi memompa kok perutnya jadi sakit? Kamu kenapa?

R: Aduh mana aku tahu... coba kamu tanya dokter kandungan aja :p



Meet my uterus 


Halo, saya Rahim :) !!!



Seperti perempuan yang belum menikah pada umumnya, tidak pernah terlintas di kepala saya untuk periksa ke dokter kandungan. Apalagi saya merasa umur saya masih muda dan belum menikah, buat apa saya ke sana? Lagian dokternya kan laki-laki, males banget, malu kali ya... Emangnya mau periksa sama siapa? Orang tua? Kata mamah sih nggak perlu, kan belum menikah? 


Padahal di kepala saya terlintas banyak sekali pertanyaan seputar fungsi reproduksi dan kesehatannya. Meskipun saya beruntung karena pernah bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu perempuan dan sering mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, tidak menjamin kalau saya benar-benar mengetahui kondisi alat reproduksi saya. Memang, saya pernah melakukan pemeriksaan pribadi dan merasa sadar jika ada yang tidak wajar dengan vagina atau rahim saya, tapi tentu saya orang awam yang tidak tahu seluk beluk kesehatan reproduksi (kespro). Setumpuk pertanyaan di kepala saya sayangnya tidak bisa dijawab oleh rahim ataupun pelatihan dan buku-buku kesehatan reproduksi. 


Karena pertanyaan mendasar saya adalah 'apakah alat reproduksi saya dalam keadaan sehat & baik-baik saja?' hanya bisa dijawab kalau saya bertanya pada ahlinya. Lantas dengan  segenap kesadaran, saya ingin berkonsultasi dengan dokter kandungan atau ginekolog. Tapi niat itu selama 2 tahun terakhir hanya menjadi niat karena selama ini saya mendengar kalau proses pemeriksaan ke dokter kandungan kurang dirasa nyaman bagi perempuan yang belum menikah. Bahkan kalau kita lihat di salah satu film pendek di film "Pertaruhan" dengan judul "Nona/Nyonya", berkonsultasi ke ginekolog seringkali tidak bersahabat dan cenderung penuh dengan tekanan. Jadi di satu sisi saya ingin pergi memeriksakan alat reproduksi, tapi di sisi lain saya males diperlakukan seperti itu dan tidak tahu harus pergi ke dokter mana yang bersahabat dengan perempuan belum menikah. Saya sempat bertanya ke beberapa orang dan organisasi, ginekolog mana saja yang direkomendasikan. Tapi sejauh itu, saya belum "berani" untuk berhadapan langsung dengan ginekolog untuk konsultasi, pap smear, dan pemeriksaan lain. 


Jadilah hari ini (7 April 2011), salah satu hari yang bersejarah dalam hidup saya. Atas rekomendasi seorang teman, saya mendatangi Rumah Sakit Bunda (yang di Teuku Cik DItiro) untuk periksa ke dr.Irham Suheimi SPoG. Terus terang, sehari sebelumnya saya deg-degan dan membayangkan banyak hal yang menyeramkan. Tentang bagaimana nanti anehnya 'mengangkang' di depan orang yang baru dikenal. Tentang bagaimana rasanya melakukan pap smear. Tentang hasil pemeriksaan apakah saya sehat atau tidak. Tentang bagaimana kesan pertama si dokter terhadap saya. Dan masih banyak tentang yang lain membayangi pikiran saya. Karena pengalaman ini mungkin akan dialami oleh perempuan lain, saya berbagi pengalaman saya. Dengan segenap keberanian, saya masuk ke ruangan periksa dan berhadapan dengan dokter pria yang akan memeriksa vagina saya, phiuhhh....


Jauh dari ketakutan saya, dr.Irham sangat bersahabat dan interaktif dalam mendorong saya untuk mengemukakan keluhan-keluhan yang saya punya. Ketika berkenalan, saya tidak ditanya Nona/Nyonya ataupun Sudah menikah? tapi hanya pertanyaan 'apakah sudah pernah berhubungan?'. Kemudian hal yang ditanyakan di awal adalah 'apakah sudah pernah periksa ke ginekolog sebelumnya?'. Dengan polosnya, saya curhat kalau saya deg-degan karena ini kali pertama dan saya menjelaskan berbagai keluhan yang saya alami, dari siklus haid, keputihan, sampai sindrom menjelang haid. Dengan santai dr. Irham menjawab pertanyaan-pertanyaan awam saya dan memberikan penjelasan informatif tentang keluhan saya. Dia kemudian menyarankan saya untuk Pap smear dan USG untuk mendeteksi apakah ada yang tidak beres dengan vagina dan rahim saya. 


Sampailah saya pada bagian 'harus' membuka kaki dengan lebar dan duduk di kursi khusus untuk diperiksa dan Pap Smear. Sempat merinding saat melihat alat-alat yang akan dimasukkan, sempat lemas juga waktu liat obat dan kapasnya. Saya berkali-kali bertanya apakah sakit atau tidak, tapi dokter Irham berhasil membuat saya lebih tenang untuk menjalani pemeriksaan dengan meyakinkan bahwa tidak sakit. Momen sekitar 15 menit ini menjadi momen yang berkesan karena rasanya campur aduk, antara takut sekaligus berusaha untuk berani memeriksakan diri. Setelah pap smear selesai, saya melakukan USG. Saya bisa melihat rahim saya dan dr.Irham memberikan beberapa penjelasan tentang kondisi rahim saya. Bagaimana indung telurnya dan gejala apa yang mungkin muncul di rahim saya. Ini juga menjadi momen saya bisa berbicara dengan rahim tapi dengan perantara si dr. Irham :)


Setelah pemeriksaan, dr. Irham memberi saya beberapa nasehat untuk menjaga kesehatan alat reproduksi saya dan mengingatkan saya untuk segera periksa kalau ada yang tidak beres. Dengan perasaan lega seperti habis selesai tes IELTS, saya keluar dari ruang konsultasi dan langsung ke kamar mandi karena 'after taste' dari proses pap smear dan USG sedikit membingungkan saya. Tapi di luar itu saya sangat lega karena bisa berbicara dengan rahim saya melalui dr.Irham sebagai perantaranya, saya jadi tahu bagaimana 'kabar' Rahim saya di dalam sana. 



Di luar perasaan lega tersebut, muncul keresahan lain di benak saya. Ok, mungkin saya beruntung bisa mengakses pelayanan seperti ini lengkap dengan konsultasi dengan ginekolog yang berasahabat terhadap pasien yang belum menikah. Tapi apa kabar jutaan perempuan lain di luar sana? Yang tidak pernah berpikir untuk periksa ke ginekolog?  Mungkin mereka belum punya kesadaran tentang kespro, mungkin mereka takut ke ginekolog karena belum menikah, mungkin di daerahnya nggak ada ginekolog karena cuma ada dukun atau bidan, mungkin pelayanan se-nyaman saya tadi tidak bisa diakses dengan biaya murah atau gratis, atau mungkin mereka tidak punya akses sama sekali. 


Ada banyak kemungkinan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia dalam keterbatasannya mengakses layanan kespro. Jangan heran kalau angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, 228 per 100.000 (2007-Depkes) dan jumlah penderita kanker serviks di Indonesia termasuk kedua tertinggi di dunia (sekitar 270.000 perempuan di Indonesia meninggal dunia). Selain karena cakupan tenaga medis profesional di Indonesia masih terbatas, tentunya anggapan bahwa layanan seperti periksa ke ginekolog, melakukan pap smear, kontrasepsi hanya bisa diakses oleh orang yang menikah atau harus didampingi orang tua, menjadi penyebab fenomena gunung es ini. Apalagi ketika ingin mencoba untuk pap smear seringkali hanya untuk yang sudah menikah karena takut nanti tidak perawan lagi. Anggapan paling konyol menurut saya, karena ini masyarakat lebih mementingkan keperawanan daripada keselamatan dan kesehatan perempuan. 


Bisa dibayangkan betapa sulitnya jutaan perempuan di Indonesia untuk mengakses pelayanan kespro pada tenaga medik profesional. Jumlah dokter kandungan di Indonesia saja hanya 2200 orang menurut Himpunan Obstetri Ginekolog Seluruh Indonesia, coba bandingkan dengan jumlah perempuannya 118.048.783 juta orang (hayo ini PR untuk mahasiswa kedokteran :p).Untung ada bidan dan dukun tradisional yang menjadi 'garda depan' bagi layanan kespro di daerah yang tidak terjangkau. Itupun jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sungguh mengenaskan bagi saya, tentu saya yakin  pemerintah tidak sanggup memenuhi poin ke 5 MDGs. Jangankan menjamin kesehatan ibu dan perempuan, pemerintah lebih suka membiarkan privatisasi layanan kesehatan dan membatasi anggarannya. Ckckckck... Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sebuah bangsa tidak mempedulikan nasib perempuan. *Sigh


Seandainya rahim bisa ngomong dan bercerita tentang keadaannya, mungkin ada banyak kematian dan penyakit yang bisa dicegah. Sayangnya, semua perempuan (apapun statusnya) membutuhkan "perantara" untuk berbicara dengan rahimnya. Perempuan membutuhkan akses layanan kespro untuk kelanjutan hidup baik dirinya maupun sebuah bangsa. 

3 comments:

farhanah mengatakan...

Wow....kebayang deg2annya!
Jadi pengen perexa juga

Anonim mengatakan...

entah Kenapa saya merinding mba, ngilu sendiri pas nyeritain masukn alat itu ke dalam vagina.. itu rasanya gimana mba ? 0_0 pgn coba jg tapi takyuut

ajeng mengatakan...

Hi salam kenal,

saya Ajeng..
saya juga waktu itu deg deg-an waktu periksa USG dengan swab vagina..

Soalnya saya pernah tidak haid selama 8 tahunan..

 
design by suckmylolly.com