Selasa, 09 Februari 2010

We no need no education


Pendidikan = Investasi ?


Semua orang pasti sering mendengar istilah ini. Premis di atas juga jadi bahan jualan calon Presiden, Gubernur, Kepala daerah, dan menjadi tuntutan sebagian besar masyarakat untuk mendesak 20% porsi anggaran di APBN. Entah kenapa tiba-tiba saya ingin membongkar anggapan ini. Mungkin karena pengalaman hidup, atau hanya observasi peneliti kelas kacangan belaka. Yang jelas, saya punya keyakinan bahwa pendidikan itu bukan pasar modal atau profit perusahaan yang tingkat keberhasilannya bisa diukur apalagi menjadi dividen yang dibagikan ke shareholders. 


Modal Pendidikan


Istilah "pendidikan itu investasi" kadang-kadang suka di salah artikan baik oleh pembuat kebijakan sekelas Mendiknas, sampai orang tua kita sendiri. Nggak percaya??? Lihat aja berapa banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah mahal dengan cap Sekolah bertaraf internasional, atau sekolah unggulan. Buat mereka sah-sah aja bayar mahal asal mutunya bagus, fasilitasnya kelas satu, dan bahasa pengantarnya bilingual. Persoalannya, pendidikan kan bukan barang elektronik, yang makin mahal, makin bermutu & canggih?! Anggapan yang ada di benak sebagian besar orang tua bisa diibaratkan seperti rumus di bawah ini:


Biaya Mahal = Sekolah unggulan = fasilitas lengkap = bilingual = Mutu pendidikan bagus = Anak nantinya siap menghadapi era globalisasi yang sanggup menghadapi persaingan (baca: lapangan kerja) = Anak menjadi orang sukses (baca: secara finansial)


Saya tidak berupaya untuk memukul rata anggapan ini, namun sepertinya pemahaman seperti itu sudah lumrah di masyarakat kita. Masalahnya kan Pendidikan tidak sesimpel itu, begitu pula dengan anak yang sukses dan berakhlak mulia. Pendidikan tidak selebar kertas ijazah, Ia seharusnya lebih dari itu. Pendidikan semestinya bisa membawa pengaruh besar yang positif ke dalam kehidupan masyarakat dan bahkan peradaban manusia. Makna pendidikan yang  seagung itu terpaksa direduksi jadi sekolah formal, ijazah, nilai rapor, dan NEM. Sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap dan rekam jejak 90% lulus SPMB belum tentu mengajarkan Life-skill education ke siswanya. Sekolah internasional berkurikulum Cambridge dengan dua bahasa pengantar juga bukan jaminan bisa menumbuhkan rasa nasionalisme di dalam diri muridnya. Banyak orang sukses awalnya Drop out dari sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah formal sama sekali, hal ini bisa dijadikan pertimbangan bahwa pendidikan di sekolah formal tidak berkorelasi dengan kesuksesan seseorang atau lebih jauh lagi, keberhasilan sebuah bangsa. 


Mungkin ini memang salah kita yang mau ambil gampangnya aja tanpa sadar tidak ada yang bisa menjamin masa depan si anak kecuali anak itu sendiri. Bukannya membekali si anak dengan ilmu serta hal yang berguna dan aplikatif dalam kehidupannya justru mengarahkan mereka sesuai dengan ambisi statistik nilai dan kelulusan. Semoga saja, para murid sadar, mereka hanya robot yang dirakit oleh pabrik bernama sekolah formal nan mahal.


Jangan heran kalau anggapan ini justru membuat pendidikan menjadi alat untuk mempertahankan kelas yang ada. Kalau pendidikan bermutu baik hanya bisa diperoleh dengan modal besar, apa kabar mereka yang mau makan sehari 3x aja susah? Mereka bisa jadi hanya bertahan dengan sekolah bermutu biasa, yang jika dianalogikan dengan rumus di atas, akan menciptakan anak yang biasa bukan si sukses yang duduk sebagai CEO. 


Untung atau Rugi?


Dengan rumus di atas, orang tua jadi sering menuntut anaknya untuk menjadi orang yang sukses secara ekonomi, dan kemapanan finansial ini seringkali diasosiasikan bisa survive di rimba pencari kerja  baik di perusahaan swasta, BUMN atau birokrasi pemerintah. Seolah seperti investor yang sedang menanamkan modal, mereka takut banget rugi, apalagi yang udah mengeluarkan biaya besar. Sekedar curhat colongan, saya yang sejak SD duduk di sekolah negeri mungkin tidak mengeluarkan biaya sebesar sekolah swasta mentereng. Dengan modal yang bisa dibilang pas-pasan aja, orang tua saya sering mempertanyakan profesi yang saya pilih, karena di mata mereka nggak masuk dalam kategori "mapan" atau "sukses" seperti rumus di atas. Mereka beranggapan bahwa seharusnya saya bisa mendatangkan "profit" yang lebih besar dari itu. Orang tua saya ternyata nggak sendirian, beberapa orang tua orang yang saya kenal juga bermasalah dengan "alat investasinya". 


Bagaimana dengan pemerintah? Berangkat dari kenyataan, dana yang sudah dikeluarkan untuk pendidikan tentu banyak banget. Mengingat, pendidikan menjadi pos anggaran yang cukup 'seksi' bagi pemerintah, triliyunan rupiah dikucurkan untuk mencetak siswa berakhlak mulia (Anyway, berakhlak mulia ini tujuan pendidikan kita). Sebagai penanam modal besar, mereka ingin jumlah pasti yang sanggup menjadi ukuran profit mereka. Lantas dibuatlah ujian nasional yang cacat hukum dan cacat otak untuk menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dan siswa itu sendiri. Hmmm.... Berhasilkah mereka? Kalau berhasil, kenapa banyak koruptor di birokrasi pemerintahan, kenapa banyak kepala daerah yang "menjual" daerahnya untuk kepentingan sendiri, kenapa banyak orang yang tega "menghisap darah" bangsanya sendiri (edward cullen kali ngisep darah! :p), kenapa banyak orang yang lebih milih berbakti di korporasi multinasional dibanding membangun produk lokal, kenapa anggota DPR bisa adu mulut kaya sopir angkot??? Itukah "Insan berakhlak mulia" yang mau mereka cetak? 


Saya juga sempet mikir, kalau saya aja yang modal kuliahnya sekitar 20 juta rupiah (10 juta uang masuk + 1,3 jt x 7 semester) terus milih untuk kerja di LSM aja diprotes sama orang tua. Gimana kalau yang biaya kuliahnya kaya sekarang, sekitar 50 juta??? Mungkin akan lebih dituntut untuk mencapai target profitnya. Trus kalau semua orang memikirkan cara mengejar profit untuk mengembalikan modal investasi, siapa dong yang mikirin nasib bangsa ini??? 



Pendidikan bukan pasar


Pendidikan bukan menjadi kewajiban saya sebagai warga negara, tapi ini Hak yang seharusnya saya dapatkan. Banyak harapan yang disandarkan pada pendidikan. Ada jutaan rakyat miskin yang ingin memperbaiki nasibnya dengan akses pendidikan. Untuk mencetak akhlak mulia, tidak harus mengucurkan dana sekitar 500 miliar rupiah demi mengukur kualitas pendidikan, mungkin uangnya bisa dipakai untuk memperbaiki standar kurikulum, guru, sarana, dll. Daripada harus nyiksa jutaan siswa dengan bulat-bulat lembar jawaban komputer. Akhlak mulia tidak datang dari rumus pasar investasi. Manusia yang berkualitas bukan berasal dari sekolah mahal. Pendidikan tidak mempertemukan permintaan dan penawaran layaknya pasar, pendidikan mempertemukan manusia yang satu dan yang lain untuk saling mempelajari fenomena habitatnya. Uang bukan alat tukarnya, ilmu lah yang menjadi alat transaksi. Pendidikaan yang bermutu tentu menghasilkan insan yang berbakti pada nusa dan bangsanya. Terdengar klise, tapi ini bukan mimpi yang tidak mungkin.



*Untuk yang sedang bersitegang dengan orang tua karena pilihan profesi



4 comments:

farhanah mengatakan...

fra, kirimin ke anggota DPR gih ini tulisan.

rinaldi mengatakan...

ga usa jauh-jauh ke DPR. Kirim ke emaknya temen kantor gw aje.hahahaha

afra mengatakan...

Hahhaha... boleh2 fan. Masalahnya ada milis nggak mereka.hehehe

APa ditaro di fanpage change aja ya nal?

nyxxx mengatakan...

Kalau buat yg bersitegang dgn orgtua masalah pilihan profesi+pendidikan calon pasangan jg bisa nih

 
design by suckmylolly.com