Perhaps
the most basic challenge that feminists have posed to traditional views of rape
lies in the recognition of rape as a
crime against the victim herself.
(Rebecca Whisnant)
Sejak
beberapa hari yang lalu, linimasa saya diramaikan dengan perdebatan soal kasus
Sitok Srengenge (SS) yang dilaporkan ke polisi atas tindakan perkosaan yang dia
lakukan kepada mahasiswi UI. Mengingat kasus tersebut sudah menjadi bahan
obrolan di lingkup pekerjaan saya sejak sebulan yang lalu, saya sendiri salut
dengan korban yang akhirnya berani melaporkan kasus tersebut. Ramainya komentar
di jejaring sosial (terutama twitter) yang dilontarkan berbagai kalangan
sesungguhnya sudah mulai melebar ke pembahasan yang lebih besar dari sekedar aktor
pelaku dan korban, karena menyeret Salihara juga sebagai institusi tempat Sitok
Srengenge. Peristiwa ini seolah menjadi pembenaran bagi kalangan yang sejak
awal bertentangan dengan Salihara untuk semakin menyerang institusi tersebut,
bahkan dengan tagar "tutup salihara". Adu lempar komentar di sosial
media memang tidak bisa terelakan, simpati tidak hanya dilontarkan pada korban
tapi ternyata juga pada pelaku itu sendiri. Sayangnya, kericuhan tersebut
cenderung mengaburkan pokok permasalahan utama, bahwa ada seorang mahasiswi
yang melaporkan SS atas tindakan perkosaan.
Kata
"perkosaan" sendiri kemudian menjadi pisau bermata dua yang bisa
digunakan oleh si korban untuk mempidanakan pelaku atau oleh khalayak lain yang
menganggap perkosaan hanya sebagai alasan. Apalagi komentar di portal berita
yang merendahkan korban, seperti: "kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru
melapor, kemarin ke mana aja?" atau "Palingan ini suka sama suka, kan
sudah dilakukan berkali-kali?!".
Terus
terang, komentar semacam itu membuat saya sedih, melihat bahwa upaya membangun
peradaban manusia (setidaknya manusia di Indonesia) untuk membela hak-hak
perempuan serta kelompok yang termarjinalkan seolah mundur ke belakang. Bisa
jadi, karena cara kita memandang apa itu perkosaan dan kekerasan berbasis
gender memang masih blur atau abu-abu. Seperti komentar seorang teman di
statusnya "Kita tidak bisa melihat kasus ini dengan hitam-putih". Namun
sebelum kita menentukan ini hitam atau putih, kita perlu menyadari bahwa dalam
sistem tempat kita berada, ada ketidaksetaraan. Dan mungkin, kacamata kita yang
belum diperbaharui, karena bukan soal hitam putih, ini adalah soal korban dan
kekerasan.
Apa itu Perkosaan?
Definisi
Perkosaan memang tidak sederhana, satu waktu tindakan ini bisa dilakukan oleh
orang yang tidak pernah kita kenal, di lain waktu, perkosaan juga bisa
dilakukan oleh orang yang kita kenal bahkan kelompok terdekat kita (teman,
keluarga, pacar, kenalan, dll). Menurut K.H Husein Muhammad, dalam ruang budaya
Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual
terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan
seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan
meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh
kehidupan korban.
Kita
harus melihat perkosaan bukan hanya sebagai tindakan kriminal semata, melainkan
satu bentuk dari kekerasan seksual sebagai upaya merenggut kedaulatan tubuh dan
kebebasan korban (perempuan). Dalam sejarah masyarakat yang patriarki*,
perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang nilainya salah satunya,
ditentukan oleh kesucian seksual (sexual purity) perempuan tersebut.
Berangkat dari hal ini, perkosaan lantas dianggap sebagai tindakan kriminal
atau pelanggaran norma melawan martabat si 'pemilik' properti (misalnya ayah
atau suami korban). Namun berkat perkembangan dalam perjuangan hak-hak
perempuan, prinsip kepemilikan atas tubuh perempuan tidak lagi mendasari
terjadinya perkosaan, karena pihak yang tadinya dianggap "memiliki"
perempuan seperti suami misalnya, bisa menjadi pelaku perkosaan itu sendiri.
Perkosaan
diambil dari bahasa latin, repere, yang berarti mencuri, memaksa,
ataupun merampas (Wikipedia). Secara lebih luas perkosaan didefinisikan oleh Rifka
Annisa Women’s Crisis Center sebagai segala
bentuk pemaksaan hubungan seksual, tidak selalu persetubuhan, akan tetapi
segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin, dan
perkosaan ini juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Perkosaan berarti
merampas kedaulatan tubuh perempuan (atau korban), terutama kontrol oleh
laki-laki (pelaku) terhadap bagian reproduksi dan seksual pada tubuh perempuan.
Perkosaan kemudian merupakan bagian dari berbagai bentuk kekerasan dan
eksploitasi seksual oleh laki-laki, mengingat relasi dan bagaimana perkosaan
dilakukan untuk melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Definisi 'Perkosaan' tidak hanya sebatas
pemaksaan secara fisik atau kekerasan yang dilakukan secara eksplisit. Karena
kekuasaan laki-laki berupaya menekan kedaulatan tubuh dan seksualitas perempuan
secara sistematis, 'perkosaan' berarti mengabaikan persetujuan (consent)
perempuan. Peran perkosaan sendiri sangat luas, bahkan dilihat dari
ideologi yang melatarbelakangi perkosaan, tindakan kekerasan seksual ini tidak
hanya menciptakan dan mereproduksi penindasan tetapi juga sistem dominasi yang
berlapis, tidak hanya pada perempuan tetapi juga rasisme dan kolonialisme
(dalam kasus perang misalnya).
Apa itu Persetujuan (consent)?
Pernyataan
seperti “Itu bukan perkosaan tapi tindakan yang disadari suka sama suka…"
merupakan pernyataan yang tidak sensitif pada korban dan melanggengkan
pembenaran pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Perkosaan
adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang pada umumnya (walau tidak
selalu) melibatkan penetrasi seksual yang dilakukan oleh satu orang atau lebih
terhadap orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Tindakan ini bisa
dilakukan melalui paksaan secara fisik, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,
atau terhadap pada orang lain yang tidak berdaya memberikan persetujuan,
misalnya dalam keadaan tidak sadar, tidak berdaya, atau di bawah umur.
Salah
satu pemahaman tentang Perkosaan, baik secara sosial maupun legal kerap
didasari setidaknya oleh adanya persetujuan. Menyetujui sesuatu berarti memahami apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, dengan asusmsi bahwa setiap manusia berdaulat atas tubuhnya
yang merupakan milikinya dan wilayah personalnya. Dengan dasar hal ini,
tindakan seksual dikatakan perkosaan jika tidak ada persetujuan. Pertanyaan
kemudian muncul, apa saja yang dipahami sebagai persetujuan? Ada banyak kasus
di mana ketidaksadaran korban dianggap sebagai persetujuan. Bahkan tuduhan yang
dilontarkan pada perempuan yang berpakaian minim sering dianggap
"mengundang" atau "minta untuk diperkosa". Seperti yang
pernah diungkapkan oleh mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo menanggapi kasus
perkosaan di angkutan umum.
Persetujuan
yang diungkapkan, seperti berkata "iya" atau sekedar mengangguk,
tidaklah cukup. Karena dalam banyak kasus, kita
harus memahami bahwa "tidak" berarti "tidak" dan
"iya" bisa berarti "tidak". Misalnya, jika pelaku
mengancam atau menggunakan kekuasaannya untuk menekan korban agar berkata
"iya". Konteks, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk melihat
bagaimana kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi, terlepas dari ada
atau tidaknya persetujuan secara verbal (Archard, 1998). Relasi seperti apa
yang tercipta dalam kedua belah pihak? Apakah keduanya berada pada kedudukan
yang setara? Ungkapan ‘suka sama suka’ tidak selalu menggambarkan persetujuan,
karena adanya relasi kekuasaan yang timpang. Posisi pelaku dan bagaimana
situasi korban menjadi faktor untuk melakukan tindakan perkosaan. Oleh karena
itu, salah satu dimensi yang menyebabkan terjadi perkosaan adalah relasi
kekuasaan yang timpang sehingga pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban.
Singkatnya, persetujuan, biar bagaimanapun, tidak pernah sesederhana ‘suka sama
suka’. Ada berbagai dimensi yang melatarbelakangi sebuah situasi yang mendukung
atau tidak mendukung sebuah persetujuan.
Gagasan
tentang ketimpangan posisi (terutama secara hierarkis) bukan untuk melarang
kontak seksual antara posisi hierarkis yang tidak setara, tapi
menginterpretasikan seks dalam konteks hukum sebagai bentuk paksaan yang
didorong oleh hierarki di antara kedua belah pihak. Biasanya untuk menentang
komentar bahwa hubungan seksual yang terjadi adalah bagian dari
ketidaksetaraan, pelaku dan pembelanya akan membuktikan bahwa hubungan tersebut
didasari suka sama suka (atau secara afirmatif), tanpa memandang
ketidaksetaraan antara kedua belah pihak (Mac Kinnon, 2005).
Betapa Beratnya Melaporkan
Perkosaan (dan bentuk Kekerasan Berbasis Gender lainnya)
Pada umumnya penanganan kasus kekerasan berbasis
gender** terutama kekerasan seksual, tidak hanya berhubungan dengan legal
tetapi juga tekanan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat kita. Konteks
sosial ini bahkan mempengaruhi pandangan pihak-pihak yang berkomentar di dunia
maya pada kasus SS. Kebanyakan bukan fokus pada simpati korban, tetapi justru
fokus ke pelaku dan kelompok pelaku.
Menurut Komnas Perempuan, di berbagai wilayah di
Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh
sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice
system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan
non-negara saling bekerja sama untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan
korban kekerasan. Pada prinsipnya, keadilan merupakan tujuan utama pelaporan
kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu,
mekanisme hukum negara dan sistem keadilan non-negara bisa jadi sama pentingnya
asalkan mampu memberikan keadilan bagi perempuan korban.
Komnas
Perempuan juga menyimpulkan bahwa keterbatasan payung hukum yang mengatur
kekerasan seksual adalah salah satu penyebab buntunya kasus-kasus itu. KUHP
yang menjadi satu-satunya panduan hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan pada
kenyataanya sulit mengakomodir kepentingan perempuan korban. Dalam kasus
perkosaan, KUHP mensyaratkan adanya dua saksi, padahal perkosaan pada umumnya
dilakukan di tempat tertutup atau sunyi. KUHP juga mensyaratkan adanya bercak
sperma. Berdasarkan pengalaman korban, seringkali mereka segera membersihkan
dirinya karena merasa risih akibat perkosaan itu. Kalaupun korban melapor,
menunggu hingga dirinya merasa sanggup dan aman. Biasanya setelah
berbulan-bulan bahkan bertahun korban baru mampu melapor.
Penjelasan
di atas menjawab pertanyaan semacam “Kenapa ketika sudah hamil 7 bulan baru
melapor?”. Bahwa menjadi korban merupakan posisi yang sulit dan berpotensi
mengalami penderitaan yang berlapis. Selain cemooh dari pihak luar lewat
pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif, hukum sendiri belum secara spesifik
isu berpihak pada korban. Sebagai gambaran mengenai fakta korban pada kasus
kekerasan, berdasarkan data
pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60
persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen
diantaranya dikriminalkan melalui Undang-undang penghapusan kekerasan di dalam
rumah tangga (UU PKDRT). Jadi ketika korban memberanikan
dirinya untuk melapor ke polisi, kita sudah sepantasnya mendukung korban atas
keberaniannya dalam upaya menindak pidana pelaku.
Mengapa Berpihak Pada
Korban?
Seperti
yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab
tidak tersentuhnya akar pokok kekerasan pada perempuan adalah kurangnya
pemahaman dan penghargaan oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap
pemenuhan hak-hak perempuan sebagai korban. Belum lagi ditambah dengan tekanan sosial
yang dialami oleh korban. Terlebih jika pelaku merupakan pihak yang memiliki
kekuasaan atau keunggulan lainnya (privilege)
sehingga memiliki relasi yang bisa mendominasi wacana kasus. Dalam keadaan
seperti ini, korban menjadi pihak yang tidak memiliki ketidakberdayaan untuk
menandingi wacana yang dominan. Korban adalah muted group (kelompok yang diabaikan/diredam) yang terpinggirkan
dalam mendikte komunikasi wacana kasus. Bahkan sebelum korban (bisa lewat
perwakilannya) memberikan penjelasan, sentimen dan komentar yang tidak sensitif
dan tidak berpihak pada korban telah menyudutkannya. Terlebih media sendiri
tidak bisa memberikan penjelasan yang gamblang untuk terminologi “perkosaan”
sehingga harus menggunakan istilah “tindakan asusila” atau “Perbuatan tidak
menyenangkan”.
Ketika ruang untuk membangun wacana minim, proses
hukum juga tidak mudah bagi korban, memberi dukungan pada korban adalah salah
satu cara untuk menjamin bahwa keadilan harus ditegakkan. Dalam banyak kasus,
pembuktian dan proses penanganan kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya
kerap kali membuat perempuan (korban) mundur dari proses pemeriksaan kasus
karena penanganan kasus yang tidak saja makan waktu, namun juga proses yang
memalukan bagi korban. Studi kasus yang dilakukan tim Justice for the Poor menunjukkan bahwa hampir semua korban perkosaan
dan kekerasan seksual dipersalahkan baik oleh komunitas maupun oleh Kepolisian
(Justice for the Poor, 2008).
Kepekaan kita dalam melihat dimensi ketidaksetaraan
ini sangat diperlukan untuk akhirnya berpihak pada korban. Pada konteks
masyarakat dengan sistem patriarki, yang mengabaikan hak-hak perempuan, korban
justru sering disalahkan alih-alih menghukum pelaku. Ungkapan seperti: “Salah
perempuan pakai baju seksi!” atau “Perempuan nakal pantas diperlakukan seperti
itu” hanya akan memperkuat lingkar kekerasan yang ada. Masyarakat cenderung
mengajarkan perempuan untuk berperilaku nilai yang berlaku dan membela diri,
tapi tidak mengajarkan laki-laki untuk melihat perempuan sebagai pihak yang
setara dan bukan objek kekerasan.
Karena
dengan memahami kekerasan berbasis gender dan bersimpati pada korban, kita bisa
menjadi bagian dalam membongkar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan sesama
manusia lainnya. Dengan memahami bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan
yang tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apapun, kita dapat memberikan dukungan
bagi korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan tersebut. Karena hanya
dengan memberi dukungan pada korban, kita bisa memecah kebisuan dalam lingkar
kekerasan. Rape is Rape, No More Excuses!--
*Patriarki
merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki
kekuasaan, norma serta nilai yang dianut sistem ini diasosiasikan dengan
maskulinitas dan kejantanan (dalam hal dominasi dan kontrol), dan laki-laki
menjadi fokus utama yang diperhatikan di dalam kebudayaan masyarakatnya.
**Kekerasan berbasis
gender dan Kekerasan terhadap perempuan digunakan untuk menggambarkan
serangkaian penganiayaan yang dilakukan kepada perempuan yang berakar pada
ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap
laki-laki. Kekerasan terhadap
perempuan termasuk pada saat perang digunakan sebagai alat untuk menyebarkan
rasa takut, menteror dan mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas
mereka. Pada tahun 1993, Deklarasi PBB
untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan
terhadap perempuan sebagai “tindakan
kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau berkemungkinan menghasilkan
cedera fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan,
termasuk ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau
penghilangan kebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan publik atau
pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di keluarga, di
dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara.
Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada:
kekerasan domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual,
perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan yang berbahaya
terhadap perempuan.
ReferensiMac Kinnon, C. Women's
Lives, Men's Laws. Cambridge MA: Harvard University Press. 2005. p 247-248Archard, David. Sexual
Consent. Colorado: Westview Press. 1998. P 130-145http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lainhttp://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html