Sudah lama saya tidak mengobrol lama dengan Papa, mungkin terakhir kali saat membicarakan makna pendidikan S2 saat saya baru lulus kuliah. Suatu waktu, 3 tahun setelah saya lulus kuliah, saat sedang menonton saluran TV BBC yang sedang menayangkan dokumenter si tampan Simon Reeve, Tropic of Cancer, percakapan mendalam pun terjadi secara tiba-tiba. Jam setengah 2 pagi, tanpa basa-basi Papa bertanya ke saya: "Jadi, ideologi kamu apa?". Reaksi pertama bisa dipastikan saya terkejut, lalu bengong. Ya iyalah bengong, orang tua macam apa yang nanya pertanyaan kaya gitu jam 2 pagi? hahaha Kemudian saya menelan ludah dan bertanya apa maksud pertanyaan Papa. Dan beliau menjelaskan bahwa dia menanyakan apa ideologi yang saya jadikan pegangan tindakan, sikap, dan tujuan hidup saya. Saya pun tercekat. Terus terang campur aduk rasanya. Seperti ditampar tapi di satu sisi tamparannya lembut dan penuh perhatian. Pada waktu itu, kepala saya kosong mendadak. Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi kemudian saya bilang kalau saya berpegangan pada suatu ide di mana kesetaraan, keadilan manusia, dan ketiadaan dominasi kekuasaan menjadi tujuan dan cara pandang keseharian. Papa terdiam sejenak, dia berpikir, kemudian dia bertanya: "Apa Islam bisa masuk ke dalam ide yang kamu maksud?"
Sial, pertanyaan kedua ternyata jauh lebih susah. Lantas, saya menjawab: "Aku percaya Islam itu punya semua ide yang aku maksud, begitu juga sebaliknya, ide yang aku maksud emang ada di Islam". Sebelum disamber dengan pertanyaan ketiga, saya langsung bilang:"Tapi nggak semua orang yang percaya Islam, percaya dengan kesetaraan atau keadilan Pa. Mungkin mereka lebih percaya sama uang, atau mereka lebih percaya sama neraka dan pahal dibanding percaya sama Islam itu sendiri." Papa pun membalas pernyataan saya dengan ceramah selama lebih dari setengah jam tentang betapa pentingnya kita punya panduan atau pegangan untuk menjalani kehidupan ini. Bagi Papa, Islam adalah ideologi yang dia pilih dan tentunya diajarkan ke anak-anaknya. Saya selalu merasa beruntung, Papa mengajarkan Islam dengan mudah sekaligus mendalam dan saya pun dianjurkan mempertanyakan keyakinan saya terhadap sebuah cara pandang. Dari ceramah-ceramah konyol tapi serius a la Papa, saya menyerap banyak nilai yang kemudian saya terapkan dalam mengambil sikap, tindakan, dan menentukan tujuan hidup saat umur semakin bertambah. Papa juga pernah memperingatkan: "suatu hari keyakinan kamu pasti akan diuji. Apa yang selama ini kamu yakini bisa berubah atau malah berlaku selamanya" Saya pun bertanya: "Diuji kaya gimana pah? pake soal gitu?" Maklum, saya baru mau naik ke SMP jadi nggak ngeh gimana menguji ideologi. Dan papa menambahkan:"Nanti kamu bisa tahu dari pengalaman dan mengamati orang-orang di sekitar kamu."
Butuh proses dan waktu untuk akhirnya memahami ceramah-ceramah Papa di kemudian hari. Ideologi pada waktunya akan terasa seperti cinta sejati. Kita tidak bisa hanya percaya tapi juga ada bukti. Mengutip dari pernyataan Ibu Ninuk pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan: "Percaya itu satu hal, pembuktian itu hal lain". Sekali lagi, saya beruntung bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai jenis latar belakang, saya belajar dari mereka banyak hal. Dari remaja Indramayu, mbah penjual sekoteng dekat kosan saya di jogja, teman-teman, dan masih banyak lagi. Ada ungkapan klise di buku Sinar Dunia, Pengalaman adalah guru terbaik, dan sekali lagi, yang klise-klise selalu ada buktinya.
Ketika menyinggung ideologi, kebanyakan orang di lingkup saya biasanya terbagi ke dalam tiga kubu:
1. Percaya ideologi itu perlu ditunjukkan dan diejawantahkan dalam semua lini dari lini massa sampai lini baju;
2. Ideologi itu perlu diyakini dan diamalkan dalam keseharian tanpa perlu digembar-gemborkan;
3. Ideologi itu nggak usah dipikirin dan gak ada faedahnya, keberatan kalau diomongin.
Ketiga poin ini bisa jadi kategori sekaligus mungkin berlaku sebagai tahapan. Serupa dengan cinta sejati, Ideologi juga sarat dengan pencarian. Memang ada yang bertahan dengan ideologi yang diturunkan sedari lahir (seperti agama misalnya) tapi ada juga yang terus bertransformasi tanpa henti.
Belajar pengalaman, meyakini sebuah ideologi seringkali juga bersinggungan dengan jati diri. Ideologi bisa memberi jawaban dari pertanyaan "Siapa Sih Lo?" jawabannya bisa "Gue Islam", "Gue punker'", "Gue liberal", dst. Dan karena hal ini juga, pengalaman saya membuktikan kadang dalam meyakini ideologi, kita sering mencari panutan. Berbagai faktor bisa membentuk ideologi masing-masing orang, tapi jalannya seringkali tidak mulus. Sekali lagi, serupa dengan cinta sejati, ideologi juga banyak melahirkan sakit hati. Baik dalam catatan sejarah pergerakan, ataupun permainan politik, ada pihak yang 'banting setir' dengan didasari motif yang berbeda-beda. Ada motif yang personal, ada juga yang sifatnya kolektif, kita tidak pernah tahu pasti. Saya tidak akan menjabarkan contohnya, karena teman-teman pasti punya contoh di sekitarnya, di kelompok masing-masing. Dari pengalaman saya, hal paling bikin pusing dan ujian paling sulit adalah sinkronisasi keyakinan, sikap, tindakan, dan tujuan. Mempraktekkan kesetaraan tanpa pandang bulu pasti jauh lebih sulit dari sekedar meyakininya. Bahasa kerennya "Practice What You Preach", itupun kalau kamu "Preach", kalau nggak yah beruntung nggak perlu "Practice" banget. hehehe Saya banyak menyaksikan orang dengan tipe 1 (lihat di atas) tapi minus amalannya. Berteriak menuntut keadilan tapi menentukan upah tanpa dialog dan dasar yang kuat. Ada juga yang tipe 2, ini dia yang sering saya jadikan panutan. Ibu rumah tangga yang mengajarkan demokrasi dengan sederhana di keluarga terlihat lebih keren dibanding petinggi partai berembel-embel demokrasi (atau demokrat :p). Jangan sedih, yang tipe 3 lebih banyak lagi, daripada mikirin tujuan sama pandangan hidup mendingan ngeband aja, tapi kalau musisi favoritnya pake kaos 'working class hero' langsung google Amnesty International :D.
Masalahnya ideologi (sama kaya cinta sejati sekali lagi :p), terkesan seperti omong kosong dan utopia belaka. Saya pernah denger omongan: "Ya elah mau demokrasi kek, mau negara Islam kek, mau rezim 'Pancasila' kek, Yang penting gue makan dan bisa tidur nyenyak". Yang ideal-ideal sepertinya cuma ada di surga, mengutip Pramoedya, itu juga kalau ada surganya, tapi kalau tidak ada yang mempraktekan ideologi memang menguap entah ke mana. Saya pernah kenal dengan seseorang yang nggak pernah belajar feminisme, nggak tahu 30 Deklarasi Universal HAM, tapi dia sadar hak kesehatan reproduksi perempuan dan peka dengan masyarakat sekitar rumahnya. Mungkin sekilas seperti orang biasa, tapi kehidupan memang dibangun oleh orang-orang biasa, meskipun sejarah selalu berpihak pada yang dianggap 'luar biasa'. Ideologi biar bagaimanapun butuh bukti, bukan sekedar janji. Lebih jauh lagi kadang ideologi melibatkan musuh, bisa jadi untuk mengumpulkan pasukan demi mencapai tujuan.
Melihat geliat gerakan anak muda di Indonesia 5 tahun belakangan ini, muncul pertanyaan yang menurut saya penting, tapi sepertinya sering diabaikan karena takut terlalu 'berat' pembicaraannya. Apa sebenarnya ideologi gerakan anak muda kekinian? Karena menurut saya aksi pasti butuh tujuan, mungkin sebenarnya aktor-aktornya meyakini sesuatu tapi konsep yang diyakini ini belum dijelaskan dalam sebuah ide. Mungkin sudah ada kelompok-kelompok yang menjelaskannya dan dengan gencar melancarkan aksi-aksi mereka. Setiap generasi dalam pergerakannya punya kisahnya sendiri-sendiri.Menarik untuk menyarikan aksi-aksi kaum muda dalam sebuah ideoogi. Mungkin mereka punya tujuan yang sama tapi jalan yang berbeda, atau sebaliknya. Ibaratnya orang naik angkot, sebelum memilih jurusan angkot pasti harus tahu jurusannya. Gerakan anak muda punya imaji tentang perubahan seberapa jauh ideologi tersebut mempengaruhinya? Jawabannya bebas, silakan kasih masukan.
Asal ini semua bukan hanya soal janji atau eksistensi, tapi tentu harus ada bukti :).
#TentangPerubahan&Anak Muda(Seri 1)