Sabtu, 16 Januari 2010

Ada Apa Dengan Alay?

Alay: Mayoritas yang didiskriminasi


"Superficially it seems we are middle class because we have more of the trappings of middle class life, but the majority of people are just working class with more money, not middle class." Dr Julian Baggini

Sore itu saya terjebak di dalam rapat bersama redaksi, awalnya sih kita masih serius membicarakan rencana tahun 2010, tapi tiba-tiba ada sebuah topik yang terangkat di tengah perbincangan. Niat hati untuk obrolan selingan, kita semua malah heboh dan serius membahas topik ini sampai lupa tujuan rapat. Topik apakah itu? Kita dengan terbuka dan antusias membicarakan fenomena ALAY yang beredar di sekeliling kita. Bukan redaksi kita kalau hanya bisa mencerca dan mengeluh tentang fenomena Alay, dari topik itu lahirlah diskusi seru yang mengundang pro dan kontra, love hate love, serta kritisisme sosial terhadap isu tersebut. Pulang dari kantor, benak saya dihantui oleh Alay, bagi saya fenomena ini bukan persoalan sepele sebatas olokan peer group belaka, ada banyak keraguan dan ketidakadilan di dalamnya. Terkadang kita dengan mudah mengucap istilah tanpa tahu akibatnya, bahkan kita sering menilai kaum alay dengan kacamata kuda. Atas alasan tersebut, saya berniat untuk merangkai penjelasan tersendiri versi saya tentang fenomena ini. Sepertinya kata Alay begitu dahsyat, sampai punya gaya, selera musik, bahasa dan budayanya sendiri. Jangan-jangan sebentar lagi Alay akan menjadi Cult.hehehe... Dan kerisauan saya dimulai dari sini:

Definisi Alay : Jauh Panggang dari Api

Menurut kamu seperti apakah alay itu? Dalam setiap perbincangan yang menyeret-nyeret Alay, ternyata definisi ke'alay'an itu tidak absolut alias relatif, meskipun katanya ada kesepakatan bersama yang diyakini banyak orang untuk mendeskripsikan alay. Kalau dirunut-runutin ke belakang, seingat saya, pada hakikatnya istilah Alay muncul sebagai singkatan dari "Anak LAYangan". Kenapa anak layangan? karena rambut orang tersebut merah (atau brunette mungkin?) hasil dari berjemur matahari saat bermain layangan. Dulu saya sempat terintimidasi dengan definisi awal tersebut, bagaimana tidak? rambut saya memang kecoklat-merahan gitu dan saat kecil saya memang fasih bermain layangan. Kalau berdasarkan definisi tersebut, saya tentu sah disebut sebagai Alay dan mungkin banyak orang yang serupa. Coba deh inget-inget lagi...! Nah, seiring dengan beranjaknya umur, makna Alay di konstruksi pikiran saya mulai bergeser. Saat SMA saya beranggapan bahwa Alay atau tidaknya seseorang itu ditentukan dari cara laki-laki memperlakukan perempuan. Yup! definisi yang berbasis gender ini lahir sebagai dampak dari kekesalan saya pada cowo-cowo yang suka bersiul-siul saat ada cewe lewat di depannya. Kalau seorang cowoq tidak bisa menghormati perempuan dan melecehkan perempuan secara verbal atau langsung, bagi saya cowo itulah kaum Alay. Sejauh ini konstruksi makna itu masih berlaku banget buat saya. Misalnya saat ada segerombolan cowo yang berusaha menggoda saya di kereta, mereka adalah Alay buat saya. Saya tidak memungkiri, saya mengasosiasikan Alay sebagai sesuatu yang negatif karena istilah tersebut saya gunakan untuk memberi label pada laki-laki semacam itu. Inilah 'dosa' saya....huhuhu

Diskusi saat saya rapat redaksi sore itu ternyata memunculkan definisi-definisi lain tentang alay yang beragam dan memang semuanya mengarah ke konotasi yang negatif. Seorang kontributor berpendapat bahwa ke'Alay'an seseorang dilihat dari cara dia berinteraksi lewat tulisan/ketikan, kalau gaya ngetiknya menggunakan huruf gede-kecil, kombinasi angka dan huruf, disingkat, dicampur bahasa inggris dengan modifikasi pronounciation, dan improvisasi lainnya, mereka lah yang disebut Alay. Kontributor lain lalu menimpali, buat dia, Alay adalah orang yang gayanya 'maksa', sok keren tapi jadi nggak keren, sok gaul tapi jadi nggak banget, definisi ini sungguh subtil dan sedikit kejam, tapi nampaknya ada banyak orang yang sependapat dengan definisi ini. Ada juga yang bilang kalau Alay itu adalah orang yang termakan tren tapi nggak sanggup ngikutin aslinya, misalnya mau jadi up to date dengan baju-baju keluaran butik High-street impor, tapi akhirnya membeli barang tembakan atau kw-nya di ITC karena faktor ekonomi. Kontributor lain ada yang nyeletuk, Alay itu ya semacam personilnya kangen band atau penggemarnya , kira-kira deskripsi dia kebangetan konkritnya sampai menunjuk hidung dan contoh orangnya. Yang menarik, ada seorang kontributor lagi yang berpendapat kalau Alay itu hanyalah sekedar fase dalam hidup kita, misalnya saat rambut belah tengah lagi nge-tren atau rambut spike itu cool pada zamannya dan kita mengamalkannya sehari-hari, nah... gaya-gaya old-school itu menjadi Alay saat kita refleksikan ke fase sekarang, bahkan sempat ada tanggapan bahwa semua orang pernah menjadi Alay atau mengalami fase alay tersebut. Everybody was Alay afterall... Sejauh ini definisi terakhir menjadi makna yang paling tidak diskriminatif, ya iyalah... orang semua pernah meng'alay'kan dirinya meskipun dengan sedikit pengelakan (denial) terhadap fase tersebut.

Jika merujuk pada beragam pemaknaan akan alay tersebut, ktia bisa melihat adanya keragaman yang relatif dalam mendeskripsikan alay. Biarpun begitu, entah kenapa konotasinya cenderung negatif dalam level yang berbeda-beda. Dan kalau saya pikir-pikir lagi, pemaknaan alay mengalami perluasan yang pesat dari kali pertama saya mengenalnya. Pemaknaan Alay menjadi amelioratif dan mulai menjauh dari hakikat kependekan "Anak LAYangan" tadi. Sungguh jauh panggang dari Api, jadinya maknanya nggak matang.hehehhe Yah... sejauh ini belum ada deskripsi yang jelas dan baku soal apa itu Alay. Sepanjang kata ini belum masuk di KBBI, kita belum ada rujukan terpercaya untuk mendefinisikannya. Alay is still ongoing mate...!


Eksistensi Alay: The Others are the Second Cool


" No subject will readily volunteer to become the object, the inessential; it is not the Other who, in defining himself as the Other, establishes the One" Simone de Beauvoir

Merujuk pada varian definisi di atas, kata alay seolah menjadi label atau streotype untuk sesuatu yang negatif, uncool, nggak gaul, nggak sopan, nggak menghormati perempuan, nggak fashionable, and so on. Alay menjadi negasi dari makna-makna yang positif atau sesuatu yang lebih tinggi. Jika sosok alay tercipta, hadir di dunia karena konstruksi atau pemaknaan kita, berarti keberadaan alay sebagai sebuah aktor sosial hanyalah berlaku sebagai objek semata. Nah loh, terus siapa subjeknya? Ya jelas yang menunjuk seseorang sebagai alay. Orang-orang yang merasa keren, fashionable, penggemar musik "berkualitas", berpendidikan, well-mannered, itulah yang seringkali menobatkan seseorang menjadi Alay. Proses on becoming alay seakan tidak dilihat dari kacamata dia sendiri melainkan dari kacamata orang lain. Mengapa kita membutuhkan Alay? agar eksistensi ke'keren'an atau ke'kece'an kita tetap terjaga.

Yang lucu lagi, seorang kontributor berkata menimpali perbincangan alay seperti ini "Eh, jangan salah lo! Malah ada banyak orang yang sebenernya kalo diperhatiin Alay banget tapi dia malah ngatain orang lain Alay, Alay teriak alay gitu ya gak?!". Kalimat Alay teriak Alay itu begitu menarik dan saya tanggapi dengan anggukan mantap. Kasus ini sering terjadi di sekitar saya, coba kamu perhatikan baik-baik.hehehhe Saya jadi inget kata om Hegel, begini doi bersabda "We find in consciousness itself a fundamental hostility towards every other conscousness; the subject can be posed only in being opposed". Untuk merasa fashionable kadang kita suka menilai orang-orang yang gayanya dianggap nggak oke. Saya jadi ingat pengalaman waktu SMA, waktu itu anak-anak SMA saya dijejali doktrin anti STM. Sentimen tersendiri terhadap STM menghadirkan sebuah chauvinisme di antara kita, waktu itu kita dengan yakinnya menyatakan anak-anak STM itu Alay sedangkan kita anak SMA selatan (Jakarta selatan maksudnya) yang gaul abis.hehehhe


Dari penunjukkan alay sebagai inferior dari yang superior tersebut, kaum yang dianggap alay terpaksa harus puas di strata kelas dua dalam pergaulan. Nah... ini dia bagian yang paling gawat, ketika alay terletak di bawah piramada tersebut, warga kelas atasnya seringkali sadar atau tidak sadar melakukan diskriminasi terhadap kaum alay. Ibarat anak nerd/loser di sekolahan, dia nggak bisa jadi panitia acara-acara happening atau mendapat popularitas sebaik grup populer. Parahnya lagi, banyak merasa bahwa mengkritik atau mengejek selera alay adalah legal hukumnya. Bahkan, saya pernah mendengar kalimat kejam seperti ini: "Kalo alay ya alay, mau diapain juga nggak bakalan 'dapet' seleranya!" ckckck... kesannya jadi alay udah nggak ada harapannya lagi gitu. Tindakan diskriminatif bisa muncul dalam bentuk komunikasi verbal maupun non-verbal, mulai dari celaan secara ikhlas atau hanya sebatas tatapan mata macam Anna Wintour-nya Vogue.

Alay seperti menjadi The others dalam sebuah bagian masyarakat urban. Alhasil alay bukan kategori manusia cool dan patut menjadi panutan, they are perceived as the 'wannabes' not the trendsetters. Padahal sudut pandang kita terhadap keliyanan Alay belum bisa dipertanggungjawabkan, semacam to see or being seen. Masih ingat film The Others-nya Nicole Kidman? hati-hati dalam memandang sebuah objek, semua punya keyakinannya masing-masing. Banyak dari kita ngeributin soal alay (sampai saya bikin tulisan kaya gini segala), padahal orang yang ditunjuk jadi alay nggak peduli amat dan mungkin aja memandang kita aneh atau setidaknya merasa lagu band Mum itu freak banget. Ingat... bukannya mereka nggak 'nyampe' untuk mencerna apa yang ktia anggap kece, tapi karena semua orang punya sudut pandangnya sendiri.


Budaya Alay: High-Low and unlimited

"Culture is ordinary, in every society and in every man" Raymond Williams


Seperti apakah kebudayaan milik alay? Banyak yang bilang, karya yang norak-norak itu hasil kebudayaan alay yang akan direproduksi oleh alay-alay juga. Ditinjau dari segi kualitas, karya khas alay dianggap berkualitas rendah, konsepnya cetek dan tidak serumit atau sekompleks karya-karya yang 'dianggap' berkualitas. Seolah karya seni maupun buah hasil pikiran yang norak tersebut tidak bisa jadi sebuah 'mahakarya'. Masalahnya kawan-kawan, berbicara soal estetika adalah hal yang sangat rumit. Menurut kritikus budaya yang percaya pada aspek formal, karya yang berkualitas tidak menonjolkan sebuah makna secara terang-terangan atau tersirat dan lebih kompleks. Mungkin kalau dalam urusan lagu,yah... bukan lagu-lagu yang easy listening atau semacam pop melayu yang liriknya tersurat atau terang-terangan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebuah kebudayaan termasuk karya seni itu kan hasil konstruksi dan interpretasi seseorang terhadap 'dunia'nya. Oleh karena itu perdebatan estetis kalau lagu pop melayu itu norak, bisa dengan mudah dibantah oleh relatifnya cita rasa atau pemaknaan kita pada sebuah karya. Satu budaya nggak bisa kita klaim lebih tinggi dari budaya lainnya, karena konteksnya berbeda dan penilaiannya sangat subyektif.

Ada teori yang bilang kenapa hal atau barang yang berkaitan dengan alay itu terlihat jauh dari keren atau norak, penjelasan singkatnya karena barang-barang tersebut pasaran. Manusia memang aneh teman, di satu sisi dia ingin diterima di masyarakat dengan mengikuti arus, tapi di satu sisi tampil beda itu keren. Nah... hal yang diidentikan dengan alay yaitu sesuatu yang pasaran, overrated, ada dimana-mana atau mudah dijangkau, namun manipulatif. Istilah kerennya 'Mass Culture'. Sedihnya lagi, budaya pasaran ini sesungguhnya bukan dibentuk oleh pasar tapi oleh produsen, yang kemudian dikonsumsi oleh pasar lagi, lagi, dan lagi. Kalau industri rekaman kita nggak segitu hobinya mengangkat pop melayu, mungkin band-band macam kangen atau wali itu nggak terdengar norak-norak amat.

Produk yang massal dan cenderung murah ini sering dijadikan penanda ke'alay'an seseorang. Beda halnya kalau kita punya barang yang limited, didesain khusus, dan harganya mahal, wah... bisa dipastikan 89% pas kita pakai terlihat keren.Sayangnya, saya bukan orang yang percaya barang limited nan mahal itu pasti bagus dan sebaliknya, it's not what you wear it, but how you wear it. Terkadang saya berpendapat kalau menyukai sesuatu yang pasaran itu sah-sah saja, soalnya urusan suka nggak suka kadang jauh dari logika. Jadi tentu tidak adil kalau kita bilang penggemar hal-hal seperti itu adalah alay. Untuk apa melabeli orang lain, kalau kita sendiri punya kemungkinan untuk suka juga dengan barang atau karya tersebut??? Persoalan ini juga yang membuat kamu terlihat keren kalau playlist itunes dilengkapi band-band antah berantah semacam Local natives, Be your own pet, dan band aneh-aneh lainnya.



Bagaimana dengan selera alay? Soal selera seringkali menjadi bahan celaan. Misalnya ada seorang teman yang membeli sepatu kemudian kita bilang ke dia begini 'Ih, alay banget sih sepatu lo! Begitu kira-kira gambarannya. Kata alay mendadak menjadi ungkapan untuk selera yang nggak bagus atau keren. Ada ungkapan selera nggak bisa dibeli, yang meneguhkan kalau orang yang punya selera buruk ya nggak bakalan bisa memilih barang bagus atau bergaya yang fashion forward. Entah kenapa, kalau percaya anggapan ini kesannya determinis banget, padahal selera itu tidak sekonyong-konyong muncul begitu aja. Dulu saya juga sempat kepikiran kalau selera saya memang udah keren sejak lahir (hahaha... pd gila!) tapi kalau dipikir-pikir lagi, dari mulai selera musik, gaya berpakaian, atau pilihan film saya dibentuk, entah oleh keluarga atau lingkungan dimana saya berada.

Ngomongin selera sepertinya perlu membawa om Bourdieu sosiolog Perancis, yang yakin banget kalau urusan selera ini UUK (ujung-ujungnya kelas) dimanakah letak kelas sang alay? bisa ditebak bukan? pertanyaan (atau pernyataan?) yang pernah keluar dari seorang teman mungkin bisa menggambarkan, kira-kira seperti ini: "Jangan pake baju kaya gini...! Masa' lo mau sih disamain sama 'mas-mas' ?!" ckckck... sadis betul nampaknya.


Alay: Sebab atau Akibat?


"Men, make their own history, but they do not make it just as they please; they do not make it under circumtances chosen by themselves, but under circumtances directly encountered, given, and, transmitted from the past" Karl Marx

Sentimen anti-alay memang mulai menjamur, bahkan saya sempat lihat ada group-nya di facebook. Banyak orang yang sudah mulai menggunakan frase alay untuk mengidentifikasi seseorang, meskipun seperti yang udah dibahas sebelumnya, alay itu sendiri masih belum jelas. Jika diperhatikan lebih seksama, definisi alay yang berlaku umum (baca: digunakan oleh sekelompok orang yang mempunyai pengaruh, baik dari sisi kelas ekonomi atau kaum dominan) sekarang adalah orang yang gayanya maksa atau cenderung mengoleksi produk KW, berinteraksi lewat gaya tulisan/ketikan yang terlalu variatif, menggemari musik populer seperti pop melayu, gaya rambut atau berpakaian yang berusaha mengikuti trend tapi memiliki kemampuan mix & match di bawah rata-rata, dan masih banyak lagi. Beberapa ciri-ciri tersebut saya ketahui dari beberapa perbincangan di forum baik dunia maya maupun dunia nyata. Bagi sebagian orang keberadaan alay dengan ciri-ciri di atas dianggap mengganggu kenikmatan pandangan atau skema pergaulan. Oleh karena itu celaan dan sindiran seringkali ditujukan pada kaum alay.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat alamat blog dari seorang teman, kata dia pemilik & konten blog ini sering dicap alay. Setelah menelusuri link tersebut, saya benar-benar terkejut dengan berbagai komentar yang ditujukan pada pemilik blog tersebut hingga membuat saya mikir: 'gila, segitu alerginya kah orang terhadap so-called alay?!' Komentar sadis bernada nyinyir dan ejekan yang menurut saya pantas masuk sebagai kasus cyber bullying itu telah membuka mata saya terhadap fenomena anti-alay ini. Ckckck... kalau dulu ada kelompok kutu buku yang didiskriminasi, sekarang ada kaum alay yang dimarjinalkan, terutama dari segi selera dan kebiasaan.


Emangnya apa dosa seorang alay? Lebih dalam lagi, Apakah kita punya hak untuk menyebut orang lain sebagai Alay, emangnya siapa sih kita? Kalau definisi alay sekacau itu, Siapa juga yang mau dilahirkan jadi alay? Itulah poinnya. Subordinasi alay ini nggak hadir secara tiba-tiba dari alam bawah sadar. Jika kelompok yang disebut alay itu tidak memiliki gaya sekeren hipster-hispter di majalah Nylon atau Juice itu bukan karena mereka dikaruniai selera kacrut dari lahir, melainkan situasi kondisi dan sistem yang membentuk selera, membatasi akses, dan mengarahkan cara pandang mereka.

Kalau ada seorang fashion blogger yang bisa bergaya keren dengan koleksi baju dari butik high-street dan kena demam kebangkitan desainer muda Indonesia dengan selera musik sekelas Music Director Hard Rock fm, melakukan photo shoot yang terlihat indie tapi keren-keren gimana gitu, dan berbahasa inggris begitu canggihnya, Ya... karena Ia punya akses untuk membaca majalah luar yang hip, membeli atau terbiasa dibeliin 'good' stuff, familiar dengan bahasa internasional sejak kecil bahkan rutin ikut les, tahu review band terbaru dari NME atau SPin mungkin, dan bergaul serta dibesarkan di lingkungan orang-orang dengan selera yang dianggap 'tinggi'. Singkat kata, bisa dibilang kelompok ini adalah kelompok The Haves dan yang menjadi The Others adalah si The Have-nots.

Sebaliknya dengan kelompok yang dicap alay, 'Modal' mereka dalam pergaulan dan selera memang tidak sebesar kelas menengah dan menengah atas. Sedangkan dominasi kelas yang lebih tinggi itu memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi keren. DI satu sisi usaha kelas bawah untuk menjadi keren menjadi sasaran empuk industri untuk produk-produk massalnya. Industri menciptakan tren atau fads (macam fenomena yogurt atau BB gitu lahh) akan produk yang menjadi penanda ke'keren'an milik kelas tertentu untuk kemudian menciptakan barang massalnya dengan harga lebih murah agar bisa diakses orang sebanyak mungkin yang merasa bahwa mereka bisa lebih eksis kalau membeli/menggunakan produk tersebut. Kaum kelas bawah juga pengen tampil keren dan oke layaknya individu, namun mereka tidak bisa mengakses sumber-sumber atau bahan-bahan yang bisa bikin mereka sejajar dengan kelas atasnya, dan jika ada kesempatan untuk itu (lewat produk massal tersebut) maka mereka akan segera menjangkaunya sejauh bisa dijangkau. Sistem masyarakat kita yang (saya yakini) mendapat pengaruh besar dari keadaan ekonomi, telah melahirkan alay sebagai anak 'haram'nya. Mungkin kalau dalam masyarakat tanpa kelas, alay tak akan lahir, mungkin...


Fenomena alay menjadi bagian dari stratifikasi baru masyarakat Urban. Saya sempat bertanya-tanya ke seorang teman, 'Eh, di 'daerah-daerah' (baca: bukan kota besar) tuh ada kategori Alay gitu nggak ya?' dan dengan entengnya teman saya menjawab: 'Ya nggak lah... orang di sana alay semua'. Saya pun tertawa satir mendengar jawaban tersebut. Sentralisasi di kota besar yang berdampak pada tidak meratanya akses ekonomi, pendidikan, dan teknologi di daerah-daerah membuat masyarakatnya berkemampuan tidak jauh beda satu dengan yang lain, dalam artian jurang sosial-nya tidak selebar di perkotaan. Lagipula, kepalsuan dan dinamika gaya hidup urban membuat orang-orangnya berlomba untuk menjadi ter'keren' dan ter'atas untuk menjadi eksis. Masyarakatnya punya masalah yang kompleks dan memaksa individunya untuk menjadi tumpul dalam menilai seseorang hanya sebatas dari tampak luar.

Dari kacamata saya, Alay adalah akibat dari berbagai bentuk ketidakadilan dan dominasi selera yang merasa lebih keren dari yang lain. Mengonsumsi produk-produk tertentu tidak bisa menjadi tolak ukur keren & alay atau tidaknya seseorang, membuat kategori minor seperti ini hanya akan berakhir diskriminatif bagi pihak yang dianggap lebih rendah. Kalau hal-hal keren menjadi milik kelas menengah dan atas, sedangkan yang 'alay' milik kelas dibawahnya, ibarat middle class & working class di Inggris, berati kelompok keren itu minoritas. Kenapa musti minder dibilang alay, toh proporsi masyarakat kita memang lebih mengggembung di kelas 'alay' kok?!


*thanks a lot for Change Magazine team to spoil my mind again...again...and again.

Selasa, 05 Januari 2010

SAWARNA Village


WHERE THE WILD THINGS ARE...



HAPPY NEW YEAR...!!!


First Sunset in 2010


The Backpackers Team 

The Trees and The Wild


Feels Like Private Beach



The Corals



It's in Indonesia, really!




See, Sea, Sky


Take a pose

 
design by suckmylolly.com